"Tapi, aku takut, Ren."
Iren tampak mendengus. "Apa sih, Din? Takut apalagi? Kamu mau dijadikan samsak dan babu gratisan seumur hidup?”“Lihat badan kamu, Din. Kamu kurus sekali, nggak karuan lagi penampilan kamu itu. Padahal dulu kamu tidak seperti ini.” Tunjuknya kesal. “maaf aja, Din. Aku emang blak-blakan begini.""Inget, orangtuamu, besarin kamu capek-capek, sampai memeras keringat dan air mata. Terus, dia ngambil kamu dari mereka untuk disiksa? Bodoh banget kalau kamu diam aja," lanjutnya terus mengomel."Setidaknya, kalau mereka mengurungmu, kamu harus kasih mereka semua racun. Biar selesai semuanya."Mendengar suaranya yang penuh kekecewaan itu, aku memegangi teralis jendela sambil menangis. "Ren, maaf.""Aku nggak butuh maaf kamu, Din. Tolong beranikan diri kamu untuk melawan! Kita harus balas mereka. Tapi, kita kumpulkan semua bukti dulu sebelum menyeret mereka ke penjara," ujar Iren, berusaha meyakinkan aku.Wanita itu kini tampak memainkan ponselnya, sementara aku terdiam memikirkan nasehatnya tadi."Din, dengerin omonganku ini. Baca semua gerak-gerik wanita ular itu dan laporkan semua sama aku. Nanti, aku akan arahin kamu untuk melawannya." Kini Iren berdiri sambil memegangi tanganku.Meskipun kami terhalang jendela berteralis ini, tapi Iren selalu bisa memberiku kekuatan.
Aku tersenyum pada semua kebaikan sahabatku ini.Kalau soal setia kawan, Iren memang tidak perlu diragukan lagi.Kebaikannya selama ini pun tidak kaleng-kaleng.Akan tetapi, aku teringat sesuatu…."Aku nggak punya ponsel, Ren. Gimana mau hubungi kamu?"Dia tersenyum. "Bentar lagi, anak buahku akan datang dan membawakan kamu ponsel. Apapun yang terjadi, kamu harus kasih tahu aku," pintanya yang akhirnya aku jawab dengan anggukan.Tak terasa satu jam berlalu.Anak buah Iren datang membawa ponsel yang sudah di-setting lengkap."Jangan sampai ketahuan Aditya bahwa kamu punya ponsel. Dan ini, simpan di tempat yang paling aman dan mengarah ke ruang keluarga," ujar Iren, memberikan aku sebuah pulpen canggih yang ternyata ada cameranya."Ini cctv untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka," tambahnya lagi, lalu dia menyerahkan beberapa kantung plastik berisi bubuk mencurigakan.“Ini…?”Iren tersenyum. "Bubuk yang bisa membuat mereka bolak- balik wc, bubuk gatal, dan obat tidur," lanjutnya.Mataku membelalak. "Ren, nggak usah! Kamu niat banget.""Ambil, kamu pasti perlu nantinya," paksa Iren."Simpan yang bener," ucapnya lagi mengingatkan.Aku mengangguk saja, dan Iren pun berpamitan pulang.****Diam-diam, aku melakukan apa yang Iren perintahkan.Setelahnya, aku kembali berdoa semoga Astri dan anaknya baik-baik saja.Sore hari, terdengar mobil memasuki halaman rumah diiringi teriakan Mas Aditya memanggilku."Dinda!"Ya Allah, tolong aku.Dari suaranya saja, jelas dia saat ini sedang marah.Apa yang akan terjadi lagi denganku?Aku berlari ke pojokan kamar. Hanya itu yang bisa aku lakukan.Tidak ada tempat lagi untuk aku mengamankan diri.Brak!Pintu kamarku dibuka dengan kasar, wajah Mas Aditya menatap nyalang ke arahku. Namun, aku terkejut melihat penampilannya yang babak-belur dan berantakan….?"Kamu lihat ini, lihat aku!!" teriak Mas Aditya padaku.Aku meringkuk, tidak berani melempar tanya sama sekali."Ini semua perbuatan Iren dan anak