"Bi, lo beneran nggak mau pulang sama Kak Angkasa?" tanya Intan, saat kami sama-sama melewati pintu gerbang depan untuk keluar dari gedung sekolah. Aku hanya bergumam pelan dengan pandangan fokus ke layar ponsel sembari berjalan. "Seenggaknya ngomong dulu gitu?"
Kuangkat pandanganku ke arah Intan, dan mendecakkan lidah. "Setelah tadi dia tarik-tarik gue di depan banyak orang dan ngebentak-bentak kayak gitu?" Aku berdecih pelan. "Maaf, gue bukan cewek yang sesabar itu."
"Terus lo mau naik bis kayak sebelum-sebelumnya, gitu?"
"Ada Ibal." Aku mengangkat ponsel ke arah Intan.
Intan mengangguk mengerti namun ekspresinya berubah jahil. "Lo mau jalan dulu nggak sama Abang Ibal? Gue juga mau dong diajak jalan."
Aku tersenyum geli. "Terus itu supir lo mau dikemanain?"
Intan mencebikkan bibirnya menatap mobil pribadi yang sudah terparkir di depan kami. "Gue suruh pulang!"
"Les privat lo?"
Intan menghentakkan kakinya satu kali. "Kalo nggak mau gu
Semburat jingga perlahan menggores langit senja, mengantarkan sang raja siang kembali ke peraduannya dan menjemput ratu malam menampakkan kecantikannya. Lampu-lampu mulai menerangi jalanan kompleks perumahan. Aku berjalan pelan, merapatkan jaket saat kakiku melangkah memasuki gerbang rumah. Ini memang sudah sore, tapi aku baru pulang ke rumah masih berbalut seragam sekolah hari ini. Perlahan kuputar kenop pintu depan dan membukanya pelan. Aku menghela napas saat sepi dan hampa menyerangku begitu masuk ke bagian rumah yang lebih dalam. Rumah masih sepi. Mungkin Papa dan Bunda masih berada di tempat kerjanya, lalu Kak Viny berada di kamarnya. Dan Bu Rini dan Pak Udin yang mungkin sudah beristirahat di paviliun belakang rumah, yang memang disediakan untuk tempat tinggal mereka.Kehela napas untuk kesekian kalinya, saat kakiku melangkah menaiki anak tangga. Aku ingin berjalan mundur ke situasi beberapa bulan lalu, saat keadaan lebih baik daripada sekarang. Saat Papa masih mengurus
Aku tertawa getir sambil bangkit. Mengabaikan Bunda yang terkejut dengan tangan yang menutup mulutnya, dan Kak Viny yang tidak jauh beda dengan bunda. Aku mengusap kasar pipiku yang basah, berhenti tiga langkah di depan Papa dan menatapnya. Menatap sepasang iris berwarna sama dengan iris mataku."Anak-anak Papa? Ah, aku tau. Maksud Papa, Kak Andro sama Kak Viny kan?" aku tersenyum miring. "Terus aku ini siapa di sini? Orang asing? Ah ya! Itu kan yang selalu Papa sebut? Kalo aku orang asing. Kalo aku bukan siapa-siapa di rumah ini. Kalo aku cuma seorang anak yang kebetulan menerima kebaikan dan kemanusiaan dari Tuan Danu Wijaya?""Jaga bicara kamu!" tegas Papa."Tapi emang bener, kan? Papa yang bilang kayak gitu. Dari aku kecil, ah bukan. Maksudku dari aku bayi, Papa sama sekali nggak anggap aku anak Papa.""Bi?" Bunda memanggilku lirih."Yang kasih nama aku adalah Bu Rini. Yang adzani aku adalah Pak Udin. Papa kasih semua fasilitas buat hidup aku tapi P
"Dua puluh lima ribu."Aku menyodorkan plastik berisi alat tulis dan sebuah buku agenda pada seorang remaja SMP yang berdiri di depanku. Gadis itu menerima plastik itu dan menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan dan selembar lima ribuan."Terima kasih sudah berkunjung ke toko kami," ucapku ramah sebelum gadis itu keluar dari toko.Pandanganku mengikuti langkah gadis itu yang keluar dengan tergesa-gesa sambil membuka payungnya. Aku menghela napas berat. Rintik hujan di luar sana tampak semakin deras mengundang kenangan-kenangan manis juga mengingatkanku akan kesepian yang melanda saat ini. Aku beranjak dari meja kasir, berjalan menuju rak-rak buku yang berjejer rapi memenuhi ruangan yang cukup luas ini. Berhenti di celah antara dua rak, aku mendudukkan diri di lantai. Menyandarkan punggung pada rak penuh buku fiksi dan menyalakan i-pod yang mbak Dewi tinggalkan untuk menemaniku. Mbak Dewi sedang kuliah, karena itu aku sendiri di sini.Malam itu, aku per
