Sepulang dari acara fitting baju, Nun merasa kepalanya pusing. AC mobil Alif menurutnya terlalu dingin. Kardigan tebal tidak menyelamatkan Nun dari masuk angin. Dia mual-mual begitu pulang ke rumah. Namun, tetap tidak lupa menyerahkan bungkusan berisi setelan untuk Pak Sabar pakai di hari H.
Bapaknya baru pulang dari masjid usai salat Isya. Dia masih memakai sarung, baju koko dan peci. Dilepanya peci yang warna hitam yang sudah agak pudar itu di atas kursi, seraya merebahkan diri.
“Pak, ini setelan Bapak untuk hari pernikahan Nun nanti!” Diletakkannya bungkusan baju itu dekat peci bapak.
Lelaki itu hanya melirik. Bukan kegembiraan yang Nun dapati dari sorot mata Pak Sabar. Bola mata berwarna kelabu itu terlihat sendu.
“Kamu sama Alif ...?” ujar Pak Sabar setengah bergumam, “Ngapain saja selama ini?”
Nun terbeliak. “Nun enggak ngapa-ngapain.” Dia gelagapan, tetapi tidak bisa menahan mual.
Pak Sa
Alif senyam-senyum waktu Nun cerita soal bapaknya yang ajaib. Digenggamnya tangan Nun yang hari itu tampak beda dari biasa. Gaun pengantin berupa gamis putih berlapis brokat dan payet membungkus tubuh mungilnya. Riasan tipis membuat wajah pucat Nun jadi cantik berseri dibingkai jilbab. Style-nya sama seperti biasa, model The Nun.“Alhamdulillah,” ucapnya. “Bagaimanapun indahnya rencana manusia, tidak akan bisa menandingi kesempurnaan takdir yang ditetapkan Allah untuk kita. Ya, kan?”Di mata Nun, Alif jadi berlipat-lipat ganda level kegantengannya. Entah karena setelan jas dan dandanan ala mempelai pria; senyum permanen yang melekat di wajahnya; atau kata-katanya yang bijak bestari; pokoknya Alif jadi terlihat kalem, dewasa, dan bijaksana sekali.“Gimana, udah jatuh cinta belum sama aku?” tanya Alif sambil menjingka-jingkatkan alis. Sikap belagunya bikin ambyar penilaian sang Istri. Tadinya Nun sudah fix kesengsem, eh ... jadi
Pernikahan The Nun dengan cucu sultan dan identitas Bos Pangkalan Hati yang baru terungkap, menjadi gosip hangat di kantor.“Heh, berisik!” Devan lewat dengan kalimat saktinya hingga hening seketika tercipta kala Pawpaw-Dede menyebar gosip kepada Mang Jaja. Dia lantas, melangkah lurus ke kubikel Nun yang baru masuk kerja setelah dapat jatah cuti nikah.“Hei, pengantin baru, gue ada order nih!”Dengan malas, Nun menoleh. Dia sudah hafal dengan kelakuan asisten bosnya itu. Nun siap makan hati. “Ketoprak?” tanyanya.“Bukan. Sst ...” Devan mengatupkan mulutnya dengan menempelkan satu jari. “Ikut ke meja gue sekarang!”Nun mengekori dia tanpa semangat. ‘Awas aja kalau sampai dibully lagi kayak waktu kasus si Hamzah dulu!’ ancam Nun dalam hati.Tiba di meja Devan, Nun diperlihatkan sebuah berkas.“Lu jangan ketawa, jangan senyum, jangan nyengir! Mingkem aja!&rdquo
Karya ini saya persembahkan secara khusus untuk almarhum bapak. Sebab, kisah di dalamnya adalah sekelumit gambaran tentang konflik yang pernah membelit kami.Dari Bapak saya belajar tentang sederhananya menjalani hidup dan tentang ajaibnya takdir. Hal itu pula lah yang saya coba sampaikan melalui kisah Nun-Alif-Kafka di Biro Jodoh Pangkalan Hati ini.Semoga berkenan di hati pembaca.Terima kasih saya ucapkan kepada semua pembaca dan mohon maaf apabila terdapat banyak sekali kesalahan dalam pengetikan dan penyampaian cerita ini.Versi cetak novel Biro Jodoh Pangkalan Hati sudah beredar dan bisa didapatkan di market place penerbit LovrRinz Store. Bagi yang ingin memeluk Nun-Alif-Kafka versi cetak, bisa langsung ke sana, atau silakan komen di sini, ya.
