Terima kasih masih setia mengikuti kisah Syifa dan Zein. Jangan lupa tinggalkan jejak love dan komentar yak.
Bab 12Reflek Syifa membulatkan matanya, kedua tangan masih memegang jarum dan benang saat mengobati Zein. Ia hanya mematung di tempat. "Fa, aku masih mencintaimu." Syifa menyudahi acara menjahit luka Zein dengan sedikit menyentak. Alhasil, laki-laki berparas oriental itu memekik. "Ough. Bisa pelan nggak, sih?" "Tidak seharusnya pasien ngelunjak. Diam dan tunggu dokter melayani dengan baik," omel Syifa membuat Zein menarik kedua sudut bibirnya. "Anda sudah punya istri. Jangan gunakan kemampuan berlebih Anda hanya untuk merayu saya," lagi Syifa mengucap dengan sedikit mendengkus. Zein tidak menimpali karena bisa dipastikan adu mulut terjadi di ruang periksa. Ia tidak mau dicap buruk penghuni rumah yang lain terutama putrinya sendiri. "Fa, kapan kamu bisa mempertemukanku dengan Alea?" mohon Zein dengan suara lirih. Syifa tersentak, nuraninya berkata lain. Kalau biasanya ia menilai Zein kejam karena telah meninggalkannya. Saat ini ia melirik sekilas wajah mantan suaminya terlihat s
Bab 12B"Mbak Syifa. Mbak!" seru May sambil melambaikan tangan di depan wajah. Sontak saja Syifa terkesiap. "Ya, May." "Ada apa? Pasien tadi?" "Dia suami pasien yang baru selesai operasi pengangkatan tumor payud*r*, May. Rumahnya dekat sini. Jadi, perawatan lanjutannya memilih yang dekat supaya tidak antre di rumah sakit," terang Syifa. May melihat ada perubahan raut wajah kakak angkatnya. Namun, ia hanya menyimpan dalam hati. Paling nanti ia akan menanyakan pada Irsyad yang lebih dekat dengan kakak angkatnya. "Sudah diberesi semua, May?" "Iya, Mbak. Pintu juga sudah saya kunci." "Ya sudah. Mbak mau ke kamar Alea dulu ya." Jam menunjukkan pukul 8 malam. Syifa menuju kamar Alea. Terdengar suara canda tawa bergantian. Suara Irsyad dan Alea. Seulas senyum pun terbit di bibir Syifa. "Eh, ada Mama, Om." "Iya, kalau begitu. Om balik ke kamar dulu, ya, Al." "Iya, Om. Makasih sudah temenin Al mewarnai." "Iya, Sayang." "Makasih, ya, Syad." Wajah Syifa terlihat tidak bersemangat memb
Bab 13A"Al bilang sama tante dan Om yang periksa ke sini." "Kapan?" "Tadi siang?" "Hah. Tante yang pakai kursi roda?" Alea mengangguk lemah. "Astaghfirullah. Pantas saja, sikap Ze seperti itu." Syifa membacakan cerita sampai Al tertidur pulas. Ia mengecup kening putrinya lama. Sebait doa ia langitkan untuk kebahagiaan putrinya. Kalau di dunia ini ada mantan istri atau mantan suami. Namun, tidak dengan anak. Perpisahan tidak membuat status Alea mantan anak Ze, pikirnya. Syifa melangkah keluar kamar lalu menuju teras belakang rumah. Ia duduk sembari menatap langi yang berhiaskan purnama. Sebagian tertutup awan. Namun sinarnya masih juga terang. "Jika Ze masih sendiri, mungkin akan terasa mudah mempertemukan keduanya. Tapi Ze sudah menikah, sedangkan aku masih sendiri. Terlihat menyedihkan." Syifa menyeruput kopi yang baru saja dibuatnya. Setitik cairan bening itu lolos dari pelupuk matanya. Sementara itu, di meja makan Irsyad menunggu Syifa karena hanya May yang tadi makan mal
Bab 13B "Dia kembali. Dia datang lagi, Syad." "Siapa yang kembali, Fa? Siapa yang datang? "Mantan suamiku." "Apa?! Kapan? Di mana? Apa perlu aku menghajarnya? Atau memakinya jika dia mengganggumu." Irsyad begitu menggebu berucap membuat Syifa membelalak. "Jangan, Syad! Kamu mau ditangkap polisi lalu dipenjara?" "Apapun demi kamu, Fa. Aku siap menjadi garda terdepan." "Memangnya mau perang?" celetuk Syifa nggak kira-kira. Padahal Irsyad sudah memasang wajah serius. "Jadi, di mana orangnya, Fa?" "Tadi yang kamu obatin?" lirih Syifa sambil memasang raut was-was. Sebab wajah Irsyad masih terlihat serius. "What?! Laki-laki tadi? Bukannya dia yang datang dengan wanita memakai kurai roda?" Syifa mengangguk lemah. Ia menenggelamkan kembali kepalanya ke meja. Sambil memiringkan kepala, Syufa menarik napas panjang. "Dia kembali di hadapanku. Tepatnya di kota tempat kami dulu memadu janji. Kota ini adalah tempat bersejarah bagi kami. Aku tidak menyangka dia juga berada di sini, Syad."
