Share

Pengakuan

Pengakuan

“Dokter sudah bilang tentang kehamilanmu, Ra. Kamu dehidrasi, makanya demam. Sedikit malnutrisi juga, tapi masih aman,” kata Dedi tenang. Meski dadanya terasa panas dan kepalanya berat, ia tidak mau menyakiti putri satu-satunya itu dengan kemarahan. Ia merasa harus introspeksi diri setelah apa yang menimpa keluarganya. Mengapa Tuhan menimpakan ujian berat bertubi-tubi lewat anak-anaknya. Apakah hal ini karena dosa masa lalunya? Atau ini semua merupakan ujian agar keluarganya jadi lebih baik lagi?

Sorot mata Soraya memancarkan keterkejutan, lalu berganti sorot ketakutan. Dia tidak membayangkan kalau kondisinya akan terbongkar dengan cara seperti ini. Seingatnya, ia hanya tertidur karena sangat lelah. Tadinya, ia  sempat memikirkan cara untuk memberitahu orang tuanya sebelum tidur. Sekarang, ia tidak perlu repot-repot lagi karena mereka sudah tahu.

Tanti mengusap ujung matanya yang basah. Dari pada marah, kekecewaannya jauh lebih besar. Ia tak mengira jika putrinya yang penurut dan pendiam itu akan menorehkan tinta hitam di kehidupan mereka. Namun, semua sudah terlambat. Mau bagaimanapun, waktu tak dapat diputar kembali. Bayi di perut putrinya memang ada karena kesalahan, tapi bayi itu tetaplah cucunya.

“Siapa yang melakukannya, Ra? Cowok yang kemarin datang itu?” tanya Tanti yang berusaha tetap tenang walaupun hatinya remuk redam.

Soraya menunduk sambil meremas selimutnya gugup. Dia takut orang tuanya akan melabrak Dias dan menimbulkan keributan.

“Ra?”

Suara ibunya kembali terdengar, meminta jawaban.

Soraya mengangguk pelan. “Iya, Bu.” Gadis itu memejamkan mata erat. Tetes air mata merembes di sela-sela bulu matanya.

Dedi membuang napas kasar. Ia mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi. Kenyataan yang diucapkan oleh putrinya itu benar-benar merontokkan harga dirinya sebagai seorang pemimpin keluarga.

Semenjak kematian Wiliam, ia telah berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki hubungannya dengan anak gadisnya. Ia tahu, mungkin bagi Soraya, ia sudah sangat terlambat. Ia juga sadar kalau Soraya jadi lebih menutup diri setelah kepergian Wili. Namun, ketika dokter mengatakan bahwa putrinya hamil, ia benar-benar telah kalah.

“Siapa dia, Nak? Tolong kali ini ceritakan semuanya sama kami. Jangan menyembunyikan apa pun lagi. Kita cari jalan keluarnya sama-sama,” bujuk Dedi lembut. Sekarang prioritasnya adalah menyelamatkan masa depan Soraya dan mencari penyelesaian masalah dengan cara terbaik. Ia telan semua amarah dan rasa kecewanya, demi putri satu-satunya yang berharga.

Mendengar kalimat itu, Soraya malah menangis semakin keras. Kenapa selama ini ia tak bisa melihat kebaikan orang tuanya? Ia selalu merasa kesal pada mereka dan menganggap semua perhatian orang tuanya adalah bentuk penyesalan atas kematian adiknya. Ia mengira bahwa kasih sayang yang dilimpahkan padanya hanyalah akibat rasa bersalah, tanpa ketulusan. Sekarang ia telah tersadar, bahwa orang tuanya adalah rumah teraman baginya.

Tanti ikut menangis dan memeluk putrinya erat. Diusapnya rambut panjang Soraya penuh kasih. Dibisikkannya kata-kata yang menentramkan, “Jangan sedih, Sayang. Ada ayah dan ibu di sini.”

Soraya merasa sangat malu. Ayah dan ibunya begitu baik. Ia sangat menyesal telah mengkhianati kepercayaan yang diberikan, serta mengabaikan nasihat-nasihat ibunya.

“Maafin Sora, Bu! Maafin aku, Yah!” pinta Soraya di sela isak tangisnya.

