enjoy reading ...
Aku menghajar Richard seperti orang kesetanan! Bahkan di mataku, Richard justru terlihat seperti samsak! Samsak yang biasa kutinju sebebas-bebasnya saat berlatih bela diri di gelanggang. Dengan menaiki tubuhnya, aku bebas meninju wajahnya dengan membabi buta. Darah mulai mengucur di sudut bibirnya namun tiba-tiba dia menggunakan tangannya untuk menarik rambutku sekuat mungkin hingga berhasil meloloskan diri. "Rado! Richard! Stop!" Kaika menahan lenganku yang akan kembali melayangkan tinju ke wajah Richard. Kami sama-sama babak belur namun naluri balas dendamku masih ingin terus menghajarnya. "Stop, Rado! Kamu bisa bikin Richard mati!" Richard terlihat setengah sempoyongan saat berdiri. Tidak berbeda jauh denganku yang babak belur dua kali. Namun aku lebih jantan dibanding dirinya yang baru mendapat tinjuan dariku saja sudah hampir ambruk. "Banci! Payah!" cemoohku. "Tunggu pembalasan gue, an***g!" Richard mengacungkan jari tengah ke arahku lalu pergi terbirit-birit. Aku m
Saat aku begitu khidmat memeluk Mbak Sasha, dia justru menjauhkan tubuhnya dari pelukanku. Kemudian, aku menatapnya dengan sorot memelas penuh arti. Andai aku bisa berkata lantang agar dia memperlakukan aku lebih dari ini agar gersang di dalam hatiku segera terhujani oleh cinta dan kasih sayangnya. Lalu aku yakin, jika luka di fisik ini akan segera sembuh dengan sendirinya. "Ayo kamu mandi dulu, lalu aku obatin." Kepalaku menggeleng lalu meraih pinggangnya. Namun Mbak Sasha justru mencekal kedua tanganku. "Mandi, Rado!" "Mbak, jangan bilang Mas Kian kalau aku habis berantem." "Mas Kian pasti tahu walau kita nggak bilang." "Aku nggak mau dimasukin rumah konseling. Aku nggak nakal, Mbak. Aku nggak sakit. Kenapa aku harus dimasukin rumah konseling? Memangnya kalian mikir aku gila?" tanyaku dengan perasaan begitu mendalam. "Rado, hei! Siapa yang mau masukin kamu ke rumah konseling? Nggak ada," ucapnya menenangkan. Aku meraih kedua tangannya untuk membelai pipiku lembut, "Aku n
"Kenapa sama Risty?!" Tanpa menjawab pertanyaanku, Kaika segera menarik tanganku menuju mobil. Lalu aku menyambar tas ransel kuliah yang tergeletak di atas kursi gelanggang. "Hei, kalian berhati-hatilah!" seru Bang Al. "Makasih, Bang!" jawab Kaika sambil terus berlari. Tanpa banyak tanya, Kaika segera melajukan mobil sedan mewah Risty menuju tempat dimana gadis itu berada. "Risty kenapa, Kai?" "Risty bilang dikepung sama Ziany dan preman sewaannya!" Aku terkejut begitu mendengar ucapan Kaika. Pasalnya, bagaimana nasib Risty dengan badan sekurus itu dihadang oleh dua preman yang bertubuh dempal? Membayangkannya saja aku tidak bisa karena sudah pasti dia akan kalah tenaga. Kaika menyetir seperti orang kesetanan bahkan tidak peduli dengan pengendara lain yang menghadiahinya umpatan. Begitu tiba di jajaran ruko, Kaika segera memarkirkan mobilnya di halaman sebuah apotek. Untuk apa dia mengajakku kemari? "Ayo, Rado! Cepet!" serunya. Namun tiba-tiba langkah Kaika terhenti beg
"Pokoknya lo tahu beres. Kalau soal bikin drama, gue jagonya." Kemudian tangan kanan kiri Risty menengadah diantara kami berdua. "Mana ponsel lo? Biar gue yang selesaiin." "Seenggaknya lo bilang apa yang mau lo bilang ke kakak ipar gue." Bibirnya berdecak, "Lama!" Risty mendorong tubuhku kemudian dia melangkah menuju meja tamu, tempat aku meletakkan tas ransel kuliah. Dengan lancangnya dia mengobrak abrik isi tasku. "Risty!" tegurku. Begitu tangannya berhasil memperoleh ponselku, tangannya kirinya memberi kode agar aku tidak maju untuk menginterupsi apapun yang akan dia lakukan. "Lo bodyguard gue. Dan seharusnya lo tunduk sama perintah gue, Rado. Dan asal lo tahu, baru kali ini gue ikut campur masalah kucing-kucingan bodyguard gue sama keluarganya. Remeh temeh banget lo jadi cowok," ucapnya ketus bernada menyindir. Tatapan matanya masih fokus tertuju pada isi ponselku yang terus diacak-acak oleh jemarinya yang lentik. Dengan kuku sedikit panjang yang dihiasi kuteks berwarna me