“Assalamualaikum,” sapa Nun bersama selengkung senyum di wajah mungilnya. Wajah khas mojang Pasundan itu dibingkai kerudung segi empat warna putih. Jilbab andalan tersebut ditampilkan dengan gaya hijab klasik ala 90-an. Itu membuatnya kerap disapa The Nun oleh sebagian orang.Gadis bernama lengkap Ainun Mardiyya itu baru saja tiba di kantor tempatnya bekerja, yakni sebuah Biro Jodoh berbasis syariah yang dijalankan dengan teknologi digital.Ketika Nun datang, para personel Biro Jodoh berlabel Pangkalan Hati itu sudah duduk manis di kubikelnya masing-masing. Itu artinya, Nun terlambat. Biasanya, dia datang paling pagi. Bahkan, lebih pagi daripada cleaning service.“Wa’alaikumsalam, Teh Nun,” Seorang gadis muda membals salamnya. Gadis itu merupakan pegawai baru di tempat Nun kerja. Namanya Listia. Orang kantor memanggilnya Dede. Kenapa begitu? Entahlah. Mungkin namanya mengingatkan kepada penyanyi terkenal di TV yang kerap disapa &lsq
Seorang pangeran tampan menyodorkan sebuah sepatu yang terbuat dari kaca. “Pakailah sepatu ini, wahai Tuan Putri!” kata sang Pangeran. Bak Cinderella, Nun menjulurkan kaki berbalut mojah dan legging dari balik gamis. Dipakainya sepatu kaca itu kemudian mematut diri. Ukurannya pas sekali. Namun, hak yang terlalu tinggi membuat tubuh gadis mungil berusia 24 tahun itu goyah. Dia terjatuh, kakinya terkilir dan sepatunya pecah bersama bunyi ‘prang’ di dapur. Ya, di dapur. Bukan di kamar mandi. Dalam mimpi pun dia yakin, suara prang itu berasal dari dapur rumahnya. Nun menajamkan telinga meski matanya masih terpejam. Tidak peduli sepatu kaca atau pangeran tampan, instingnya membuat dia mengerjap seketika, menyingkap selimut, menyabet jilbab, dan melompat dari tempat tidur. Setengah berlari dia menuju dapur. Masalahnya bunyi prang itu muncul bersamaan dengan bunyi gedebuk orang terjatuh. Nun yakin benar, rumahnya yang berukuran 6x6 meter itu tidak mungkin di
Nun berjalan di trotoar dengan tas ransel yang isinya menyaingi kantong doraemon. Bukan hanya berkas pekerjaan, segala macam alat bantu kehidupan dia jejalkan ke dalam situ. Ada charger hp, payung, peralatan makan-minum, saputangan, minyak angin, tisue, hingga permen mint. Hanya peta dan Boots saja yang tidak dia bawa karena Nun bukan Dora. Hari ini Nun harus bertemu klien di sebuah caffe. Agendanya nadzor untuk ta’aruf. Kafka sudah memberikan pengarahan kepada Nun sebelum dia pergi ke luar kota, sore kemarin. “Ini klien penting. Member VIP,” kata Kafka, “dia sudah lima kali gagal ta’aruf dalam lima bulan ini. Kamu tahu apa artinya, kan?” Nun merasa jantungnya kembang kempis karena mata bosnya menatap setajam itu ke arahnya. Meski hampir pingsan, dia masih bisa mengangguk dan mempertahankan kesadaran. Klien VIP adalah pemilik gold membership. Mereka membayar uang keanggotaan dalam jumlah besar untuk mendapatkan jodoh dalam waktu singkat, yakni tidak l
Persis seperti di foto, lelaki berambut cepak, berkulit putih dengan mata sipit, hidung mancung dan dagu runcing itu duduk bersandar di kursi sebuah caffe. Santai tanpa beban. Kemeja slimfit membungkus badannya yang atletis. Jas casual tersampir di kursi. Sementara gawai keluaran terbaru miliknya tergeletak begitu saja di atas meja bersama segelas minuman bersoda. Ketika Nun tiba, lelaki itu langsung mendongakkan kepala. “Kamu, yang mau ta’aruf dengan saya?” tanya dia, bahkan sebelum Nun bersuara. Intonasi dan tatapan lelaki itu seperti meremehkan dia. Nun cepat-cepat memberi isyarat penyangkalan, “Bukan ... bukan saya,” kata dia sambil memasang wajah seramah mungkin. Sedongkol apa pun hatinya saat itu, dia tetap harus memberikan pelayanan prima sebagai Mak Comblang elite dari pangkalanhati.com. Lelaki itu menjulurkan bibir bagian bawahnya, jelas mencibir. “Saya consultan relationship dari pangkalanhati.com. Saya menggantikan M
Kafka mengerem kendaraan secara spontan. Tubuhnya tertahan seatbelt sehingga dia tidak terjungkal ke depan kemudi. Itu terjadi begitu saja ketika Kafka mendengar salah satu pegawainya yang bernama Ainun Mardiyya berkata lewat sambungan telepon, “Nun salah menta’arufkan klien.” “Klien yang mana?” tanya Kafka setelah dia bisa mengatasi sport jantungnya barusan. “Klien VIP bernama Alif.” Kafka menghela napas berat. Ingin dia berkata kasar, tetapi dia juga sadar bahwa pegawainnya itu berhati lembut dan baperan. “Saya sedang dalam perjalanan pulang. Nanti kita bahas solusinya di kantor.” Demikian keputusan Kafka. *** Brak. Pintu kantor bak dihantam angin kencang, terbuka lebar-lebar didorong seseorang. Semua kru Biro Jodoh Pangkalan Hati yang hari itu mangkal di kantor sontak melempar pandang kepada tamu yang datang. Seorang pria jangkung berkulit putih masuk ke ruangan tanpa mengucap salam. Matanya menyimpan kobaran api yang menyal