El menaiki motor besarnya dan langsung pulang ke rumah setelah sekolah usai. Cowok itu memasukkan motor ke garasi begitu sampai di rumah mewahnya.
Turun dari motor sambil mencangklong tas di satu pundak, El berjalan masuk karena ingin segera ke kamar untuk mandi setelah seharian berkeringat karena kegiatan di sekolah.
“El, kamu sudah pulang.” Wanita yang tak lain adalah ibu, memanggil dan menyapa cowok itu.
Namun, El tak mendengar panggilan wanita itu, hingga masih terus mengayunkan langkah menuju ke tangga.
“El! El! Langit!” teriak wanita itu karena merasa tak diacuhkan sang putra.
El atau yang kerap disapa Langit, menghentikan langkah saat ibunya memanggil dengan nama panggilan aslinya. Dia berhenti melangkah di anak tangga pertama, lantas menoleh dan melihat ibunya di ruang keluarga sudah berdiri sambil memandang ke arahnya.
“Mimi panggil juga, kenapa tidak menyahut?” Wanita berumur lima puluh tahun itu terlihat kesal karena sang putra mengabaikannya.
El adalah nama yang diberikan oleh kedua orangtua kandungnya, sedangkan Langit adalah nama yang diberikan pengasuh panti sejak dirinya masih bayi.
“Apa sih, Mimi. Jangan teriak-teriak, nanti tambah keriputan,” seloroh Langit sambil mendekat ke arah sang mimi.
Joya Abinaya—ibu Langit, adalah seorang desainer ternama di sebuah perusahaan besar, sedangkan ayah langit bernama Kenzo Abimand, pemilik anak cabang perusahaan fashion di Paris-Prancis.
Tentu saja ucapan putranya membuat sang mimi memayunkan bibir. Putranya itu sangat mirip sang suami yang senang sekali bercanda, meski sedang diajak bicara serius.
Langit duduk di samping sang mimi, lantas meletakkan tas di lantai.
“Bagaimana sekolahnya tadi? Kamu betah dan tidak akan pindah lagi, ‘kan?” tanya Joya penuh harap memandang putranya.
Bagaimana tidak Joya berharap demikian? Langit sudah berpindah sekolah hampir sepuluh kali selama dua tahun terakhir, saat ditanya alasan pindah hanya berkata jika bosan dan tak suka dengan sekolahnya, membuat Joya dan Kenzo geleng-geleng kepala.
“Lumayan,” jawab Langit sambil menyandarkan punggung.
“Lumayan gimana? Sayang, ini sekolah ke sebelas mu selama dua tahun ini. Kamu sudah kelas tiga sekarang, bisa ‘kan bertahan sampai lulus?” tanya Joya penuh harap, jangan lagi ada drama pindah sekolah karena membuat Joya dan sang suami pusing dibuatnya.
Langit menoleh sang mimi yang terlihat gusar, hingga kemudian tertawa dan menyandarkan kepala dengan manja di pundak Joya.
“Doakan saja aku tidak pindah lagi ya, Mi. Sepertinya apa yang aku cari ada di sana,” lirih Langit dengan senyum begitu manis di wajah.
“Cari? Memangnya kamu cari apa?” tanya Joya dengan dahi yang berkerut halus.
Langit mengangkat kepala, tersenyum lebar hingga menunjukkan deretan gigi putihnya, lantas menjawab, “Mencari menantu buat Mimi.”
Setelah menjawab pertanyaan sang mimi, Langit mencium pipi Joya lantas kabur dan berlari dengan cepat menaiki anak tangga.
“Menantu? Langit! Jangan mengada-ada!” teriak Joya kemudian menggeleng-gelengkan kepala heran.
**
Di sisi lain. Bintang pulang tepat waktu dijemput Pak Ujang. Dia berjalan dengan lemas masuk rumah, lantas mendudukkan tubuh saat sampai di ruang keluarga.
Annetha dan Orion yang sedang duduk menonton televisi, memandang Bintang yang terlihat tak bersemangat.
“Datang-datang wajahmu kusut begitu, perlu disetrika?” Annetha melontarkan candaan yang membuat Orion tertawa terpingkal.
Bintang menoleh memandang sang mami dan adiknya, hingga bibirnya mengerucut karena diledek.