"Ya? Ada apa?" Kaika berdiri di sebelahku sambil ikut menatap pemandangan ibu kota setengah sore ini dari kaca bening besar apartemen mewah Risty. "Nanti malam, Risty mau ikut acaranya anak-anak borjuis. Tugas lo ntar malam harus selalu sama dia kemanapun dia melangkah. Jangan alihin pandangan lo darinya meski satu detik aja. Karena Risty itu suka jadi pusat perhatian. Jadi jangan heran kalau ntar dia bakal dikelilingi cowok-cowok." "Ziany bukan anggota acara itu. Jadi tugas lo cuma mastiin dia selalu aman. Dan satu lagi, dia suka pakai baju terbuka tapi nggak mau digoda. Aneh kan?!" Aku mengangguk paham dengan satu hal itu. Karena banyak teman-teman perempuan di fakultas suka memakai pakaian terbuka namun marah-marah jika digoda para lelaki. Lalu jika mereka tidak mau digoda mengapa memakai pakaian terbuka? Tidak habis pikir aku memikirkannya. Sebelum berangkat menjadi bodyguard yang sebenarnya, Kaika mengajakku menyantap makan malam. Karena disana, aku tidak diperkenankan mel
Risty dan semua perempuan di meja itu tertawa lepas menanggapi ucapan temannya yang berkata ingin 'menikmatiku'. Sedang otakku masih memikirkan apa maksud dari ucapannya itu? Karena jelas-jelas aku ini bukan permen atau barang yang bisa dipinjam-pinjamkan atau dicoba-coba. "Tanya aja sama dia. Mau apa kagak," Risty bersuara setelah meredakan tawanya. "Ya lo kali yang nanyain." "Kenapa? Lo mabuk cowok ganteng?" "Gue butuh pelampiasan. Tapi bukan yang sembarangan." "Lo ngerti aja kalau barang-barang gue selalu berkelas." Gadis itu mendekat ke arah Risty lalu berbisik, "Dari cara dia naik motor sport udah bikin jantung gue jedag-jedug." Entah apa yang mereka bisik-bisikkan selanjutnya karena bertepatan dengan itu, acara ini baru dimulai. Risty tiba-tiba berdiri, meraih tanganku menuju tempat yang berada di pojok, diikuti temannya. "Do, buka masker dan topi lo," perintahnya. Aku melakukan apa yang dia inginkan kemudian sahabatnya tersenyum. Kepalanya mengangguk pelan sambil me
"Apa? Tidur dengannya?" tanyanya dengan raut tidak percaya.Aku melangkah mendekati keduanya dengan nafas terengah-engah sambil meredam kepanikan yang terus menguasai keberanianku. "Lo!" geram Richard ketika melihat kehadiranku.Risty ikut menoleh begitu aku berada diantara keduanya. "Sejak kapan lo nidurin cewek gue ke***at!?" Aku benar-benar terkejut mendengar pernyataan Richard yang menuduhku telah berbagi kehangatan dengan Risty. Jangankan berbagi kehangatan, kenal dekat dengannya saja belum genap satu bulan. "Emang lo cari mati ya?! Nyesel gue kenapa kemarin nggak gebukin lo sampai mampus!" Beruntung gangguan kepanikanku mereda perlahan-lahan karena telah menemukan Risty. Tangannya digenggam erat karena Risty berusaha melepaskan diri. "Jawab! Sejak kapan kalian tidur bareng!" pekik Richard dengan emosi tertahan ditengah kesunyian parkiran klub malam ini."Lepasin gue, Richard!" "Diem!!!" sentak Richard tepat dihadapan Risty."Nggak! Lo nggak ada hak ngatur gue sama sekali!"
Kali ini, apa lagi? Kenapa Mas Kian menghadangku di ruang tengah? Sial! Kalau begini, aku bisa ketahuan sehabis beradu fisik. "Sha, bawa Shakira masuk ke kamar," perintah Mas Kian dengan tatapan tetap tertuju padaku. "Papa, aku belum selesai main," rengeknya. "Mas, jangan pakai kekerasan," Mbak Sasha selalu memperingatkan Mas Kian jika akan mengadili kenakalanku. Bagaimana aku tidak semakin mencintai dia karena sikap penuh perhatiannya yang tiada duanya untukku. Kemudian ia membawa Shakira masuk ke kamar, meninggalkan aku dan Mas Kian berdua di ruang tengah. Apakah ini akan menjadi akhir dari penyamaran profesi baruku sebagai bodyguard Risty? "Buka helmmu, Do," perintahnya. Aku sangsi membukanya karena Mas Kian pasti mengetahui tambahan lukaku. "Rado, kamu denger Mas ngomong kan?!" Jika sudah begini, mau tidak mau aku harus melakukannya. Sorot mata dan nada bicara Mas Kian, memancarkan aura intimidasi bahwa ia tidak mau didebat barang sedikit pun. Baiklah, ini artinya