Share

Merasa Diabaikan

          “Enggak apa-apa masuk? Kalau orang tua lu marah bagaimana? Gue enggak enak, baru juga bertamu sudah berulah.”

          “Santai saja, mereka enggak bakal tahu.”

          Dengan langkah cepat cowok berkumis tipis itu pun langsung masuk dan menutup pintu. Rine terkekeh pelan melihat tingkah laku Abbian. Ternyata pikirannya terhadap cowok itu salah besar. Rine mengira Abbian sosok yang berani sekaligus tidak punya sopan santun, tetapi malam itu tidak terbukti. Dia tadi sempat bersembunyi di balik tembok untuk melihat bagaimana perilaku Abbian kepada kedua orang tuanya. Mencium tangan, rutinitas yang sudah dilupakan Rine itu menimbulkan nostalgia ke zaman dirinya saat bersekolah dasar. Ingatan itu pulih saat sadar cowok di sampingnya kembali mengambil telur gulung dan memakannya dengan wajah tidak berdosa.

          Perut Rine sudah kekenyangan akibat telur gulung sehingga dia mengambil air minum di atas meja. Dia kembali dan langsung merebahkan diri. Pandangannya menghadap langit-langit, tidak sadar bahwa Abbian dengan hati-hati melirik sekitar. Bukannya menemukan pakaian dalam atau hal lain yang memalukan, dia menangkap selembar kain penutup kepala, jilbab, yang tergeletak di samping lemari. Cowok itu langsung berhenti mengunyah, sebab perasaannya campur aduk sekarang. Dadanya sedikit nyeri dan kembali teringat obrolannya dengan Rine saat di kedai es cendol. Dia mulai memahami perasaan kekasihnya secara penuh.

          Telur gulung dengan cita rasa gurih ditambah sedikit pedas karena dibaluri saus mendadak hambar. Pikiran Abbian ke mana-mana, dia juga mempertanyakan perasaannya sendiri kepada Rine. Sekelebat bayangan Nissa muncul di pelupuk matanya sehingga dia menggeleng-geleng serupa orang kesurupan.

          “Kenapa lu? Kepedasan?”

          “Eh, enggak apa-apa, Rin. Lu mau tidur?”

          “Enggak, cuma lagi mikir saja.”

          “Gue boleh minta sesuatu, enggak?” tanya Abbian dengan hati-hati.

          “Apaan? Jangan aneh-aneh, ya.”

          “Coba pakai jilbab, gue pengin lihat ibu anak-anak gue ini.”

          Tiba-tiba hening seketika, Rine tidak menjawab apa pun. Dia hanya menatap Abbian dengan sendu. Cowok itu kaget bukan kepalang, takut-takut dirinya salah dalam ucapan. Tanpa disangka Rine bangun dan berjalan memungut jilbab yang tadi sudah dilirik Abbian. Cewek itu tampak kesusahan melilitkan kain itu ke kepalanya sehingga harus duduk jongkok. Setelah pas, dia langsung mencari-cari sesuatu di laci lemari. Saat menemukan jarum, dia langsung memasangkannya ke area di bawah dagu. Terlihat sekali bahwa hal itu bukan kebiasaannya, tangannya sangat berhati-hati dan kaku. Namun, Abbian merasakan desir berbeda di hatinya. Ada kekaguman yang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Dia langsung beranjak dan memeluk Rine dari belakang. Mata Abbian yang biasanya selalu tajam meredup, sedikit basah. Dia berhasil menutupi itu semua dengan cara menunduk di bahu Rine. Cowok itu berjanji di dalam hati untuk tidak melepaskan kekasihnya itu apa pun yang terjadi nanti.

          Rine yang diperlakukan begitu langsung terdiam. Tangan lentiknya yang hendak memasangkan jarum ke kerudung mendadak juga membeku. Mereka menikmati momen itu tanpa kata. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Ketukan di pintu berhasil membuat mereka kelabakan dan Abbian melepaskan pelukannya. Cepat-cepat Rine membuka jilbabnya dan menyuruh kekasihnya itu untuk duduk tenang di kasur. Saat pintu dibuka oleh Rine, wanita paruh baya yang sudah terlihat segar tanpa riasan berujar, “Oh, Abbian belum pulang, ya. Kalau begitu ikut kumpul bersama, ya, sekarang.”

          “Abbian mau pulang, Ma,” jawab Rine cepat karena merasa tidak nyaman.

          “Jangan dululah. Ya, kan, Abbian? Kamu bisa ikut kumpul dulu, kan?”

          “Bisa, Tante,” putusnya sembari melirik ke arah Rine yang terlihat sebal.