“Au ah, aku bosan nggak boleh main.” Bintang kembali berdiri, kemudian berjalan menuju tangga dan naik ke lantai dua menuju kamar.
“Eh … eh … kenapa itu langsung ngambek?” Annetha keheranan karena baru kali ini Bintang langsung kesal seperti itu.
“Aku mau menggoda Kakak.” Orion melompat dari sofa, kemudian berlari menyusul sang kakak.
Annetha menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Orion. Dia berpikir putranya itu akan bersikap tenang dan mudah diatur, kenyataannya sama saja dengan Bintang yang banyak tingkah.
Bintang langsung merebahkan tubuh di kasur begitu sampai kamar. Seharian dirinya tak bisa belajar dengan tenang, karena merasa ada yang terus menatap dirinya.
Orion mengetuk pintu sebelum masuk, hingga menghampiri sang kakak yang berbaring di ranjang.
“Napa Kak?” tanya Orion sambil melompat naik ke ranjang Bintang, membuat kakaknya itu sedikit terpental ke atas karena ulahnya.
“Ah … kamu tidak tahu kalau di kelas aku merasa tak nyaman sekarang,” jawab Bintang.
“Tak nyaman kenapa?” tanya Orion penasaran.
Bintang memilih bangun dan duduk, Orion pun ikut duduk dan kini berhadapan dengan sang kakak.
“Kamu ingat cowok tadi?” tanya Bintang.
“Cowok? Cowok mana?” tanya Orion yang lupa.
“Tadi, yang kena timpuk kotak susu,” jawab Bintang.
“Oh … ingat.” Orion mengangguk-angguk.
Bintang mendesau, kemudian berkata, “Ternyata dia itu anak baru di sekolah, nahasnya sekarang satu kelas denganku, bahkan dia duduk di belakangku.”
Orion langsung meledakkan tawa mendengar perkataan sang kakak, bahkan sampai terpingkal-pingkal dan jatuh ke belakang karena merasa sang kakak bernasib sial.
“Ya ampun, Kak. Sial sekali nasibmu, makanya jangan buang sampah sembarangan.” Orion bicara masih sambil tertawa.
Bintang kesal karena Orion malah menertawakan dirinya, hingga kemudian mengambil bantal dan menggunakannya untuk memukul sang adik.
“Ish … kamu ini tidak tahu penderitaanku,” gerutu Bintang.
Orion mencoba menghentikan tawa, Bintang pun tak memukul lagi. Gadis itu memeluk bahkan menggigit ujung bantal itu.
“Bukankah dia tidak melihat Kakak, lantas kenapa takut dan cemas?” tanya Orion merasa penasaran.
Bintang terlihat berpikir, hingga kemudian menjawab pertanyaan sang adik.
“Entahlah, padahal aku tidak melihatnya menatapku, tapi kenapa aku merasa dia terus mengawasiku. Jika memang dia tahu aku yang membuang sampah sembarangan, kenapa tak langsung menegurku?” Bintang bicara sambil menatap lurus ke depan pada dinding kamar yang berwarna nude.
“Mungkin perasaanmu saja,” kata Orion yang merasa sang kakak terlalu overthinking.
“Bukan Rion, beneran aku merasa dia memperhatikanku.”