Dedi ikut memeluk putri dan istrinya. Mereka bertiga hanyut dalam tangis sedih dan haru.

***

Soraya menceritakan semuanya pada orang tuanya, tentang siapa Dias, kapan dan di mana hal itu terjadi, juga apa yang mereka lakukan sore itu. Tak ada satu pun yang ia tutupi, termasuk keperawanannya yang ia yakini masih utuh.

Berkali-kali Dedi dan Tanti menahan diri untuk tidak marah atau berkata kasar. Fokus mereka adalah masa depan Soraya, juga bayinya.

Mereka lalu memeriksakan kehamilan Soraya pada dokter kandungan di rumah sakit itu. Dedi sempat menanyakan perihal putrinya yang yakin bahwa ia masih perawan, tapi mengapa ia bisa hamil?

Dokter itu menanyakan beberapa hal pada Soraya.

“Apakah kalian melakukan petting dalam keadaan tanpa busana?”

Soraya tertunduk malu. “Iya, Bu.”

Dokter wanita itu kemudian menjelaskan bahwa melakukan petting tetap berisiko hamil jika dilakukan dalam keadaan tanpa busana. Karena, sperma bisa berenang melalui lendir yang ada di organ kewanitaan jika si wanita sedang dalam masa subur. Biasanya, tubuh perempuan memang menghasilkan lendir yang tidak mudah putus di organ intimnya saat masa subur tiba. Lendir itulah yang menjadi jembatan penghubung bagi sperma untuk mencapai sel telur.

Dokter itu lalu melakukan USG pada Soraya. Terlihat di layar monitor, kandungan Soraya telah berusia delapan minggu.

Sang dokter menempelkan alat Doppler di perut bagian bawah Soraya. “Detak jantungnya belum terlalu kencang, jadi belum terdengar. Tapi, melihat hasil USG-nya, sepertinya semua baik. Janin tumbuh normal, sesuai ukuran dengan usianya. Saya resepkan vitamin dan obat mual, ya,” ucap dokter ramah.

Soraya memandangi layar monitor yang menunjukkan gambar hitam putih yang tidak terlalu jelas. Kata dokter, titik yang berkedip di sebelah kiri itu adalah janinnya. Ada perasaan aneh yang menggelitik hatinya. Ia sedikit menyesal karena mengabaikan calon anaknya. Ia terlalu pusing memikirkan banyak hal, hingga lupa kalau ada sesuatu di dalam dirinya. Sesuatu yang membutuhkan makanan bergizi, vitamin, juga ... cinta kasih. Tiba-tiba matanya menghangat. Rasa sayang telah bertunas di hati Soraya, menanti untuk tumbuh lebih besar lagi.

Selama tiga hari Soraya dirawat di rumah sakit, tak ada satu pun pesan masuk dari Dias. Hanya Zia dan Stela yang ribut sekali menanyakan keadaan Soraya setiap hari di grup WA mereka. Grup yang isinya hanya mereka bertiga. Zia dan Stela terus bertanya di mana Soraya dirawat. Mereka ingin menjenguknya. Namun, Soraya tidak mau mengatakan di mana ia berada. Ia masih belum sanggup menjelaskan kalau dua sahabatnya itu datang dan bertanya soal sakitnya.

Soraya kembali dibuat sedih saat teman-temannya saling mengirimkan info lowongan pekerjaan dan beasiswa di grup jurusan.

Hari ke lima, Soraya sudah benar-benar sehat. Ia masih sering mual, tapi masih bisa di atasi. Ia belum berangkat ke kampus karena ia malas bertemu Dias.

“Ayah mau ke rumah anak itu dan ngomong sama orang tuanya,” kata Dedi sepulang kerja. Mereka sedang makan di meja makan.

“Ka-kapan, Yah? Tanya Soraya cemas. Ia takut ayahnya bakal mengamuk di rumah Dias.

“Besok. Ayah sudah mencari tahu sedikit tentang keluarga mereka. Kamu tahu orang tua Dias kerja apa?”

Soraya menggeleng pelan.

“Ayah Dias anggota DPRD, Ra. Kita menghadapi keluarga yang berpengaruh. Mari kita berdoa semoga mereka bisa menerima kabar yang kita bawa dengan baik.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status