Akhir pekan tiba, Zein sudah membuat janji bertemu dengan Alea. Syifa meminta Zein untuk menjemput di sekolah fullday anak itu. "Syad, May. Tolong jaga klinik ya! Mbak yang jemput Al sekalian ajak beli es krim." Seulas senyum tersungging di wajah Syifa membuat Irsyad curiga. "Ya, Fa.""Siap, Mbak." Keduanya menjawab hampir bersamaan. Syifa melangkah menuju mobilnya dengan Irsyad mengekor di belakang. "Mau jalan-jalan sama, Al?" "Iya, Syad." "Ke mall?" tanya Irsyad dengan wajah sedikit khawatir. Tidak biasa Syifa menyempatkan jalan-jalan berdua. Biasanya, ia mengajak May atau meminta Irsyad yang menyetir. "Bukan. Kamu nggak usah khawatir. Al butuh ditemani mamanya lebih lama, kan? Aku berusaha mengurangi kesibukan sendiri dan memberikan waktu lebih untuknya." Syifa berusaha bicara normal dengan Irsyad. Mengingat kejadian semalam yang membuatnya malu bukan kepalang. Bagaimana posisinya dengan Irsyad lagi-lagi begitu dekat. Hingga membuat kecanggungan muncul sesaat. Beruntung log
Bab 14B Di perjalanan, Syifa terkejut saat mendapat panggilan dari sekolah Alea. Pasalnya anak itu sudah sejam yang lalu menunggu jemputan. "Astaghfirullah. Alea, mama minta maaf ya. Mama terlambat jemput." Sampai di sekolah, Syifa mencoba membujuk Alea. Wajah anak itu sudah cemberut karena teman-temannya semua sudah pada pulang. "Ayo, kita jalan-jalan beli es krim." Mendengar kata es krim wajah Alea sontak berbinar. "Beneran, Ma?" Alea menatap wajah mamanya yang mengedipkan mata. "Hore, makan es krim! Ustadzah, Alea mau makan es krim sama mama." "Iya, Sayang. Jangan banyak-banyak nanti giginya bolong." "Kan habis itu gosok gigi, Us." "Ish, anak pintar. Ya sudah hati-hati ya. Selamat jalan-jalan sama mama." "Maaf, ya, Us. Tadi harusnya papa Alea yang jemput. Tapi nggak tahu, ada rapat mendadak sepertinya," ungkap Syifa dengan alasan yang ia buat sendiri. Pasalnya Zein sama sekali tidak mengabarinya kalau belum jadi menjemput Al. "Ze, kenapa kamu nggak ngabari aku kalau ngg
Bab 15A"Fa, sampai malam. Kalian nggak apa-apa, kan?" Irsyad terlihat khawatir karena sejak pergi habis Ashar, Syifa dan Al baru kembali jam 8 malam. Ternyata Syifa hanya mengitari kota Yogya untuk meredakan kekesalannya. "Tolong bantu angkat Al ya, Syad!" Syifa tidak menjawab justru meminta Irsyad memindahkan Al yang tertidur di jok sampingnya. "Baik." Irsyad menahan diri untuk tidak bertanya. Ia menelisik raut wajah Syifa yang muram. Pasti terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan pikirnya. Irsyad membopong tubuh mungil itu menuju kamar Syifa. Ibu dan anak itu memang tidur sekamar. Sebab di rumah sederhana yang dibeli Syifa hanya ada tiga kamar tidur. Terkadang Al tidur bersama mamanya atau pindah-pindah dengan May. "Terima kasih, Syad. Apa May sudah menutup kliniknya?" Syifa masih berdiri di ambang pintu menunggu Irsyad keluar. Syifa sampai tidak memperhatikan kliniknya tutup atau belum. Sepanjang masuk rumah, pikirannya masih tentang rasa kecewa pada papa Al. "Iya, May sudah
Bab 15B Irsyad yang kesal memilih melangkah ke klinik lalu mengambil tas medis. Ia berencana ke rumah Ema sendirian. Namun baru sampai pintu keluar Syifa berteriak. "Tunggu! Aku ikut." "Ayo, cepat." Irsyad menyunggingkan senyum sambil menunggu Syifa berganti pakaian. Tidak lupa snelli putih melekat di badannya. "Aku tahu kamu punya masalah pribadi. Tapi jangan abaikan pasien demi egomu." "Sudah jangan cerewet. Pasiennya keburu sakit." Irsyad tergelak. Ia mulai menemukan Syifa kembali dengan omelannya. "Maaf, Bu Dokter, anak saya demam, mual dan muntah. Apa masih bisa periksa?" Seorang perempuan paruh baya memapah putrinya yang masih remaja. "Astaghfirullah. Iya, Bu. Silakan duduk sebentar. Irsyad, kamu tangani pasien ini sama May, ya. Aku yang ke rumah Mbak Ema." "Ya, Fa. Kamu berangkatlah, nanti aku menyusul." Irsyad tersenyum mengembang. Syifa kembali menjadi dirinya sendiri. Wanita itu memang dokter profesional yang bekerja demi kemanusiaan. Akhirnya, Irsyad meminta May me