"Bintang, gimana? Angkasa jagain kamu kan di sekolah?" tanya Tante Jenni, membuat semua orang yang ada di meja itu menoleh padaku, kecuali Papa tentunya. Dan Angkasa yang tampak acuh dan lebih memilih fokus ke makan siangnya.
"Iya, Tante. Angkasa jagain Bintang banget, kok. Sampai Bintang pulang sama sahabat Bintang aja nggak dibolehin sama Angkasa." Aku langsung mendapat lirikan tajam oleh Angkasa, tentu saja karena sudah menyindirnya masalah kemarin saat dia melarangku pulang bersama Galang dan Nina.
Tante Jenni terkekeh, lalu menoleh pada anaknya. "Jangan terlalu posesif gitu dong, Sa."
Mendengar kata 'posesif', jadi berasa aku ini adalah pacar Angkasa. Tiba-tiba pipiku memanas hanya memikirkan hal konyol itu. Aku pasti sudah gila!
"Kalo nggak diposesifin, dia bisa keluyuran kemana-mana, Ma."
Aku mendelik, mendengar jawaban enteng Angkasa. "Emang gue cewek apaan? Jangan ngomong yang enggak-enggak deh lo."
"Loh, Bi? Kok panggil Angkasa pak
Bersamaan dengan teriakan, tangannya yang kuat menggenggam pergelangan tanganku lebih erat dan membalikkan tubuhku dengan mudahnya sehingga kami berdiri berhadapan."APA?" bentakku sambil berusaha melepaskan tanganku namun genggamannya lebih kuat."Nggak usah childish bisa nggak?""Bukannya lo yang childish? Marah-marah nggak jelas, bahkan di saat gue nggak tahu bikin salah apa. Kalau lo nggak suka sama keberadaan gue, ngomong! Nggak perlu cari-cari alasan sampai bawa nama orang lain. Gue juga udah terbiasa sama penolakan, jadi nggak usah sungkan buat ngusir gue!" Aku menghempaskan tangannya yang mengendur. Menatapnya marah. Dia kira hanya dia saja yang bisa marah? Dia kira aku perempuan lemah?"Bukan gitu." Ekspresinya melunak. Dia meremas rambut sambil berkata lagi, "Gue bukannya nggak suka sama lo.""Terus apa? Lo lagi ada masalah dan melampiaskannya ke gue? Gitu? Muka gue emang cocok banget ya buat tempat pelampiasan?""Ya Allah, enggak
Aku menoleh pada Intan setelah membalas pesan dari Galang. "Pulang sekolah, kita diajak hang out sama Galang-Nina.""Boleh. Gue juga lagi bosen di rumah terus." Aku hanya membalasnya dengan gumaman dan anggukan kepala. "Elo juga ikut, kan?""Iyalah. Ini kan juga buat gantiin yang kemaren nggak jadi gara-gara Angkasa nggak bolehin.""Emang lo yakin ntar Kak Angkasa bolehin?"Aku menoleh sekilas ke Intan, sebelum kembali fokus ke tulisan di papan tulis. "Emang kenapa kalo ntar dia nggak bolehin? Bukan siapa-siapa gue, ini.""Siapa bilang bukan siapa-siapa? Hampir jadi siapa-siapanya, Bi.""Emang lo peramal?""Ini fakta.""Fakta apaan?""Nih ya lo denger. Fakta pertama, lo sama Kak Angkasa tuh emang nggak bisa dibilang temen atau sahabat, karena kalian nggak pernah bisa akur. Tapi pada kenyataannya tiap hari kalian tuh pulang sekolah sama-sama melulu dan itu ngebuktiin kalau ada kemungkinan kalian bisa jadi pasangan yang menjalin te
"Sakit?" tanyanya. Aku hanya bergumam tanpa membuka mata. "Ayo ke UKS."Dia sudah bangkit dengan posisi tangan menggenggam lenganku. Kulepaskan genggaman tangannya perlahan. "Enggak perlu ke UKS. Gu-aku cuma butuh istirahat bentar di sini."Dia menatapku, mungkin mengamati keadaanku sebelum akhirnya menghela napas berat kemudian duduk kembali. Padahal aku berharap dia membiarkanku sendiri di sini. Kupejamkan mata kembali dan menyandarkan kepala ke dinding namun lagi-lagi aku tersentak saat tangannya terulur menggerakkan kepalaku bersandar di bahunya. Tentu saja itu membuatku menatapnya lama dan mengangkat kepala dari bahunya."Tidur aja!" ucapnya seraya menyandarkan kepalaku lagi ke bahunya.Rasanya memang lebih nyaman daripada bersandar di dinding. Karena itu untuk kali ini aku mengalahkan ego dan menurutinya. Dengan mata terpejam kugerakkan kepalaku lagi, mencari posisi yang lebih nyaman. Dan tangannya yang tiba-tiba memeluk bahuku dari belakang membu
