Bab 32BZein merasa sedikit lega. Seperti menanti bom waktu, ia berusaha menikmati detik demi detik menuju pertemuannya dengan Syifa. Perjalanan berakhir di sebuah markas yang ada di wilayah dataran rendah di balik bukit. Tempat itu didirikan beberapa tenda untuk dapur dan ruang kesehatan. Sementara itu, bangunan serupa rumah dipakai untuk istirahat dan menyimpan alat kesehatan juga obat-obatan. "Lapor komandan, kami membawa tim relawan susulan dan juga obat-obatan darurat." "Laporan diterima. Lanjutkan!" "Siap. Lanjutkan. Ini ada kerabat dari Dokter Syifa ingin melihat kondisinya." "Baik, silakan duduk terlebih dulu. Nanti petugas akan mengantar ke ruang rawat Dokter Syifa." Zein meneguk ludahnya begitu nama Syifa disebut. Ia benar-benar tidak sabar ingin melihat kondisinya. Setelah berbincang panjang lebar tentang peraturan di wilayah itu, Zein dan Irsyad diantar petugas menuju ruang Syifa dirawat. "Mari, silakan! Dokter Syifa semalam sudah sempat siuman. Tapi Dokter yang mer
"Pak Zein juga ada di sini. Beliau datang bersamaku," ucap Irsyad sambil menunjuk ke arah Zein yang berdiri terpaku di ambang pintu. Syifa membelalakkan matanya. Reflek jantungnya berdesir disusul mata yang mengembun. "Ze." Lidah Syifa tiba-tiba kelu. Ucapan itu hanya teryahan di tenggorokan. Ia merebahkan badannya sambil membuang pandangan ke arah jendela. Langkah kaki terdengar semakin mendekat seiring jantung Syifa yang semakin bertalu. Rasa panas di dada pun membara. Menyesakkan dada. "Aku keluar dulu, Fa. Kalain berdua butuh bicara baik-baik, demi Alea." Suara Irsyad masih bisa terdengar sampai ke telinga Syifa. Namun, ia enggan menjawab ucapan Irsyad. "Apa kabarmu?" Suara Zein terasa lirih dan hangat. Syifa hanya bergeming dan memilih tetap berada di posisinya. Beberapa menit berlalu, Zein merasa terpukul melihat kondisi lemah Syifa. Wajah yang masih setia berbalut jilbab instan itu masih sedikit pucat. Perasaan bersalah masih mencuat di hatinya. "Apa kamu baik-baik saja se
Bab 34AWaktu berlalu hingga tidak terasa Zein dan Irsyad sudah seminggu di tempat itu. Syifa memutuskan untuk kembali pulang karena ia memang belum mengisi masa bertugasnya di surat pernyataan. Sebagai ketua tim, Helan melepasnya dengan senang hati. Sebab ia memang berniat melindungi Syifa saat memutuskan menjadi ketua tim relawan medis. Ia sendiri masih tetap tinggal untuk beberapa hari ke depan sesuai tugasnya. "Untung kamu punya ide nggak ngisi masa bertugas menjadi relawan, Fa. Gimana kalau kamu isi setahun, kasian Alea." "Nggak lah, Syad. Aku juga nggak tega ninggalin Alea sendiri. Aku hanya butuh healing beberapa bulan mungkin cukup. Tapi ini baru mau genap sebulan nggak jadi malah udah pulang." "Iya juga. Pulangnya minta dijemput lagi, hufh." Irsyad tergelak. Tawa Syifa pun meledak. Zein memilih memejamkan mata sambil menanti pesawat boarding. Ia menyandarkan punggungnya di kursi ruang tunggu bandara. Ia berpura-pura tidur, meski telinganya kian memanas. Sebab, candaan Syi
Bab 34BSyifa menghamburkan diri ke pelukan sang mama. Ia mencurahkan isi hatinya pada wanita yang telah mengandung dan membesarkannya. Wanita yang tidak pernah jemu menasehatinya. Memilih pasangan bukan hanya melihat fisik tetapi hatinya juga. Apapun keadaannya, setiap pasangan harus saling berkomunikasi saat menghadapi masalah. Jangan memutuskan sepihak sedangkan pasangan yang lain tidak tahu apa-apa. Ujung-ujungnya terjadi salah paham. "Iya, Ma. Syifa janji setelah ini akan memilih laki-laki yang terbaik untuk menjadi papa Alea." "Siapa? Apa tetap Ze atau Irsyad? Mama pikir anak muda itu tidak sekedar adik angkatmu." Syifa hanya mengulas senyum penuh arti. "Atau laki-laki selain keduanya?" "Besok tunggu aja ya, Ma!" "Ishh, kamu ini." ***** Di rumahnya, Zein masih bergelung dengan selimut. Ia kembali tidur setelah salat Subuh. Tubuhnya seolah ingin rebahan sepanjang hari. Fisiknya lelah pun batinnya. "Pak Zein, sarapan sudah siap!" seru Bi Sumi dari luar kamar. "Ya, Bi. Na
Bab 35AMalam hari tiba, sejatinya Zein enggan pergi ke Bukit Bintang. Namun rasanya ia menyayangkan kalau melewatkan acara itu. Ia justru ingin mengenang kembali momen romantisnya bersama Syifa dulu. Dengan menguatkan hati, ia melajukan mobilnya menuju tempat yang penuh kenangan baginya dan juga Syifa mengawali niat berumah tangga. Tidak sampai satu jam, Zein telah memarkirkan mobilnya di depan restoran yang dimaksud Syifa. Ia melangkah lesu sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Namun, begitu netranya tidak mendapati satu pun yang dikenal, entah kenapa hatinya lega. Seolah ia berharap acara lamaran Syifa gagal. "Apa mereka belum datang? Atau acaranya pindah tempat?" Jantungnya kian berpacu kencang, Zein memilih duduk di ujung dekat sekali dengan pembatas. Ia bisa leluasa melihat kerlip lampu kota Yogya dari atas bukit. Kerlipan serupa bintang-bintang di langit mampu membuat sudut bibirnya terangkat. Zein tersenyum sendiri. Ia membayangkan Syifa duduk di dekatnya sekarang.
