"apa yang ibu katakan?""Aku hanya ingin mengulik kebenaran sekaligus ingin tahu seperti apa karakter orang yang akan jadi bagian keluargaku. Aku ingin tahu apakah kau puas memisahkan Alvin dengan Indira?""Tidak, aku tidak bermaksud seperti itu, yang ada hantu dalam pikiranku hanya fokus tentang Aku dan Alvin.""Oh, tidakkah kau memikirkan bahwa setelah kejadian ini banyak kehidupan orang lain yang akan terpengaruh?""Mas Alvin sudah tidak bahagia dengan Mbak Indira. Oleh karena itu dia menjalin hubungan denganku dan membuat janji bahwa kita akan bersama selamanya.""Astaga, aku terkejut ketika kau mempercayai orang yang menghianati istrinya. Tidakkah kau berpikir bahwa sekarang dia menghianati Indira lalu di masa depan dia mungkin akan menghianatimu?"Nampaknya pertanyaan Ibu menohok sekali. Mona terlihat bingung sementara aku hanya menahan tawa."Sebenarnya apa dan bagaimana arah pembicaraan Ibu ini? Apakah sebenarnya Ibu mendukungku atau menolakku?""Aku harus bersikap objektif,
Kubuka pintu, dengan ekspektasi bahwa aku bisa merasakan keheningan dan menikmati kesendirianku selagi memikirkan konflik yang akhir-akhir ini terjadi. Namun alangkah kagetnya ketika sampai di ruang tengah karena kudapati Mas ALvin sedang tertidur pulas di sofa."Apa ... dia tidak kerja? Tapi, dia masih pakai baju kerja." Aku berpikir sambil mendekat. Wajah Mas Alvin terlihat pucat, tubuhnya sedikit menggigil sementara dengkuran halus yang disertai rintihan kecil itu menandakan bahwa ia sedang tak sehat.Kuraba keningnya dan terasa panas sekali. Aku terkejut karena suamiku adalah tipe orang yang jarang sekali sakit. "Astaga, dia demam." Aku menggumam sambil mendekat lebih dalam dan membangunkannya."Mas?" Kuguncang perlahan bahunya. Pria itu mengerjap dan sedikit kaget."Ada apa?""Kenapa kamu?""Aku gak enak badan.""Kupikir kau masih di kantor atau malah pergi ke rumah ibu," ujarku lirih."Aku ... merasa tak enak badan hari ini. Aku putuskan untuk izin pulang lebih cepat dan tidu
Malam ini terasa begitu dingin, udara berhembus pelan tapi hawa dingin itu seakan menyusup ke tulang dan membuat tubuh menggigil.Sekarang di sinilah aku, duduk berdua di kursi teras bersama Mas Alvin. Kami saling menatap dalam diam, sementara dua gelas kopi yang sejak tadi terhidang sudah mulai dingin dan kehilangan uap hangatnya."Jadi bagaimana?" Tanyaku membuka pembicaraan."Apa ini adalah akhir dari segalanya.""Sebaliknya, ini awal yang baru untukmu, Mas.""Hmm, aku pesimis tentang itu," jawabnya dengan senyum getir. " Apa kau tetap bersikeras agar aku menikah."Aku hanya tersenyum sambil mendesah pelan. "Lalu ... kalau bukan itu solusinya, lantas apa? Aku juga tidak sanggup melawan stigma dan pandangan buruk orang lain ketika mereka membicarakan kabar kau menghamili wanita lain tanpa tanggung jawab.""Jadi, aku harus menjadi laki-laki bertanggung jawab?""Berani berbuat, berarti berani menanggung konsekuensi.""Kau merelakanku?""Sejak tahu kau berselingkuh aku memutuskan unt
Pukul sembilan malam, aku sedang di kamar, membersihkan lemari, mengeluarkan beberapa baju dan memilih beberapa yang akan aku kusambangkan. Kupindahkan juga pakaian Mas Alvin, siapa tahu ia akan pindah ke rumah ibunya setelah percakapan sengit kamu tadi malam.Di jajaran baju yang kugantung masih tersimpan gaun pengantin yang kukenakan sebelas tahun lalu, gaun satin dengan bagian ekor tile panjang dipenuhi payet payet berkilau, perlahan kusentuh gaun itu dan air mataku jatuh begitu saja. "Maafkan aku, karena aku tak bisa menjaga janji suci yang kuucap saat memakai gaun ini." Aku menggumam pada diriku sendiri sambil menghela napas.Di samping gaun itu juga ada beberapa jas suami, kuturunkan salah satunya lalu mencium aroma yang tertinggal di sana. Kupeluk kemeja itu sambil menyesal dengan rasa sedih, mengapa kami bisa bermasalah sejauh ini. Harusnya ... jika perbuatan Mas Alvin tidak begitu jauh, kami mungkin masih bisa mempertahan rumah tangga. Tapi apa boleh buat dengan kejadian sek
