Share

Sebuah Nama

"TIDAK!!" pekik Razka.

Dengan peluh membasahi kening, ia terbangun dari tidur.

Teriakannya barusan, bahkan berhasil membangunkan beberapa tuna wisma yang sedang tidur di bawah jembatan Astua; jembatan terpanjang di Kota Metro yang menghubungkan kota itu dengan Kota Milion.

Biasanya, para tuna wisma akan menyalakan perapian di dalam drum besi dan menghangatkan diri di dekatnya.

Sayangnya, malam ini Razka harus ikut bergabung dengan mereka. Semata-mata karena ia harus kabur dari pengejaran polisi-polisi yang ingin memenjarakannya. 

"Hei, anak muda ... jangan berisik. Kami mencoba untuk tidur!" tukas salah satu tuna wisma yang paling dekat dengan Razka.

Razka hanya menunduk dan menarik tas ranselnya mendekat.

Benda-benda yang ada di dalamnya, adalah harta terakhir yang ia miliki.

Seharusnya, ia adalah anak yang bahagia. Dulu Razka memiliki kehidupan yang menyenangkan. Orang tua yang menyayanginya serta teman-teman yang baik.

Namun, semuanya berubah dalam sehari saja. Saat tanpa ia sadari, ia menjadi anak yatim piatu. Kehilangan mommy dan daddy-nya.

Razka memeluk erat ransel lusuh dalam dekapan.

Pikirannya kembali pada mimpi barusan. Ia mendengar teriakan seorang wanita. Wanita itu meneriakkan sebuah nama, sebelum akhirnya ia melihat banyak darah merembes di atas lantai.

Selain itu, ia hanya melihat ring tinju dan belasaan orang yang berjalan menjauh. 

"Varos ... kemana aku harus mencarimu?" lirih Razka merasa lelah. Seperti jutaan beban bertengger di bahunya.

Selama ini Razka terus mengingat nama itu. Nama yang pertama kali ia dengar saat ia kehilangan mommy-nya. Nama yang terus berdengung di dalam mimpi-mimpi buruknya setiap malam.

Sebuah tepukan di bahu Razka, mengejutkan anak itu.

Razka berbalik dan melihat seorang laki-laki tua tersenyum padanya.

Razka menyiagakan dirinya sendiri. Kehidupannya selama ini, menjadikan Razka selalu waspada.

"Jangan takut anak muda. Aku sama sepertimu. Hanya ingin berteduh malam ini. Hujannya lumayan deras," ungkap orang itu sambil terus berusaha menghangatkan diri.

Razka menoleh, melihat keadaan sekitar. Ternyata hujan sedang turun dengan derasnya.

"Silahkan saja ...," sahut Razka sambil terus mendekap tas ransel miliknya yang usang.

Laki-laki tua itu tersenyum.

"Apa kau selalu bermimpi buruk?" tanyanya tertuju pada Razka.

Razka bukan anak yang suka bicara pada orang yang tidak ia kenal. Namun, ia juga bukan anak yang tidak tahu sopan santun.

Bagaimana pun juga, mommy pernah mengajarinya tentang sopan santun pada sosok yang lebih tua. Pun dengan pengasuhnya selama ini.

"Ya. Hanya mimpi buruk ...," sahut Razka.

Lagi-lagi orang itu menepuk bahu Razka.

"Di mana keluargamu? Kenapa hidup di jalanan?" selidiknya lagi.

Razka membuang pandangan. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. Lagipula, hidup di jalanan bukan keinginannya sama sekali. Nasiblah yang menuntunnya ke arah ini.

"Saya yatim piatu, Tuan. Tidak punya keluarga atau orang lain yang bisa di anggap keluarga," sahut Razka sekedarnya saja. 

Orang itu terlihat mengamati Razka dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu menangkap pergelangan tangan Razka.

"Eh?" Razka terkejut. 

Razka ingin menarik tangannya, namun tenaga orang itu jauh lebih besar. 

"Tulangmu besar dan keras. Apakah kamu berlatih?" tanya orang itu tiba-tiba. 

Razka masih berusaha menarik tangannya, tapi tetap tidak berhasil.

"Maaf, Tuan. Lepaskan tangan saya, saya tidak berlatih apa-apa," sahut Razka berbohong.

Pada kenyataannya, ia akan melatih dirinya jika ada kesempatan. James mengajarkannya untuk bisa membela diri, dengan cara-cara yang laki-laki itu ketahui. Tinju. 

"Sayang sekali. Padahal, kamu bisa menjadi seorang atlet atau fighter dengan komposisi tulang seperti ini ...," jelas orang tua itu seraya melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Razka.