Bab 35B"Aku tahu hatimu masih untuknya, Fa. Tidak perlu mencari alasan buat menjauh. Kalau kembali bersamanya bisa membuat kebahagiaan untuk Alea dan juga kebahagianmu, aku pasti mendukung," ucap Irsyad. "Tapi, Syad?" "Di sini akulah yang menang mendapatkan kesempatan dekat denganmu. Tapi, aku tidak mampu mendapatkan hatimu. Berbahagialah dengan Papa Alea. Buang jauh-jauh luka lama yang justru memberatkan niatmu. Ingat selalu kebaikannya, Fa." "Ya, Syad. Terima kasih banyak." "Ya, aku akan tetap menjadi adik laki-laki yang siap menjadi sandaran. Tapi, harapannya sih sudah cukup bahu Pak Zein saja yang menjadi sandaran, Fa. Nanti tidak ada wanita yang mau dekat denganku." Syifa terbahak mendengarnya. "Itu, ada May, Syad." "Ya, ya. Nanti coba pdkt dulu."*****Dua minggu kemudian, persiapan singkat untuk akad nikah Syifa dan Zein telah dilaksanakan. Acara digelar sederhana saja menghadirkan keluarga dekat dan juga sahabat keduanya. “Saya terima nikahnya dan kawinnya Syifa Aurora
Bab 36ASetelah selesai makan malam bersama keluarga besar, Syifa dan Zein pergi ke kamar untuk menemani Alea. Gadis kecil itu sudah tidak sabar untuk tidur ditemani mama dan papanya. Alea ingin mendengarkan dongeng yang dibacakan mama dan ditemani papanya. "Ayo, Ma, Pa! Alea mau dibacakan dongeng ini," tunjuk Alea pada sebuah buku berisi gambar dan cerita. Syifa dan Zein menyunggingkan senyum. Zein merangkul pundak Syifa lalu duduk di ranjang tempat Alea bersandar di kepala ranjang. Syifa di sebelah yang lain hingga posisi Alea di tengah-tengah mereka. Syifa dan Zein saling melempar pandang setelah membaca sekilas cerita yang ditunjuk Alea. Zein memberi kode dengan anggukan kepala supaya Syifa yang membacakan. Sementara dirinya menemani sambil mengusap rambut sebahu Alea. "Mama dulu yang bacaain, ya, Al." "Iya, Ma. Nanti lanjut Papa, ya!" mohon Alea. Zein mengecup pipi kanan Alea membuat gadis kecil itu kegirangan. "Papa, kenapa cuma Al yang dicium. Mama juga, dong." Syifa da
Bab 36B"Kalau gitu, aku balik saja, ya. Kirain ada umi dan Abi. Aku bisa menemani kamu ngobrol." Syifa sudah beranjak dari duduknya. Dengan sigap Zein menarik lengan Syifa hingga istrinya terjerambab ke pangkuan. "Ze," pekik Syifa. Wajahnya sudah memanas karena perlakuan suaminya. "Siapa yang suruh kembali? Suamimu mau disuruh tidur sendiri? Nanti kalau kedinginan gimana?" "Astaga? Kenapa Pak Zein yang terhormat jadi manja seperti anak kecil begini?" "Nggak papa, Fa. Manja sama istri sendiri, kok." Zein justru bersemangat saat melihat istrinya mengerucutkan bibir. "Ze, jangan di sini?" tolak Syifa masih dengan rasa was-was. "Aku habiskan dulu minumannya setengah, sisanya kamu yang minum, ya!" Syifa mengangguk. Ia menarik napas panjang untuk menormalkan detak jantungnya yang berpacu kencang. "Ze!" Syifa merasakan tubuhnya sudah melayang hingga pandangannya berubah menjadi langit-langit kamar. Keduanya menempati kamar Zein untuk melewati malam pertama pernikahan kedua mereka.