Aku mengerjap-ngerjapkan mata saat cahaya menyilaukan berasal dari jendela menerpa mataku. "Bu Rini, bentar dong jangan buka dulu gordennya. Bi masih ngantuk." Suara tirai dibuka makin lebar, membuatku menggeliat pelan. "Bu, lima menit.
Sejak kemarin, aku datang bulan dan tentunya kalian tahu kan bagaimana rasanya saat datang bulan? Malas, lemas, belum lagi semalam saat perutku nyeri bersamaan dengan dadaku yang juga ikut nyeri. Itu benar-benar membuatku tak bisa tidur semalaman, dan aku baru bisa terlelap saat pukul tiga pagi. Dan sekarang aku benar-benar masih mengantuk, lagipula hari ini hari Sabtu, jadi tidak apa-apa kan kalau aku tidur sampai siang? Tapi Bu Rini tidak menghiraukan permintaanku dan malah menarik selimut yang menutupi tubuhku hingga ke pinggang.
"Bu?" pintaku, menarik kembali selimut itu hingga ke dagu.
Bu Rini menarik kembali selimut itu dan akhirnya terjadilah adegan tarik menarik selimut. Dan dengan sedikit sentakan, selimut itu berhasil dita
"Saya pinjam buku ini, Mas. Tolong dicatat ya." Aku meletakkan sebuah novel di atas meja Mas Afdhal.Mas Afdhal tersenyum, membuka arsip peminjaman kemudian mencatat judul novel serta memeriksa kartu identitas perpustakaanku. "Belakangan ini kamu sering nongkrong di sini sampai sore, ya? Nunggu pacar kamu itu ya?""Pacar? Siapa?" tanyaku."Murid kelas tiga itu, kalau nggak salah namanya," Mas Afdhal tampak mengingat-ingat. "Angkasa. Iya, Angkasa. Iya kan?"Aku tersenyum malu. "Mas Afdhal ternyata doyan gosip juga ya?"Mas Afdhal tertawa. "Nih, sudah selesai.""Makasih, Mas." Aku menerima novel itu, dan memasukkannya ke dalam tas punggungku. "Saya duluan ya."Mas Afdhal mengacungkan jempol. Aku langsung keluar dari perpustakaan dan melangkah agak terburu-buru, karena sejak lima menit yang lalu, aku sudah mengirimkan pesan pada Angkasa untuk tidak perlu menjemputku di perpustakaan dan cukup menunggu di koridor saja. Koridor sekolah sudah
Sejak bertahun-tahun lalu, aku harus berdamai dengan penyakit yang ada dalam tubuhku ini, aku mulai terbiasa mengatasi semuanya sendiri. Jarang sekali aku mengeluh, meminta bantuan pada Bu Rini atau Pak Udin saat serangan tiba-tiba menghampiri jantungku. Aku tidak ingin orang lain mengalami kesulitan yang disebabkan olehku, karena aku selalu berprinsip bahwa selama aku bisa melakukan sesuatu sendiri, maka aku tidak akan meminta bantuan orang lain. Dan itu juga berlaku saat rasa sakit tiba-tiba menyerangku tanpa kenal waktu, termasuk saat aku sedang pulas-pulasnya tidur, namun tiba-tiba terbangun karena rasa sakit itu. Di saat seperti itu, tidak mungkin bukan kalau aku harus membangunkan seluruh penghuni rumah hanya untuk menemaniku, atau membantuku membawakan apa yang kubutuhkan? Karena itu aku terbiasa mandiri.Seperti malam ini, saat jarum jam pendek menunjuk angka dua belas, sementara jarum panjang menunjuk angka empat, aku terpaksa terjaga karena nyeri hebat pada dada kiri
"Bi!"Aku mendongak, mengalihkan pandangan dari buku catatan ke arah Intan yang baru saja masuk kelas. Dia tampak terengah-engah, tentu saja karena dia berlari, entah dikejar apa atau siapa."Kenapa lo lari-lari kayak gitu? Dikejar hantu?" tanyaku.Intan mendelik, namun sedetik kemudian langsung menarik lenganku. "Ikut gue sekarang!""Ke mana?"Intan berdecak, "Ikut aja sekarang. Entar gue kasih tau sambil jalan."Akhirnya aku menuruti ajakan Intan, dan kami langsung keluar dari kelas. "Emang mau kemana sih, Tan?""Ke ruang kepsek."Aku menghentikan langkahku, "Ngapain?!"Intan menatapku, tampak sedang berpikir sebelum menyahut pertanyaanku. "Bokap lo ke sini.""Hah? Maksud lo ... bokap gue?!" tanyaku terkejut."Ya masa bokapnya Deni!" Intan menghela napas. "Gue nggak tau kenapa bokap lo ke sini dan ketemu Pak kepsek, tapi gue rasa ada hubungannya sama kejadian lo kekunci di toilet kemaren, deh."Kini aku
Helaan napas panjang keluar dari mulutku saat mobil Kak Bisma meninggalkan halaman rumah, bersama Viny Kak dan barang bawaan mereka. Pagi ini, sesuai rencana mereka berangkat ke puncak untuk rekreasi, menyegarkan pikiran sebelum menghadapi Ujian Nasional. Kenapa aku mengatakan mereka, bukan kami? Karena memang aku batal ikut."Kamu sudah bangun?" Seseorang bertanya pelan begitu aku membuka mata, dan langsung kubalas dengan anggukan lemah.Namun sesaat, aku mendengus kesal karena lagi-lagi harus terbangun dengan kondisi berbaring lemah di atas ranjang ruang rawat inap rumah sakit. Lengkap dengan jarum infus terpasang di pergelangan tangan kanan. Aku tidak tahu apa yang terjadi, karena yang kuingat terakhir kali sebelum terbangun di atas ranjang ini adalah aku masih berada di sekolah.Aku ingat sekali tadi siang aku baru keluar dari ruangan kepala sekolah bersama Papa setelah menyelesaikan masalahku dengan Anggi. Orang tua Anggi datang ke sekolah pagi itu, dan