"Di mana El? Jangan bilang dia bangun kesiangan lagi.” Kenzo—ayah Langit, melipat koran untuk bersiap sarapan.“Jangan panggil dia El, anakmu itu lebih suka dipanggil Langit,” tegur Joya karena sudah beberapa kali memanggil dengan nama El, tapi putranya tidak mau mendengar.“Sepertinya nama itu memang memiliki arti lain untuk dia, Mi,” timpal Cheryl—kakak angkat Langit.Joya menghela napas kasar, berjalan ke arah tangga untuk memanggil putranya yang selalu kesiangan.“Langit! Turun dan sarapan atau kamu akan terlambat ke sekolah!” teriak Joya dari bawah anak tangga, memandang ke lantai dua di mana kamar Langit berada.“Aku datang!” Terdengar suara teriakan Langit dari lantai dua.Pemuda itu tampak berlari saat menuruni anak tangga, membuat Joya menggelengkan kepala melihat kelakuan putranya.“Pagi, Mi.” Langit langsung mencium pipi Joya.Joya langsung mengusap kasar rambut putranya setelah Langit mencium pipinya. Remaja itu kini sudah sangat tinggi, sama dengan sang ayah yang memang m
Bintang tertidur di kelas setelah jam pelajaran usai. Bahkan Anta tidak berani membangunkan karena adik sepupunya suka menjelma menjadi serigala lapar jika sedang marah.“Bintang!” Suara melengking dan begitu keras mengagetkan Bintang yang berada di kelas itu sendirian.Bintang langsung menegakkan badan dengan pandangan lurus ke depan.“Negara Korea selatan disebut ….” Tiba-tiba bicara tentang pelajaran karena begitu terkejut, bahkan telunjuk berada di udara tepat di depan wajah.Larasati—teman Bintang, tertawa terpingkal melihat temannya yang terkejut sampai bangun dan bicara seolah sedang mendapatkan pertanyaan.Bintang mengerjapkan kelopak mata berulang kali, melihat dan baru sadar jika kelas ternyata kosong. Dia menurunkan telunjuk yang berada di udara, hingga kemudian menoleh dan melihat Laras yang sedang tertawa terpingkal.“Laras sialan!” umpat Bintang kesal. Dia melempar buku yang ada di meja ke arah temannya itu.Laras benar-benar tertawa keras karena merasa lucu dengan tingk
Bintang mengeluarkan sesuatu dari laci, hingga kini memandang origami berbentuk bintang di tangan. Origami yang sama persis dengan miliknya di rumah.“Ini?” Bintang terus memandang origami itu, hingga jantungnya tiba-tiba berdegup dengan cepat.Dia hendak menoleh ke belakang, tapi merasa ragu dan takut.“Tidak mungkin itu dia?” Bintang bertanya-tanya dalam hati.Meskipun Bintang sangat terkejut akan kejadian hari ini dari rambut yang tiba-tiba dikepang, kemudian ada origami di lacinya, tidak lantas membuatnya mengambil keputusan jika semua itu perbuatan Langit—teman masa kecilnya. Lagi pula, mereka sudah berpisah lama, bisa saja Langit juga melupakan dirinya, mengingat dulu Langit pergi tanpa kata. Bisa saja apa yang terjadi adalah keisengan anak-anak lain.**Saat pulang sekolah, Bintang terlihat berjalan bersama Anta keluar dari gedung sekolah.“Mau bareng?” tanya Anta.“Tidak, Pak Ujang nanti jemput,” tolak Bintang atas tawaran Anta.Dari belakang Altair datang dan langsung merangk
Bintang sedang berada di kamar. Tangan kanan memegang origami yang tadi ditemukannya di laci. Bintang terus memperhatikannya, mengangkat tinggi di udara, lantas mengalihkan pandangan ke arah jendela, melihat origami miliknya yang sudah tergantung di sana hampir dua belas tahun.“Apa itu dia? Tapi siapa?” Bintang berpikir keras, di kelasnya tidak ada yang bernama Langit. Kemudian berpikir mungkinkan di kelas lain.Bintang bangun dari berbaring, duduk bersila dengan masih menatap origami. Dia mendesau, lantas memilih bangun dan memasukkan origami tadi ke laci, tidak ingin menggabungkan dengan pemberian Langit karena belum tahu itu dari siapa.Meski Bintang tidak memungkiri jika masih mengingat dan merindukan teman masa kecilnya itu, tapi kepergian Langit yang tiba-tiba membuat Bintang sempat marah dan kesal. Bahkan Bintang sempat membuang origami pemberian Langit ke tong sampah, sampai akhirnya dia membuat keributan di rumah, meminta pembantu membantunya mencari origami itu di tempat sa
Altair nongkrong bersama teman-temannya karena Bintang menolak untuk pergi dengannya. Mereka duduk di atas motor yang terparkir di dekat mall.“Tumben ga ngajak Bintang?” tanya Aldo—teman Altair.“Dia lagi dihukum maminya, entah saja kenapa dia nurut banget ke maminya,” jawab Altair yang sedikit kesal karena Bintang menolak ajakannya.“Ya, mungkin karena dia anak berbakti, bro! Seharusnya lu bangga punya pacar kek gitu.” Aldo menepuk-nepuk pundak Altair saat bicara.Altair mencebik kesal, merasa jika hal itu tidak ada sangkutpautnya dengan hubungan mereka. Baginya itu pacaran ya bisa pergi bersama, jalan bersama, tanpa alasan ini dan itu.Saat Altair dengan berbincang dengan teman-temannya, Clarisa muncul di sana bersama dua teman lainnya.“Al! Wah ga nyangka ketemu lu di sini,” ucap Clarisa dengan nada centil.Clarisa memang menyukai Altair dari kelas satu, tapi sayangnya Altair tidak pernah meliriknya, bahkan saat kelas dua malah jadian dengan Bintang, membuat Clarisa sedikit kesal.