"Bi, Sayangku!"Aku memejamkan mata saat Intan berlari—yang jujur tak ada anggun-anggunnya sama sekali—ke arahku dan langsung memeluk erat. Aku langsung melepaskan paksa pelukannya sebelum persediaan oksigen di paru-paruku habis."Apa sih, Tan? Gue kehabisan napas tau!"Intan memberengut. "Kan gue kangen, Bi. Tiga hari nggak ketemu lo tuh berasa kayak sup tanpa garam, hambar.""Dih. Lo ketularan lebaynya Kak Romi kayaknya deh."Intan mencebikkan bibir mendengar cibiranku. Sebenarnya aku juga cukup merindukan sahabat perempuanku satu-satunya ini. Selama tiga hari dia pergi ke kota Padang untuk menjenguk neneknya yang sakit. "Jangan ingetin gue soal cowok maho itu."Aku terkekeh geli. "Tanpa gue ingetin pun lo bakal terus inget dia. Karena sampe pesta ini kelar, lo bakal liat muka dia.""Emang dia juga dateng ke sini?""Tuh." Aku menunjuk ke arah belakang Intan, yang langsung diikuti olehnya.Tampak di sana si kembar—Angkasa
Aku melirik tajam ke arah Intan yang cengengesan. Iqbal ini punya kadar protektif yang sangat over terhadapku dan itu benar-benar membuatku jengah. Dan meskipun dia termasuk cowok humoris, tapi tetap tampak sangat menakutkan saat sedang serius."Enggak usah bersikap kayak Abang beneran, deh." Aku menghindari tatapannya."Lo punya pacar?""Enggak.""Lo masih kecil, Bi." Tuh kan? Kalau dia memanggilku dengan sebutan 'Bi' berarti dia sedang benar-benar serius."Gue nggak pacaran, Ibal." Dia menyipitkan matanya menatapku namun aku langsung menggandeng lengannya. "Udah deh mending sekarang lo makan dulu karena acara tiup lilinnya udah mau mulai. Oke, Abang Ibal?"Dan berani jamin kalau aku sudah memanggilnya 'Abang Ibal' maka dia pasti akan menurut. "Ya udah tapi abis acara ini selesai lo harus jelasin siapa Angkasa Angkasa itu. Ngerti?"Setelah Iqbal pergi, aku langsung mendelik pada Intan. "Elo sih!""Loh, emang apa salahnya sih?" t
Keningku berkerut saat masuk ke dalam kelas dan mendapati sebagian besar teman-teman sekelas sudah duduk rapi di kursi masing-masing dengan kesibukan mereka. Ada dua kelompok disana, kelompok pertama tengah fokus membolak-balik halaman buku sambil komat-kamit dan itu bisa dihitung dengan jari. Sementara kelompok kedua tengah sibuk menulis sesuatu di kertas kecil. Dan Intan termasuk dalam kelompok kedua yang sepertinya tengah membuat contekan ulangan.Tunggu...contekan ulangan?Aku segera menuju tempat dudukku dan meletakkan tas punggungku di atas meja sembari duduk. "Emang hari ini ada ulangan, Tan?"Intan menoleh sekilas padaku sebelum kembali fokus ke kertas kecilnya. "Jangan bilang lo nggak inget?""Emang beneran ada?""Sejarah."Mataku membelalak lebar dan langsung menepuk kening dengan telapak tangan."Lo lupa? Tumben."Aku berdecak mendengar ucapan Intan, namun langsung mengambil buku catatan sejarah dari dalam tas ke
"Bi, lo beneran nggak mau pulang sama Kak Angkasa?" tanya Intan, saat kami sama-sama melewati pintu gerbang depan untuk keluar dari gedung sekolah. Aku hanya bergumam pelan dengan pandangan fokus ke layar ponsel sembari berjalan. "Seenggaknya ngomong dulu gitu?"Kuangkat pandanganku ke arah Intan, dan mendecakkan lidah. "Setelah tadi dia tarik-tarik gue di depan banyak orang dan ngebentak-bentak kayak gitu?" Aku berdecih pelan. "Maaf, gue bukan cewek yang sesabar itu.""Terus lo mau naik bis kayak sebelum-sebelumnya, gitu?""Ada Ibal." Aku mengangkat ponsel ke arah Intan.Intan mengangguk mengerti namun ekspresinya berubah jahil. "Lo mau jalan dulu nggak sama Abang Ibal? Gue juga mau dong diajak jalan."Aku tersenyum geli. "Terus itu supir lo mau dikemanain?"Intan mencebikkan bibirnya menatap mobil pribadi yang sudah terparkir di depan kami. "Gue suruh pulang!""Les privat lo?"Intan menghentakkan kakinya satu kali. "Kalo nggak mau gu
Semburat jingga perlahan menggores langit senja, mengantarkan sang raja siang kembali ke peraduannya dan menjemput ratu malam menampakkan kecantikannya. Lampu-lampu mulai menerangi jalanan kompleks perumahan. Aku berjalan pelan, merapatkan jaket saat kakiku melangkah memasuki gerbang rumah. Ini memang sudah sore, tapi aku baru pulang ke rumah masih berbalut seragam sekolah hari ini. Perlahan kuputar kenop pintu depan dan membukanya pelan. Aku menghela napas saat sepi dan hampa menyerangku begitu masuk ke bagian rumah yang lebih dalam. Rumah masih sepi. Mungkin Papa dan Bunda masih berada di tempat kerjanya, lalu Kak Viny berada di kamarnya. Dan Bu Rini dan Pak Udin yang mungkin sudah beristirahat di paviliun belakang rumah, yang memang disediakan untuk tempat tinggal mereka.Kehela napas untuk kesekian kalinya, saat kakiku melangkah menaiki anak tangga. Aku ingin berjalan mundur ke situasi beberapa bulan lalu, saat keadaan lebih baik daripada sekarang. Saat Papa masih mengurus