Share

Bab 4. Dimulai

"Tapi, aku takut, Ren."

Iren tampak mendengus. "Apa sih, Din? Takut apalagi? Kamu mau dijadikan samsak dan babu gratisan seumur hidup?”

“Lihat badan kamu, Din. Kamu kurus sekali, nggak karuan lagi penampilan kamu itu. Padahal dulu kamu tidak seperti ini.” Tunjuknya kesal.  “maaf aja, Din. Aku emang blak-blakan begini."

"Inget, orangtuamu, besarin kamu capek-capek, sampai memeras keringat dan air mata. Terus, dia ngambil kamu dari mereka untuk disiksa? Bodoh banget kalau kamu diam aja," lanjutnya terus mengomel.

"Setidaknya, kalau mereka mengurungmu, kamu harus kasih mereka semua racun. Biar selesai semuanya."

Mendengar suaranya yang penuh kekecewaan itu, aku memegangi teralis jendela sambil menangis. "Ren, maaf."

"Aku nggak butuh maaf kamu, Din. Tolong beranikan diri kamu untuk melawan! Kita harus balas mereka. Tapi, kita kumpulkan semua bukti dulu sebelum menyeret mereka ke penjara," ujar Iren, berusaha meyakinkan aku.

Wanita itu kini tampak memainkan ponselnya, sementara aku terdiam memikirkan nasehatnya tadi.

"Din, dengerin omonganku ini. Baca semua gerak-gerik wanita ular itu dan laporkan semua sama aku. Nanti, aku akan arahin kamu untuk melawannya." Kini Iren berdiri sambil memegangi tanganku.

Meskipun kami terhalang jendela berteralis ini, tapi Iren selalu bisa memberiku kekuatan.

Aku tersenyum pada semua kebaikan sahabatku ini.

Kalau soal setia kawan, Iren memang tidak perlu diragukan lagi.

Kebaikannya selama ini pun tidak kaleng-kaleng.

Akan tetapi, aku teringat sesuatu….

"Aku nggak punya ponsel, Ren. Gimana mau hubungi kamu?"

Dia tersenyum. "Bentar lagi, anak buahku akan datang dan membawakan kamu ponsel. Apapun yang terjadi, kamu harus kasih tahu aku," pintanya yang akhirnya aku jawab dengan anggukan.

Tak terasa satu jam berlalu.

Anak buah Iren datang membawa ponsel yang sudah di-setting lengkap.

"Jangan sampai ketahuan Aditya bahwa kamu punya ponsel. Dan ini, simpan di tempat yang paling aman dan mengarah ke ruang keluarga," ujar Iren, memberikan aku sebuah pulpen canggih yang ternyata ada cameranya.

"Ini cctv untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka,"  tambahnya lagi, lalu dia menyerahkan beberapa kantung plastik berisi bubuk mencurigakan.

“Ini…?”

Iren tersenyum. "Bubuk yang bisa membuat mereka bolak- balik wc, bubuk gatal, dan obat tidur," lanjutnya.

Mataku membelalak. "Ren, nggak usah! Kamu niat banget."

"Ambil, kamu pasti perlu nantinya," paksa Iren.

"Simpan yang bener," ucapnya lagi mengingatkan.

Aku mengangguk saja, dan Iren pun berpamitan pulang.

****

Diam-diam, aku melakukan apa yang Iren perintahkan.

Setelahnya, aku kembali berdoa semoga Astri dan anaknya baik-baik saja.

Sore hari, terdengar mobil memasuki halaman rumah diiringi teriakan Mas Aditya memanggilku.

"Dinda!"

Ya Allah, tolong aku.

Dari suaranya saja, jelas dia saat ini sedang marah.

Apa yang akan terjadi lagi denganku?

Aku berlari ke pojokan kamar. Hanya itu yang bisa aku lakukan.

Tidak ada tempat lagi untuk aku mengamankan diri.

Brak!

Pintu kamarku dibuka dengan kasar, wajah Mas Aditya menatap nyalang ke arahku. Namun, aku terkejut melihat penampilannya yang babak-belur dan berantakan….?

"Kamu lihat ini, lihat aku!!" teriak Mas Aditya padaku.

Aku meringkuk, tidak berani melempar tanya sama sekali.

"Ini semua perbuatan Iren dan anak buahnya! Sial sekali! Semua gara- gara kamu!" raung Mas Aditya tepat di depanku.

Aku menangis ketakutan, melihatnya yang mulai emosi tinggi.

"Wanita jalang itu menghajarku atas nama persahabatan kalian. Benar- benar kurang ajar! Aku akan membalas perbuatan dia, Dinda. Meskipun dia keluarga Darmawangsa, aku tidak takut!!" teriaknya lagi sambil menarik lenganku.

"Kamu selamat hari ini, aku tidak akan menyakiti fisikmu. Karena kamu harus sehat, kamu akan mengurus Astri dan anakku. Jika bukan karena mereka, kamu pasti sudah kuhajar habis," ujarnya sambil menyeretku keluar kamar.

Ucapan- ucapan Iren seketika terngiang di ingatanku.

"Kamu harus berani, kamu harus lawan mereka. Jika kamu tidak bisa melawan, maka racuni mereka!!"

Tapi memikirkannya saja aku gemetar.

Ya Allah, kuatkan aku, kuatkan aku ....

Masih memproses apa yang terjadi, Mas Aditya menyeretku ke lantai 2, menuju ke kamarnya–kamar yang dulunya aku tempati bersamanya dan kini menjadi kamarnya dan Astri.

Mas Aditya membuka kasar pintu kamarnya dan mendorongku masuk ke dalam.

"Siapkan baju pakaian Astri dan punyaku juga. Malam ini, aku akan menginap di rumah sakit," titahnya.

Aku mengangguk dengan tangan yang gemetar.

Saat dilihatnya aku menyiapkan baju, Mas Aditya masuk dan merebahkan diri di atas kasur.

"Sudah beres, Mas."

"Taruh ke bawah sana! Inisiatif dong, bodoh!!" makinya.

Aku sudah kenyang dengan hinaan ibu mertua dan Astri.

Tapi, Mas Aditya, dia tidak pernah berkata kotor padaku meskipun dia sering main fisik.

Itu pun Mas Aditya juga sering minta maaf.

Tanganku mengepal.

Menahan sakit hati, kubawa tas berisi pakaian itu ke bawah.

Aku berjalan menuju dapur, mencari bubuk gatal yang tadinya Iren berikan.

Aku akan mengikuti semua arahan sahabatku itu demi membalas perbuatan Astri, juga Mas Aditya…!

"Ren, mereka memang tidak bisa terus dibiarkan," batinku, menahan emosi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status