Share

Kutukan Keempat

Lu Dong menaikkan salah satu ujung alisnya. “Sejak kau bangun dari koma, kepercayaan dirimu semakin menjadi. Baiklah, Anak Kaisar Langit, aku akan menunggu pembayaranmu di sini. 5.000 Yuan! Tidak kurang dan tidak lebih!”

Ekspresi harap-harap cemas menggelanyuti wajah para feminin ketika mereka melihat kepergian Yin. Namun tidak bagi Lu Dong, pria paruh baya itu malah tertawa menyeringai di atas kursi makannya.

“Mau ke mana dia?” Li Na bertanya pada Lu Wan Wan.

“Mungkin ke kamarnya.”

Seperti dugaan Lu Wan Wan. Dengan bantuan sistem pengetahuan baru yang ada pada indera penglihatnya, akhirnya Yin berhasil menemukan letak kamar pemilik tubuh barunya itu.

Ternyata selama tiga tahun ini, Keluarga Lu yang mendapat predikat keluarga terkaya nomor lima se-Shanghai, justru menempatkan menantunya di dalam sebuah ruangan bekas gudang yang sudah tidak terpakai. Letaknya berada di belakang bangunan utama. Terpisah dari kamar Lu Wan Wan.

“Sungguh keterlaluan!” umpat Yin, begitu melihat tumpukan kardus bekas, keadaan lemari kayu yang hampir roboh, dan selembar kasur tipis tanpa rangka.

“Bagaimana bisa mereka menempatkan seorang menantu dalam ruangan yang bobrok seperti ini? Kandang kudaku saja masih lebih baik, daripada kamar ini.”

Namun, Yin tidak memiliki banyak waktu untuk mengurus keadaan kamar tersebut. Dia harus segera mendapatkan lima ribu Yuan untuk bisa duduk di samping Lu Wan Wan. Segera saja dia membongkar semua isi lemari, tumpukan kardus bekas dan kasur tipis, namun  hasilnya nihil.

Dia tidak menemukan sepeser uang pun ada di sana!

“Menantu ini benar-benar payah! Di kehidupanku yang dulu saja, aku bisa dengan mudah mendapatkan puluhan hingga ratusan peti emas dalam sehari, tapi sekarang—“ Yin menggeleng kalut.

***

           Makan malam untuk perayaan malam tahun baru dimulai.

Satu per satu anggota Keluarga Lu mulai menduduki kursi masing-masing sambil sesekali tertawa melihat keberadaan Yin yang berdiri di pojok ruangan.

“Lihatlah menantu miskin yang terlihat kaya itu!” sindir Lu Fen Fen—putri pertama Keluarga Lu.

“Itu adalah karmanya. Siapa suruh dia berlagak seakan mampu membeli kursi makan di samping Wan Wan.” Lu Shen Shen berdecak. “Ayah, jika aku mengundang Jia Wei untuk makan malam bersama kita, apa Ayah juga akan memperlakukan Jia Wei seperti Yin?”

“Kau ini! Mana bisa kau bandingkan penerus Keluarga Ma dengan yatim piatu seperti dia,” tukas Li Na sambil mengayunkan dagunya ke arah Yin.

“Jangan bahas menantu besar mulut itu lagi! Perkataannya saja yang besar, tapi hasilnya nol! Ayo, kita makan!” titah Lu Dong.  

Mereka menggunakan sepasang sumpit untuk menikmatui hidangan buatan Yin. Baru saja mereka mengunyah, ekspresi wajah mereka yang semula terlihat bahagia mendadak berubah.

“Cih! Makanan apa ini? Penampilannya saja yang bagus, tapi rasanya seperti sampah!”

“HOEKKK! Ini asin sekali!”

“Dasar payah! Memasak saja kau tidak becus!”

“Yin, apa kau tidak bisa membedakan antara gula dan garam?” Li Na menambahi.

Semua cercaan itu membuat wajah Yin yang sedang berdiri di pojok ruangan membeku. Dia tidak mungkin salah mengambil bumbu dapur.

Tapi, tunggu ….

Dia langsung menyadari sesuatu, kalau kedua bumbu itu memiliki warna yang sama, yaitu putih! Dengan kondisinya yang mengalami buta warna, dia tidak mampu membedakan kedua bumbu tersebut.

Dia juga tidak bisa mengandalkan indera penciumannya yang tajam, karena kedua bumbu itu tidak beraroma. Satu-satunya cara untuk membedakannya adalah dengan mencicipinya!

Masalahnya dia tidak mencicipi masakan tersebut sebelum disajikan! 

Yin menggaruk belakang kepalanya. “Kalian tak perlu marah-marah. Yah memang  seperti itu masakan Dinasti Qing. Aku justru merasakan, kalau masakan yang kubuat itu sepertinya kurang asin.”

“KURANG ASIN APANYA? Ini seperti memasukkan satu kilogram garam ke dalam mulutku!” Wajah Lu Dong meradang. “Sudah tahu, kalau aku ini memiliki tekanan darah tinggi! Kau malah membuat masakan seperti ini!”

Dia kemudian mengambil beberapa masakan yang masih tersisa lalu membawanya ke tempat Yin. “Kau bilang ini kurang asin’kan?”

Yin mengangguk ragu.

“Sekarang makan ini!” perintah Lu Dong.

"Tapi—“ Suara Yin tertahan.

"Sudah kuduga, kau tidak berani memakannya, karena kau berniat ingin membunuhku dengan masakan ini!”

"Itu tidak benar!"

"Kalau begitu, CEPAT MAKAN!" 

Untuk membuktikan semua tuduhan Lu Dong, Yin mengambil irisan ayam goreng dari tangan mertuanya. Dia juga ingin merasakan, apa benar masakannya itu terlalu asin sehingga tidak bisa disantap oleh semua orang.

Beberapa detik pun berlalu, wajah Yin memucat. Dia kemudian mengambil beberapa makanan lain yang masih tersisa di atas meja, seperti sayuran, manisan, serta beberapa kudapan yang seharusnya memiliki rasa manis.

Dia mengunyah dan menelan semua makanan tersebut, tetapi lidahnya ….

Lidahnya tidak mampu merasakan rasa sama sekali. Sebutir rasa asin dan manis pun tidak. Mati rasa!

Melihat menantunya berdiri tertegun, membuat amarah Lu Dong kian meledak. Dia langsung melempar semua hidangan yang masih tersisa ke wajah Yin. Mengumpati pria muda itu, lalu menendangnya hingga jatuh tersungkur.

“Bedebah, Kau!”

“Dasar menantu sialan!”  Li Na dan kedua putrinya meludahi wajah Yin beberapa kali, lalu berpaling meninggalkannya.

Sedangkan Lu Wan Wan, yang tidak suka melihat pertengkaran di dalam rumah, memilih untuk menyingkir dari kekacauan tersebut.

Yin yang ditinggalkan seorang diri itu tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa membereskan sisa makanan dengan tangan gemetar. Dia tidak menangis, tidak juga bersedih. Hinaan Keluarga Lu ini tidak sebanding dengan keterkejutan dan kekecewaan yang dia alami karena lidahnya yang mati rasa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status