buahnya! Sial sekali! Semua gara- gara kamu!" raung Mas Aditya tepat di depanku.Aku menangis ketakutan, melihatnya yang mulai emosi tinggi."Wanita jalang itu menghajarku atas nama persahabatan kalian. Benar- benar kurang ajar! Aku akan membalas perbuatan dia, Dinda. Meskipun dia keluarga Darmawangsa, aku tidak takut!!" teriaknya lagi sambil menarik lenganku."Kamu selamat hari ini, aku tidak akan menyakiti fisikmu. Karena kamu harus sehat, kamu akan mengurus Astri dan anakku. Jika bukan karena mereka, kamu pasti sudah kuhajar habis," ujarnya sambil menyeretku keluar kamar.Ucapan- ucapan Iren seketika terngiang di ingatanku."Kamu harus berani, kamu harus lawan mereka. Jika kamu tidak bisa melawan, maka racuni mereka!!"Tapi memikirkannya saja aku gemetar.Ya Allah, kuatkan aku, kuatkan aku ....Masih memproses apa yang terjadi, Mas Aditya menyeretku ke lantai 2, menuju ke kamarnya–kamar yang dulunya aku tempati bersamanya dan kini menjadi kamarnya dan Astri.Mas Aditya membuka kasar pintu kamarnya dan mendorongku masuk ke dalam."Siapkan baju pakaian Astri dan punyaku juga. Malam ini, aku akan menginap di rumah sakit," titahnya.Aku mengangguk dengan tangan yang gemetar.Saat dilihatnya aku menyiapkan baju, Mas Aditya masuk dan merebahkan diri di atas kasur."Sudah beres, Mas.""Taruh ke bawah sana! Inisiatif dong, bodoh!!" makinya.Aku sudah kenyang dengan hinaan ibu mertua dan Astri.Tapi, Mas Aditya, dia tidak pernah berkata kotor padaku meskipun dia sering main fisik.Itu pun Mas Aditya juga sering minta maaf.Tanganku mengepal.Menahan sakit hati, kubawa tas berisi pakaian itu ke bawah.Aku berjalan menuju dapur, mencari bubuk gatal yang tadinya Iren berikan.Aku akan mengikuti semua arahan sahabatku itu demi membalas perbuatan Astri, juga Mas Aditya…!"Ren, mereka memang tidak bisa terus dibiarkan," batinku, menahan emosi.“Dinda!”Belum sempat aku berjalan menuju dapur, Mas Aditya lagi-lagi berteriak. Ternyata, dia memintaku membuatkannya minuman teh hangat.Pikiran tidak waras kembali membisik. Aku tersenyum dan dengan gembira membuatkannya “minuman spesial”.Setelah selesai, kubawa naik menuju lantai dua dan memasuki kamarnya. Namun, Mas Aditya tidak ada di dalam kamar.Hanya saja kudengar suara guyuran air yang berasal dari kamar mandi. Mendengar itu, secepat kilat kuletakkan minumannya di atas bupet, kemudian aku berlari keluar kamar menuju dapur.Kuambil bubuk gatal tadi sesuai rencana dan aku berlari lagi menaiki lantai dua."Mampus," batinku sambil membuka lemarinya dengan pelan dan menabur bubuk gatal itu dengan pelan ke celana dalamnya Mas Aditya dan juga Astri."Maaf, aku nggak akan lakuin ini. Tapi, Iren benar. Kalian semua sudah terlalu jahat sama aku," gumamku dan bergegas kembali menutup semua dengan rapi. Setelah selesai meletakkan tas baju mereka di dekat pintu utama yang selalu te