Razka memegangi tangannya yang memerah. Cengkeraman orang itu lumayan erat. Pasti bukan orang sembarangan.

"Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan? Saya cukup yakin kalau Anda bukan gelandangan yang kebetulan berteduh," tanya Razka sedikit penasaran.

Apalagi saat ia melihat arloji mahal yang tidak sengaja mengintip dari balik lengan jaketnya yang terangkat.

"Ha ha ha ... kamu memiliki pengamatan yang baik! Aku memang bukan gelandangan seperti orang-orang ini. Aku hanya seseorang yang harus berteduh. Pada awalnya, kamu berpikir kalau aku juga gelandangan, bukan?" tanya orang itu menuduh.

Razka tertunduk. Orang itu benar, tadi ia berpikir kalau sosok itu sama seperti yang lainnya.

"Maaf, Tuan."

Sosok itu berdiri. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam sana.

Selembar uang seratus ribu dan sebuah kartu nama.

"Hujan telah reda. Kamu bisa menghubungiku jika ingin mengubah nasib. Kebetulan aku sedang mencari anak-anak muda berbakat. Lalu, ini ada sedikit uang untukmu. Kuharap kamu mau menerimanya ...," jelas orang yang bernama Ramses itu. Razka mengetahuinya dari kartu nama yang ia terima.

Razka ingin menolaknya, namun perutnya yang kelaparan, menyingkirkan egonya yang tinggi. 

"Terima kasih, Tuan."

Ramses pergi dari sana. Dengan sedikit berlari, ia menembus rintik hujan yang masih tersisa.

Razka menyimpan selembar uang yang menurutnya sangat berharga. Lalu memandangi kartu nama yang membuatnya berpikir dua kali.

"Ramses Arkana. Pencari bakat dan pemilik klub fighter 'The Cobra'? Kenapa nasib tidak ingin menjauhkanku dari hal-hal seperti ini?" tanya Razka pada dirinya sendiri.

Ia menyimpan kartu nama itu di dalam saku ranselnya. Mungkin ia akan menghubunginya nanti. Mungkin juga tidak. 

Jika mengingat-ingat bagaimana ia bisa berakhir di jalanan seperti ini, ia tidak mau lagi berurusan dengan tinju atau hal-hal yang berhubungan dengan olah raga itu.

Namun, saat mengingat mimpi-mimpinya atau bagaimana ia kehilangan sang ibu, Razka merasa ia tidak punya tujuan lain di dalam hidupnya, selain membalas dendam.

Satu-satunya orang yang selama ini melindunginya, telah tertangkap oleh polisi karena mencoba menolongnya. Razka tau, James pasti akan mendukungnya untuk membalas dendam.

James adalah salah satu orang yang sangat memuja Marco, saat ayahnya merupakan petinju tanpa kekalahan. 

Selain itu, kebaikan Marco kepada James, membuat orang itu bisa bertahan walaupun tidak sesukses Marco. 

Akan tetapi, kematian Marco Geraldino membuat James Rowan harus ikut jatuh dan terpuruk. Tidak ada lagi pertandingan untuknya. Tidak ada lagi yang melirik dirinya. 

Sampai-sampai, ia sendiri ditinggalkan oleh istri dan anak yang ia sayangi.

Saat itulah James menemukan Razka. Anak itu ketakutan dan perlu perlindungan. Atas kebaikan Marco selama ini, James memutuskan untuk menjaga anak itu. Mengajarkan apa yang ia tau.

Walaupun tidak bisa memberikan kehidupan yang baik, setidaknya Razka pernah tahu siapa James. Razka merasa aman. 

Pada suatu hari, James membawa Razka pergi menjauh dari Kota Metro. Hutang yang melilitnya, memaksa James untuk bersembunyi. 

James bahkan tidak tau kalau Armand adalah paman dari Razka. Razka juga tidak pernah bilang kalau ia masih punya keluarga lainnya.

Saat itu usia Razka baru berusia lima tahun. Apa yang bisa ia jelaskan kepada orang lain?

Saat ini, Razka bahkan tidak mengingat lagi siapa keluarga-keluarganya dengan jelas. 

Hal yang tersisa dalam ingatan Razka hanya sebuah nama. Nama yang terus muncul di dalam mimpi-mimpinya. Seperti semesta tidak mengijinkannya untuk lupa. 

Varos. 

Nama yang menjadi bagian dari mimpi buruknya selama sepuluh tahun belakangan.

Nama yang ia ketahui sebagai pembunuh kedua orang tuanya. 

Nama yang pasti akan ia temukan suatu hari nanti ....

[]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status