Aku menangis bukan karena takut kehilangan, hatiku hanya sedih, ya, hanya sebuah kesedihan yang butuh air mata untuk jatuh agar hati merasa lega. "Kau tidak mencintaiku lagi?" tanyanya memecah keheningan. Aku tak menjawab, lidahku kelu, tenggorokanku tercekat dan aku tak kuasa menjawab."Cinta? Tentu. Tapi sudah kubilang, semuanya sudah berakhir sekarang Mas."tak mampu disembunyikan suaraku tercekat dengan kentara.Aku menangis sedih dan tak bisa menguasai perasaanku."Tak perlu bercerai jika masih ada cinta," ucapnya lirih, sedang aku tak menjawab.Dentingan sendok yang beradu di piring Mas Alvin membuatku makin sedih memikirkan setelah perpisahan kami maka tidak akan ada yang makan seberisik dia. Kebiasaannya selalu minta ditemani dan kalau makan selalu bersemangat, sehingga sendok dan piring berdentingan.Kuusap mata dengan air lalu menyekanya dengan tisu, Mas Alvin paham bahwa aku sangat sedih dan berusaha menyimpan kesedihan itu agar tidak terlihat jelas di depan matanya."Lih
Ada yang berbeda hari ini, aku yang baru kembali dari pusat kebugaran untuk membentuk kembali tubuhku agar menjadi lebih indah kaget dengan suasana rumah yang sangat sepi. Biasanya anak-anak akan duduk di ruang tv sambil menyalakan channel Nickelodeon dengan volume cukup kencang sambil menumpahkan mainan, tapi sekarang rumah seakan tidak berpenghuni."Rina, gema!" Kupanggil kedua anakku namun mereka tidak menjawab, hanya asisten rumah tanggaku yang tiba-tiba menghampiri dan memberi tahu kalau kedua anakku pergi deng ayahnya."Ibu, tadi Bapak keluar dengan anak anak.""Kemana?""Mungkin jalan jalan.""Baiklah kalau begitu."Kuhela napas lalu meletakkan sepatu ke rak sepatu, kulewati kaca hias yang tertanam dinding sambil memperhatikan siluet tubuh yang masih memakai legging hitam dan crop top berwarna biru. "Nampaknya tubuhku tidak begitu buruk, wajahku juga tidak demikian jelek, harusnya aku lebih menghargai diriku dan membahagiakan mentalku," ujarku sambil tersenyum sendiri dan per
Melihat wanita itu terjerembab ke lantai aku dan kedua anakku langsung syok dan hanya bisa menahan nafas kami. Aku yang panik langsung mendekat, mencoba membangunkan Mona namun wanita itu bergeming tidak merespon apapun."Mona!"Kutepuk pipinya namun wanita itu tidak bangun-bangun juga."Mas, gimana dong ini ....""Biar saja mati!""Jangan gitu dong Mas," ucapku memelas. Aku syok sekali melihat wanita dipukuli degan sekeras itu, suara tangan Mas Alvin berbunyi kencang dan kuyakin itu sakit sekali."Beraninya dia mengatakan itu di depan anak-anakku.""Dia memang bersalah dan lancang sekali, aku memang membenci perbuatannya namun, tindakan dan reaksi mu sangat berlebihan, bisa saja wanita ini mati di tempat Mas ....""Dia tidak akan mati begitu saja."Suamiku yang sudah terlanjur geram langsung naik ke atas lalu pergi ke kamar dan menutup pintunya dengan kencang. Kuraba tubuh Mona yang terasa dingin, kucoba menyadarkan dia dan tak lama kemudian dia pelan-pelan mengerjap dan bibirnya s
Mendengar teriakan Mas ALvin yang sangat marah, Mona sangat kaget bahkan sempat hampir terlunjak dari posisinya. Dia menjadi pucat dan syok sekali saat suamiku bilang menyuruhnya keluar dari rumah kami."Apa yang kau tunggu, keluar dari rumah ini." Mas Alvi. Menghampirinya, menarik tubuh langsing wanita itu, sekuat tenaga Mona meronta hingga piring yang ada di meja tersenggol tangannya lalu terjatuh ke lantai dan ikut pecah juga. "Aku gak mau!""Keluar Jalang, kau tak berhak di sini!" Mas Alvin menyeretnya, menariknya dengan kasar, wanita itu menginjak beling dan terseret seret seperti binatang yang baru ditembak. Dia menjerit dan minta dikasihani."Mas, aku akan mati Mas, kakiku sakit ... Auh!""Kau memang mau mati kan? Jadi ayolah, mati benaran," ujar Mas Alvin. Melihat situasi tak kondusif yang berpotensi akan jadi perkara kriminal membuatku langsung bertindak dan melerai mereka."Cukup, ini rumahku, kalian berdua tidak berhak membuat keributan di sini dan mengganggu anak-anakku!"