Gerimis masih turun sedikit saat kami tiba di tempat pemakaman umum. Ya, alasanku ke sini siang-siang adalah karena sejak pagi hujan turun dengan lebatnya, sehingga harus menunggu hujan reda untuk datang ke makam Mama. Di samping alasan yang lebih utama di mana aku tidak mau bertemu dengan Papa yang mungkin juga datang pagi-pagi sekali. Hari ini adalah hari ulang tahunku, sekaligus hari di mana Mama pergi.Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku selalu menjadikan hari ini untuk berkencan dengan wanita yang berkorban nyawa untukku itu. Menumpahkan segala beban hati, dan menceritakan apa saja yang bisa kuceritakan. Biasanya aku datang diantar Galang dan Intan, atau Bu Rini. Tapi sekarang, keberadaan Iqbal membuatku tidak merasa kesepian. Mbak Dewi tidak bisa ikut karena katanya ada sesuatu yang harus diuusnya siang ini."Serius, nggak mau ditemenin?" Iqbal bertanya lagi, ketika aku bersiap keluar dari mobilnya."Iya. Lo tunggu di sini aja, ya."Iqbal menghela
Aku mengerjap-ngerjapkan mata saat pening dan pusing mendera, hingga membuatku terbangun dari tidur yang nyenyak. Mendesis sebentar, lalu menyesuaikan pandangan mata dengan keadaan sekitar yang gelap. Aduh, di mana aku? Kelopak mataku terbuka lebar dan aku langsung mengangkat kepala. Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Aku bangkit dan berdiri. Ada yang aneh. Kepalaku menunduk mengamati pergelangan kaki yang terakhir kali bengkaknya makin parah. Tapi kenapa sekarang bengkaknya sudah hilang? Aku mendongak. Kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kosong."Permisi, ada orang?" tanyaku lirih.Tidak ada jawaban. Tidak ada siapa pun di sini. Apa aku diculik? Tapi kenapa aku masih bisa berdiri dan sama sekali tidak ada tali atau apa pun yang bisa menghalangiku kabur dari sini. Dan tempat ini ... seperti tempat yang tidak ada ujungnya. Gelap dan menakutkan."Tolong saya. Ada orang di sini?!"Hening. Tidak ada jawaban sama sekali. Hanya suaraku yang memantul
"Kenapa muka kalian bonyok gitu?" tanyaku.Suaraku perlahan mulai pulih dan tenggorokan sudah tidak perih lagi. Untungnya lagi, Om Herman mengijinkan alat bantu pernapasanku dilepas karena kondisinya mulai membaik. Ini sudah sehari setelah aku bangun dari tidur yang kuanggap hanya delapan jam, namun ternyata delapan hari. Dan sejak aku bangun, aku sama sekali belum bertemu Angkasa lagi. Sehari kemarin hanya dihabiskan untuk acara pelukan penuh syukur dari Intan, Galang, Iqbal, juga Bu Rini dan pak Udin. Ah, ya, Bunda juga. Sementara Kak Viny dan Papa? Aku belum melihatnya sama sekali. Galang bilang bahwa semua orang sudah mengetahui penyakitku, tanpa terkecuali. Tapi aku juga tidak bisa berharap banyak kalau Papa akan datang."Ulah sahabat lo, tuh. Maen tonjok gitu aja. Ya udah gue tonjok baliklah." Iqbal menjawab pertanyaanku barusan.Aku menatap Galang yang berdiri bersisian dengan Iqbal tepat di samping bangkar tempatku terbaring. Hanya mereka berdua yang menema
"Kak Bintan kapan pulangnya?"Aku tersenyum, menatap Ken yang sedang duduk di bangkar yang sama denganku. Tangan kananku terulur mencubit pelan pipi tembem adik Galang satu-satunya ini. Ya, siang tadi Ken diantar Mami ke sini sepulang sekolah dan nanti pulangnya akan dijemput oleh Galang."Ken udah lamaaa banget nggak ketemu Kak Bintang. Kan Ken kangen."Ah, melihat wajah cemberut Ken membuatku tidak bisa untuk tidak memeluknya erat. Ken juga langsung membalas pelukanku tak kalah erat."Ken tenang aja. Kak Bintang nanti malam udah pulang ke rumah."Aku dan Ken menoleh ke arah pintu ada Bunda dan Kak Viny yang sudah berdiri di sana."Benelan, Tante?" tanya Ken dengan aksen cedalnya."Iya. Kak Bintang nanti malam udah boleh pulang sama Pak dokter dan Ken bisa main ke rumah Kak Bintang sepuasnya." Bunda berjalan mendekat kemudian duduk di salah satu kursi di samping bangkar."Holee!" seru Ken yang langsung berjingkrak-jing
Aku tertawa kecil membaca pesan chat dari Galang dan Iqbal yang barusan masuk. Kedua laki-laki yang mengklaim diri mereka sebagai kakak angkatku itu, entah kenapa sangat sulit untuk menerima dan membiarkan aku dekat dengan Angkasa. Setiap bertemu selalu terlibat perang dingin dengan Angkasa. Mereka selalu bersikap seolah-olah Angkasa adalah bakteri yang harus dijauhkan dariku. Tapi sekeras apapun usaha mereka menjauhkan aku dan Angkasa dengan tingkah-tingkah konyol mereka, tidak akan pernah bisa menghalangi Angkasa untuk tetap dekat denganku. Karena seperti selalu, Angkasa tidak pernah menggubris keberadaan mereka dan hanya menganggap mereka sebagai lalat pengganggu."Kantin yuk, Bi!"Aku mendongakkan kepala, Intan sudah berdiri menyilangkan kedua tangan di depan dada, dan menatapku. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, dimana hanya tersisa bangku-bangku kosong karena sudah ditinggalkan pemiliknya."Ayo dong, Bi. Lama banget elah. Cacing-cacing gue udah pad