          Di ruang keluarga, mama dan papa Rine terlihat duduk santai. Di depannya ada berbagai kue kering dan juga jus jeruk. Abbian sedikit merasa takut karena berpikir dirinya akan disidang mendadak. Bagaimana tidak, dia tertangkap basah berada di kamar Rine. Berbanding terbalik dengan Rine yang santai-santai saja karena sudah hafal betul orang tuanya seperti apa. Mereka tidak lebih dari dua orang asing yang baik, sebab memberikan tempat tinggal dan juga berbagai fasilitas. Meskipun itu semua tidak menjadikan Rine sosok yang ceria dan penuh kebahagiaan.

          “Abbian satu prodi dengan Rine?” tanya si Papa memecah keheningan di antara suara televisi yang samar-samar.

          “Enggak, Om. Lebih tepatnya prodi kami tetanggaan,” jawab Abbian disertai senyum canggung.

          “Om sama Tante titip Rine, ya. Dia memang susah diatur anaknya, pulang ke rumah juga jarang. Kamu satu-satunya cowok yang ke sini, biasanya cuma Nissa yang ke sini.”

          “Siap, Om. Saya pasti jaga Rine, kok.”

          “Dengar itu, Rin. Jangan bandel kamu,” sahut mamanya.

          “Hem.”

          “Orang tua bicara jangan begitu,” tegur papanya dengan nada cukup tinggi.

          “Iya, Tuan dan Nyonya,” jawab Rine dan langsung bangkit dari tempat duduknya.

          “Kamu kebiasaan, Rin. Kami belum selesai bicara,” teriak mamanya sambil berdiri.

          “Sudah, Ma. Sana Abbian susul Rine dulu,” pinta papanya dengan nada putus asa.

          Bukan main kagetnya Abbian melihat Rine seperti itu. Hatinya gundah gulana diliputi praduga. Hanya saja dia tidak mau menanyakannya malam ini. Bisa-bisa berganti statusnya dari kekasih ke mantan. Dia langsung mengetuk pintu dan bilang bahwa itu dirinya. Butuh waktu beberapa menit untuk pintu itu terbuka. Menceloslah hati Abbian tatkala mata Rine berembun. Dia yang awalnya hendak pamit pulang langsung mengurungkan niatnya. Abbian mengelus rambut Rine, Rine pun menyandarkan kepalanya. Tidak ada yang berani memulai obrolan, terlebih-lebih Abbian. Dia hanya bisa berharap cewek di sampingnya mau bercerita tanpa diminta. Lama tidak ada suara, Abbian menengok wajah Rine yang sudah terlelap dengan napas teratur.

          Rine menunggu Nissa di pos satpam. Tiba-tiba Abbian datang dengan membonceng Nissa. Beberapa pasang mata mengabadikan momen itu dengan berbagai pikiran, tidak terkecuali Rine. Hanya saja dia berpura-pura tidak masalah. Sebelum Nissa mengajak Rine pergi, Abbian lebih dulu berkata, “Rin, tadi gue ketemu Nissa di depan. Jadinya sekalian dibonceng biar lu enggak lama nunggunya.”

          “Iya, santai.”

          “Lu enggak marah sama gue, kan?” tanya Nissa dengan muka cemas.

          Tawa Rine meledak seketika. Meskipun awalnya juga kurang nyaman saat melihat kekasihnya bersama sahabatnya, tetapi Rine tahu bahwa mereka tidak ada apa-apa.

          “Bian, nanti Rine pulang bareng gue, ya,” celetuk Nissa sembari menggandeng lengan Rine dan mengajaknya berjalan ke kelas.

          “Heh, gila apa gue. Mau naik apa lu ngajak cewek gue pulang bareng?” Abbian yang buru-buru memarkir motornya langsung berlari untuk mengejar dua perempuan cantik di depannya.

          “Belagu banget lu. Naik angkotlah, ya kali terbang.”

          “Si bego, Rine bawa motor. Lu bonceng saja sama dia.”

          Rine yang hanya menjadi penyimak merasa diabaikan sehingga mempercepat jalannya. Nissa tidak menyadari bahwa sahabatnya tidak nyaman, begitu pula Abbian. Keduanya masih adu mulut layaknya kucing dan tikus. Saat hendak masuk ke kelas masing-masing, Nissa baru menyadari bahwa Rine telah masuk ke kelasnya lebih dulu. Abbian yang menyadari kesalahannya langsung ingin menghampiri Rine. Namun, dosen mata kuliah pertama sudah berjalan menuju kelasnya sehingga niat itu urung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status