enjoy reading ...
"Gue nggak bisa membalas perbuatan papa tirinya Risty kalau nyokapnya masih melindungi, Kai. Gue nggak punya kekuatan sebesar itu untuk melawan keluarga Risty yang bukan orang biasa." Kaika menghela nafas panjang sarat kegeraman. "Kok bisa sih, nyokapnya nggak ada empati sama Risty, Do? Lebih percaya sama suami pembohongnya itu?" *** Usai makan siang bersama, kami bertiga melanjutkan aktivitas dengan menonton film. Tujuannya untuk membuat Risty bahagia. Mengingat Richard, kekasihnya, juga sedang sibuk dengan urusannya. Dan sudah menjadi tugasku untuk menemani Risty. Bukan film action atau bertema pembunuhan yang kami tonton, tapi lebih ke film bergenre komedi. Dan di kesempatan itu, Risty akhirnya tersenyum senang melihat adegan film yang diputar di layar lebar. Aku pun mengulum senyum tipis melihatnya kembali bahagia. Setidaknya, jika papa tirinya tidak mendapat pelajaran yang setimpal, aku bisa membuat Risty kembali normal dan tegar menghadapi masa depannya. Agar dia tidak
Ketika Risty telah pergi bersama kekasihnya, Richard, aku meminjam mobilnya untuk pergi ke gelanggang bela diri. Tempat yang dulu kerap kukunjungi untuk mengasah kemampuan fisik. Maklum, hampir dua bulan lamanya aku tidak berlatih olah fisik disana sejak Risty diculik. Kurasa, malam ini adalah waktu terbaik untuk melepas segala kepenatan di dalam otak dengan membasahi raga dengan peluh. Setidaknya, aku memiliki satu prestasi membanggakan yang bisa kugunakan untuk menutupi kekurangan mental dan akademikku. Samsak yang menjulang terus menjadi sasaran tinjuku berkali-kali hingga tetes demi tetes peluh membasahi wajah. Kuandaikan samsak ini adalah masalah yang ada dihadapan dan harus kuhabisi. Tendangan tangan dan kakiku membuat samsak itu bergerak ke kanan dan kiri. Hingga gerakannya ditahan oleh seorang lelaki yang tidak kukenal. Dia mengajakku untuk adu kemampuan bela diri sekaligus berlatih bersama. Usai saling memberi salam hormat, kami saling mengambil kuda-kuda dan dia mulai me
"Gue bakal bilang ke nenek tentang ulah papa tiri dan Ziany. Gue mau mereka dapat batunya dari nenek," ucap Risty. Lega rasanya begitu tahu keputusan apa yang akan diambil Risty. Pikirku, dia akan mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan kami sebagai majikan dan bodyguard karena ia sudah kembali menjadi kekasih Richard. Jika Risty memutuskan hubungan kontrak kerja sama ini terlalu cepat, aku tidak bisa menerima karena setidaknya aku harus berjuang dulu untuk mendapatkannya. Bukan kalah sebelum bertarung. "Gue kira apa." "Menurut lo, apa keputusan gue udah bener, Do?" tanyanya dengan posisi berjarak dariku. Kepalaku mengangguk tegas, "Lo harus bikin papa tiri lo dan Ziany dapat konsekuensinya, Ris." "Dan cuma nenek yang mereka takuti." "Kenapa bisa begitu?" "Karena semua warisan masih ada di tangan nenek. Mereka nggak akan berani berkutik kalau nenek udah bertitah." "Tinggal nenek lo aja. Apa beliau udah dapat bisikan dari papa tiri lo atau belum." Risty menghela nafas
"Stop menghakimi diri lo kotor, Ris!" ucapku setengah membentaknya. Jujur, aku benci Risty yang tidak memiliki rasa percaya diri padahal banyak orang-orang yang disekitarnya memberi dukungan agar bisa segera bebas dari trauma itu. "Kalau nggak kotor apa namanya, Rado?! Para pecundang itu memaksa gue membuka kaki lebar-lebar! Mereka ngelakuin itu bergantian sampai gue merasa gila!" Apa? Bergantian? Hatiku bagai dihantam gada mendengar pengakuan Risty. "Arrghh!!!!" Tiba-tiba Risty berteriak lalu menjambak rambutnya sendiri berulang kali dengan air mata yang membasahi pipi. Dengan sigap, aku menarik tangannya yang terus menarik rambut. Karena Risty terus memberontak layaknya aku dulu saat depresi saat dipaksa memasuki rumah konseling, hatiku ikut tersisik sedih. Seperti inikah orang depresi itu terlihat? "Lepasin gue, kambing!" Karena Risty terus memberontak seperti bukan dirinya yang sebenarnya, aku langsung memeluknya dari belakang dengan mengapit tangannya agar tidak lagi meny