"Aku mau ngambil tas Ibu," jawabku kemudian meraih tas- tas yang tergelatak di lantai, tepat di dekatnya. Panik sekali wajahnya tadi! Tenang, Mas! Sekarang, aku justru tidak akan keluar dari pintu rumah ini sebelum memastikan kamu, Astri, dan ibumu mendapat balasan atas penyiksaanku. Kuperhatikan Mas Aditya hanya bisa terdiam. Bahkan, saat aku berjalan menuju tangga ke lantai dua. Di sana tersedia kamar khusus untuk Ibu yang terletak di samping kamar Mas Aditya. Saat berjalan ke arah sana, aku sempat melewati kamar Mas Aditya yang nampak terbuka. Tampak Ibu dan Astri yang sedang menggendong bayinya. Ingin sekali aku ke sana, melihat rupa bayi mereka. Sayangnya, mereka pasti akan mengusirku. Jadi, kuputuskan masuk ke kamar Ibu mertua, kemudian menyusun baju pakaiannya di lemari yang memang selalu aku lakukan ketika Nyonya Besar itu datang untuk menginap. Tapi jika dulu aku penuh kasih dan kesabaran, tidak dengan sekarang. Aku tersenyum ketika mengeluarkan bubuk gatal itu dar
"Cepat bikin sarapan!" titah Ibu mertua tiba-tiba. Aku pun langsung berdiri dan mengusap air mataku. Meskipun rasa sakit masih begitu terasa di seluruh tubuh, aku tetap berusaha waras. Aku tidak boleh panik ketakutan lagi! "Eh mau ke mana?" cegah Astri ketika aku berniat melangkah ke dapur. "Itu anak gue masih nangis parah di kamar! Tuli, ya?" lanjutnya dengan mata melotot. "Terus yang buat sarapan siapa?" tanyaku pelan. "Ya tetap kamu! Bawa tuh bayi," ujarnya. Aku mengernyit. Masa aku bawa bayinya sambil masak? "Sayang, kamu urus dulu bayi kita. Biar Dinda bikin sarapan," bujuk Mas Aditya pada Astri. Sepertinya, dia berpikiran yang sama denganku. "Ih aku nggak mau! Aku capek! Aku melahirkan dia aja mau mati. Kamu aja yang urusin, aku nggak mau," jawab Astri sambil berlalu ke arah luar rumah. Hah?! "Astaga, Aditya! Istri kamu kok gitu? ‘Nggak mau ngurusin anak kalian sama sekali," celetuk Ibu mertua sambil geleng-geleng kepala. Mas Aditya tampak menghela napas. "Udah, ur
"Ya Allah, Iren mana lagi!" gumamku sambil terus berjalan cepat.Satu tanganku masih sibuk menghubungi Iren. Namun, tidak kunjung ada jawaban juga. Ya Allah, habislah aku kalau sampai tertangkap lagi. "Please, angkat Ren, angkat!" lirihku. "Woy, Dinda ...." Terdengar suara teriakkan Astri, membuatku sangat panik. "Penculik... penculik, tolong!" teriak ibu mertua. Aku mempercepat langkah, berusaha tetap tenang, meskipun terlihat di belakang sana, Astri dan Ibu mertua mulai berlari mengejarku. Aku semakin panik luar biasa, ketika orang yang berada disekitaran komplek mulai mengalihkan perhatiannya padaku, ketika terdengar suara Ibu mertua dan Astri yang meneriaki aku penculik. Aku mulai berlari, ketika ada beberapa orang yang mulai ikut berteriak, memintaku untuk berhenti. Tiba- tiba, sebuah mobil hitam berhenti di sampingku. Pintu belakang langsung terbuka, nampak sosok lelaki berbaju hitam, dengan rambut gondrong bersuara. "Cepat masuk!" titahnya. Aku sempat meragu, tapi m
Mendengar panggilan Bonang yang nampak terdengar panik. Iren dan aku pun langsung berdiri menuju keluar kamar.Kulirik sejenak Bayi mungil itu, dia nampak tertidur lelap, pasti sangat lelah baginya menempuh perjalanan jauh untuk pertama kalinya."Kenapa sih si Bonang," gerutu Iren sambil berjalan cepat, dan aku pun ikut menyusul."Kenapa, Nang?" tanya Iren. "Bu, kata Alfi, Aditya menyebarkan beberapa orang, untuk mencari keberadaan bu Dinda," jelas Bonang, membuatku menjadi panik ketakutan."Aduh," lirihku."Tenang- tenang," pinta Iren kepadaku. Aku sangat gelisah, mendengar laporan Bonang."Aku sih sudah yakin ini bakal terjadi. Kamu sebar anak buahmu, untuk mengawasi Aditya, juga orang- orang suruhannya, jangan sampai lengah, oke!" titah Iren kepada Bonang, yang dijawab Bonang dengan anggukan. Kemudian Bonang pun pergi, Iren mengajakku masuk ke dalam."Ren, apa aku pergi saja dari sini ya. Aku nggak enak, Ren. Aku nyusahin kamu jadinya," ungkapku.Iren yang semula berjalan, mendad