Aku tertawa mendengar Intan yang menceritakan tentang kejadian di mana dia ke puncak tempo hari. Dia merasa kesal karena tiba-tiba Kak Romi mengungkapkan perasaannya pada Intan di malam pertama mereka di puncak, tepatnya saat barbequean di halaman villa milik Tante Jenni. Disaksikan oleh semua orang yang ikut ke puncak, termasuk Tante Jenni yang —menurut Intan—sangat mendukung hubungan Intan dan Kak Romi."Terus lo terima nggak?" tanyaku, setelah puas tertawa.Intan memberengut, "Ya enggaklah! Gue cuma pelototin dia terus kabur ke kamar."Aku tertawa lagi. Intan mencebikkan bibirnya sambil mengayun-ayunkan kakinya di kolam renang, sementara aku duduk di ayunan. Pagi ini rumah sepi. Bu Rini dan Pak Udin sedang pergi ke Bogor mengunjungi orang tua Bu Rini. Bunda dan Papa kerja seperti biasa, sementara Kak Viny di sekolah, sedang menghadapi hari pertamanya Ujian Nasional, bersama seluruh siswa kelas dua belas di seluruh Indonesia. Dan karena itu pula aku dan Intan
"Bi, I'm coming!"Aku meringis pelan saat melihat Intan yang membuka pintu sambil membawa kantong plastik, berteriak melengking. Di belakangnya, ada Nina dan Galang yang melambaikan tangan ke arahku.Aku membalas lambaian tangan mereka, "Akhirnya kalian datang juga."Intan langsung duduk di kursi sebelah kiri ranjang tempatku terbaring, sementara Nina dan Galang duduk di kursi sebelah kanan. Intan meletakkan kantong plastik itu di atas nakas,"Gue tau lo lebih tertarik sama novel dari pada buah, makanya gue sengaja beliin novel Asma Nadia yang terbaru," ucap Intan.Aku terkekeh, "Lo emang sahabat yang pengertian, deh.""Eits, jangan salah! Gue juga ikut patungan beli novel best seller itu. Jadi gue juga harus dapat pujian itu juga," sahut Galang."Lebay banget sih kamu!" sahut Nina sambil memukul pelan bahu Galang. Kami bertiga tertawa."Lo dari tadi sendirian, Bi?" Galang bertanya sambil mengambil sebutir jeruk yang pagi tadi Bu
"Bi." Suara Kak Andro masuk ke telinga begitu aku mengerjap-ngerjapkan mata.Aku mengerutkan kening, bukankah Kak Andro sedang di Bandung? Sedikit mendesis, aku membuka mataku. Kepalaku rasanya sangat pusing seperti dihantam palu. Begitu cahaya blur yang tadi memenuhi pandanganku memudar, aku bisa melihat dengan jelas wajah Kak Andro yang sedang menatapku."Kak Andro?" Aku menelan ludah, tenggorokanku terasa perih. Seingatku, semalam aku minum air cukup banyak tapi kenapa rasanya seperti tenggorokanku tidak tersentuh air selama berhari-hari?Kak Andro duduk di kursi samping bangkar sambil terus menatapku. Aku benar-benar bingung kenapa Kak Andro bisa ada di sini, padahal semalam saja dia masih chating denganku dan dia mengatakan sedang berkumpul bersama teman-temannya. Lalu kenapa bisa ada di rumah sakit?"K-Kak Andro kapan pulang?" Ah, kenapa suaraku lirih dan serak begini? Sebenarnya apa yang terjadi padaku?Aku berniat bangun, namun rasa pusing dan n
Hubunganku dengan Angkasa kembali membaik sejak sore itu. Dia juga sudah menceritakan semuanya—walaupun dalam versi singkat—tentang bagaimana dulu dia patah hati karena Kak Viny ternyata lebih memilih Kak Bisma. Dan itu membuatku lagi-lagi merasa bersalah karena membuat Kak Viny pulang bersama Kak Bisma di saat Angkasa ingin mengutarakan perasaannya. Namun Angkasa menenangkanku dengan mengatakan hal yang membuatku merasa istimewa."Gue ceritain ini bukan karena pengen buat lo ngerasa bersalah. Lagian gue bisa ambil pelajaran dari ini, yaitu sesuatu yang gue pengen banget nggak selamanya bisa gue dapatkan. Dan mungkin itu emang cara Tuhan mengajari gue cara bersabar nunggu cinta yang emang benar-benar sejati buat gue. Dan gue nggak nyangka ternyata cewek yang secara nggak langsung bikin gue gagal nyatain cinta pertama gue, ternyata adalah cinta sejati gue."Mungkin menurut kalian ucapannya itu biasa saja, tapi bagiku itu istimewa dan manis. Entahlah aku juga tidak tahu pe