Risty mengulurkan jari kelingkingnya ke hadapanku. "Janji kalau lo nggak akan ninggalin gue. Lo bakal sama gue." "Kan ada Richard." Tangan kanan Risty menarik kelingking kananku hingga sendok yang sedang kupegang akhirnya terjatuh di atas piring dan menimbulkan suara dentingan. "Richard nggak bisa bela diri dan melindungi gue. Cuma lo yang bisa dan yang cocok di hati gue. Sampai kapanpun, gue nggak mau ganti bodyguard. Gue mau lo dan bakal gue bayar berapapun yang lo mau asal tetap di sisi gue, Do." Lalu Risty menautkan kelingking kami dengan keinginannya sendiri. Padahal aku sedang tidak ingin membuat janji apapun dengannya. "Ayo ucapin janji lo, Do." "Ris, gue --- " "Kalau lo nolak, gue sedih banget dan merasa kehilangan," selanya cepat. Melihat wajahnya yang memasang ekspresi memohon, membuat hatiku tidak kuasa menolak. Dan pikirku apalah arti sebuah janji pada Risty jika aku melakukannya hanya untuk membuat hatinya senang. Aku tidak memiliki niatan berjanji untuk bers
Kabar baik! Akhirnya setelah menemani Risty selama satu bulan lamanya untuk berjuang melawan trauma itu, akhirnya Dokter Rafael mengatakan jika trauma yang dialami Risty makin berkurang setiap harinya. Aku, Richard, Kak Alfonso, dan Kaika. Kami bekerja sama menemani Risty untuk menguatkannya. Ketika Richard sedang sibuk bekerja, maka aku yang menemani selayaknya adik kakak. Sebisa mungkin aku bersikap profesional pada Risty dengan mengesampingkan isi hati ini. Begitu Richard pulang kerja, maka tugasku luang sesaat dan memilih menuju gelanggang untuk berlatih bela diri. Ya, dengan meninju samsak atau melakukan latihan adu fisik, aku bisa melupakan kemesraan Risty dengan Richard. "Stop, Rado!" seru wasit. Aku tengah beradu fisik dengan Kevin, lelaki yang tempo hari memberiku informasi terkait penerimaan lowongan menjadi bodyguard di salah satu perusahaan asing yang baru berdiri di Jakarta. Namun, teriakan wasit seakan menandakan jika pukulan yang kulayangkan terlalu membabi
"Lama banget sih, Do?!" Risty melayangkan suara protesnya ketika aku baru menutup pintu unit apartemen. Namun raut wajahnya berubah ketika aku mengangkat wadah plastik berisi dua porsi tusuk sate beraroma lezat. "Mau nggak?" Selanjutnya ia tersenyum tidak tahu diri lalu berjalan ke arahku dan tangannya mengacak-acak rambutku. "Lo tahu aja gue lagi lapar. Mana pembalut gue?" Aku mengeluarkan pesanan Risty dari dalam tas lalu secepat kilat ia menuju kamar mandi. Sedang aku melangkah ke dapur untuk mengambil piring dan menyajikan dua porsi sate kemudian membawanya ke meja tengah. Tempat laptopnya menyala di atas meja kaca. Begitu melihat tampilan layarnya, benar saja Risty sedang merekap keuntungan apotek-apoteknya. Aku menepikan laptopnya lebih dulu kemudian meletakkan dua porsi sate yang sudah tersaji beserta nasinya. Begitu Risty keluar, dia langsung mendudukkan tubuhnya di sebelahku namun tangannya meraih laptop yang sudah kutepikan. "Makan dulu, Ris," ucapku lalu meraih lapto
"Maaf, tidak ada pelanggan kamar kami yang menginap dua malam lalu atas nama Richard." Ucapan resepsionis itu membuat keterkejutan sekaligus rasa penasaran menggulung keingintahuanku untuk terus bertanya. "Tapi saya lihat dia masuk ke dalam hotel ini, Mbak." "Mungkin itu adalah salah satu tamu pelanggan kami, Mas." Aku menghela nafas kemudian memutuskan keluar dari hotel dengan perasaan kecewa. Karena dua malam lalu aku benar-benar telah memastikan jika mobil yang terparkir itu adalah milik Richard yang biasa ia bawa saat bekerja atau mengunjungi Risty. Karena tidak menemukan apa yang kucari, aku pun bergegas memasuki mobil Risty lalu kembali ke ruko apoteknya. Aku tidak mau Risty terlalu lama diluar penjagaanku agar tidak kembali disambangi kemalangan itu. Cukup sekali saja hingga membuatnya trauma. "Lo habis dari mana sih, Do?" tanya Risty begitu aku baru saja memasuki ruangan yang biasa ia pakai untuk merekap hasil penjualan bisnis apoteknya. Dia tengah menyandarkan tubuhn