Bintang duduk di atas ranjang sambil memeluk guling dan meletakkan dagu di ujung guling. Ditatapnya origami bintang yang tergantung di jendelanya. Hingga kelopak matanya terpejam, lantas dia mengingat kenangan saat dirinya masih duduk di bangku taman kanak-kanak, kepingan ingatan yang sebenarnya kini tinggal potongan kecil dan hampir terlupakan.“Apa kamu suka sekali origami ini? Sampai-sampai kamu mau menukar makanan dengan ini?” tanya seorang anak laki-laki ke Bintang kala mereka berada di TK.“Bintang suta, bahkan menggantungnya di kamar biar bisa dilihat terus,” jawab Bintang yang saat itu masih cedal dan tidak bisa menyebut huruf ‘K’.“Padahal kamu bisa buat sendiri, aku sudah mengajarimu,” kata anak laki-laki itu lagi.Bintang mengerucutkan bibir, kemudian bersedekap dada seolah sedang merajuk.“Tida’ mau, buatan Langit lebih bagus!”Bintang membuka kelopak mata setelah selesai mengingat potongan kecil kenangan masa di mana dia memiliki teman yang sangat sabar kepadanya. Jika di
Mulut Bintang menganga mendengar apa yang diucapkan pemuda di hadapannya itu. Dia merasa kesal karena menganggap pemuda itu banyak bicara sedangkan tidak tahu apa-apa. “Apa maksudmu?” tanya Bintang kesal. Langit maju satu langkah, membuat Bintang sedikit mundur. “Terkadang apa yang kamu lihat, tidak seperti yang kamu sangka. Lebih baik menjauh daripada nantinya sakit hati,” jawab Langit sambil menatap dua bola mata Bintang secara bergantian. Bintang menelan ludah karena tatapan Langit, entah kenapa jantungnya pun kini ikut berdegup dengan cepat. “Lu jangan sok tahu!” Bintang bicara dengan nada ketus karena kesal, padahal awalnya ingin bersikap sopan. “Kalau tidak percaya ya sudah, yang terpenting aku memperingatkanmu,” balas Langit seolah mengabaikan rasa kesal yang bercokol di dada Bintang. “Dasar aneh!” Bintang benar-benar kesal, kemudian menghentakkan kaki dan pergi meninggalkan Langit. Langit menatap punggung Bintang yang berlalu dari pandangan matanya, tersenyum tipis saat
Bintang memalingkan wajah, meski kedua tangan memegang bahu pemuda yang kini duduk di depannya. Dia terpaksa menerima tawaran Langit, karena Pak Ujang terus memaksa dirinya agar ikut bersama Langit saja. “Rumahmu yang sebelah mana?” tanya Langit saat motor yang dikendarainya mulai memasuki area perumahan tempat Bintang tinggal. “Masih maju nanti rumah gerbang hitam yang depannya ada pohon mangga,” jawab Bintang tapi masih tidak menolehkan wajah. Langit tersenyum tipis, kemudian memacu motor menuju rumah dengan ciri yang disebutkan Bintang. Akhirnya mereka pun sampai, Bintang buru-buru turun karena tidak mau berlama-lama dengan pemuda yang sempat membuatnya kesal. Langit menatap Bintang yang berjalan ke gerbang tanpa mengucapkan terima kasih, hingga gadis itu tiba-tiba berhenti melangkah dan menoleh ke arahnya. “Terima kasih,” ucao Bintang meski dengan sedikit nada ketus. Dia hanya merasa tidak sopan kalau pergi begitu saja tanpa mengucapkan kata itu. Langit tersenyum mendengar u