Bab10"Ih kak Adam, bener- bener deh, muncul seenaknya saja. Kakak nguping ya," tuduh Iren, pada lelaki dingin itu.Sayangnya. Pertanyaan Iren bagaikan angin lalu, dia malah fokus menatap dingin ke arahku yang menciut."Kak, please ...." Iren kembali bersuara, ketika melihat suasana tidak nyaman terjadi antara aku dan kak Adam."Aku juga lapar, Ren." Akhirnya lelaki itu bersuara dan mengalihkan tatapan tidak nyamannya padaku.Huh, entah kenapa, aku merasa dia sangat jauh berbeda. Dia lebih dingin dari yang pernah kukenal dulu, apa iya gara- gara status jomblo akut yang dia sandang saat ini? Sehingga dia tidak memiliki kehangatan pada wanita mana pun? Entahlah."Eh lapar. Ngomong dong! Ayo makan bareng, Iren ambilin piring," ujar Iren lagi, sambil beranjak dari duduknya dan mengambilkan piring untuk lelaki es batu itu.Yaa, nama yang cocok untuknya. "Es batu.""Makan yang banyak, biar kuat menghadapi kenyataan," sindirnya, kepadaku yang hanya sedikit makan."Apalagi berani bawa kabur
Bab11"Berat," lirihnya, membuatku lekas membenarkan posisi berdiri."Maaf," ujarku sambil berdiri kaku. Entah kenapa, mendadak rasanya jadi salah tingkah."Lain kali hati- hati, selalu saja ceroboh," gumamnya lagi sambil berjalan meninggalkanku."Dasar es batu," batinku. Ah, kesal sekali. Kenapa sih kak Adam ini, malah kembali ke pengaturan awal kami dulu bertemu. Selalu bersikap dingin dan berkata seenak jidatnya saja.Ah sudahlah, lebih baik aku buat sarapan dulu, keburu si bayi rewel.Aku pun bergegas menuju dapur dan mulai membuka- buka kulkas, mengambil beberapa bahan dan memasaknya.Disaat asik memasak, terdengar suara tangisan bayi kecil itu dari kamar. "Cepet betul tuh bayi bangun," gumamku sambil mematikan api kompor, mencuci tangan dan bergegas menuju kamar. Namun langkahku langsung terhenti, ketika mau masuk ke kamar. Lelaki es batu itu sedang berusaha membujuk si bayi agar tidak menangis.Entah kenapa, hatiku menghangat melihatnya. Ditengah perasaan yang campur aduk me
Bab12"Dam, apa ini?" Wanita paru baya yang kak Adam panggil Mamah itu menatap bingung sambil melempar tanya.Aku dan kak Adam merasa kikuk, ditambah Bulan yang susah ditenangkan."Dam, jawab!" pintanya dengan wajah yang mulai kesal."Istri Adam, Mah!" Spontan jawaban kak Adam, membuat aku syok berat. Apa- apaan ini?Mataku membulat, menatap kak Adam, begitu juga dengan Mamahnya."Kamu serius, Dam?" Mamah kak Adam nampak tidak percaya, dengan jawaban konyol lelaki itu. Aku berniat menyela pembicaraan mereka, namun kak Adam dengan gerak cepat, menutup mulutku dengan tangan, sambil tersenyum ke arah Mamahnya."Sayang, kamu tenangin si Dedek dulu," ujarnya lembut, membuat aku semakin kesal.Mamah kak Adam semakin tercengang, mendengar ucapan lelaki itu.Kak Adam menyeretku masuk ke arah kasur, dan dia pun bergegas keluar sambil menutup pintu.Terdengar suara mereka sedang berbicara di depan pintu kamar ini. "Astaga, masalah baru ini mah," batinku.Aku segera mengirim pesan pada Iren, m