enjoy reading ....
Setelah menyemprotkan parfum beraroma maskulin sambil berkaca, aku kembali merapikan sisiran rambut. Tidak berantakan hanya saja aku ingin menyisirnya kembali. "Kok gue nerves?" gumamku.Tadi, usai mengatakan pada Mas Kian tentang pertolongan yang kubutuhkan, ia menyanggupinya. Lalu aku pulang ke apartemen untuk berganti baju yang lebih santai tapi tetap rapi. Ting tong!Suara bel unit apartemen sederhanaku berbunyi. "Pasti Mas Kian."Benar saja kakakku itu datang dengan memakai kaos warna biru dongker dan celana jeans belel. Seperti kembali terlihat bujang. Dan tangannya membawa sebuket bunga mawar putih yang masih segar dan wangi."Nih bunganya."Usai menyerahkan buket bunga, Mas Kian masuk ke dalam unit lalu aku menutup pintunya.Kedua mata Mas Kian menatap sekeliling unitku melalui kacamata beningnya dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Mirip bos kecil di perusahaan tempatnya bekerja. "Kamu betah tinggal di sini, Do?" tanyanya lalu membungkuk untuk melihat hiasa
"Gue mau bilang ke Richard kalau lo nggak bahagia sama dia. Tapi bahagianya sama gue!" jawabku tegas dengan menatap matanya. Risty menghela nafas lalu kembali menatapku. "Kemarin, gue kayak ngemis perhatian ke lo sejak kita ketemu di Maldives. Tapi lo selalu bilang kalau hubungan kita udah selesai. Oke, Do. Fine. Selesai. Gue menjauh sekarang. Gue mau nikmati hidup gue pakai cara gue." "Tapi kenapa sekarang lo tiba-tiba baik? Lo tiba-tiba pakai acara minta tolong Mas Al untuk ngerancang pertemuan ini. Apa mau lo, heh? Gue capek, Do. Capek." Risty berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku. Tapi aku tetap menahannya. "Karena kemarin gue merasa tetap harus menghindari lo, Ris. Tapi waktu tahu lo mau hidup bebas lalu kencan sama Pak Chang, hati gue meradang! Gue nggak bisa tinggal diam." "Tapi lo terlambat. Gue udah eliminasi semua perasaan gue ke lo." "Secuil pun?" "Nggak ada!" tegasnya dengan menggeleng. "Oke kalau nggak ada. Gue bakal bengkitin sisa-sisanya." "Percuma.
Menginginkan Risty itu seperti menginginkan bayi harimau. Mengapa aku bilang begitu? "Apa kamu siap sama konsekuensinya, Do?" tanya Mas Kian dengan duduk di sebelahku. Kami sudah kembali ke unit apartemenku lalu Mas Kian sengaja menghabiskan waktu lebih banyak di sini. Sambil menikmati minuman kaleng yang kami beli di salah satu minimarket saat perjalanan pulang dari rumah Kak Alfonso tadi. "Harus siap, Mas." "Oke. Mas akan jelasin apa aja yang tadi Alfonso katakan." Kepalaku menoleh kemudian Mas Kian menaruh minuman kalengnya di atas meja. "Pertama, Richard. Suaminya Risty. Alfonso nggak tahu Richard itu kayak apa, tapi dia bakal nyari tahu tentang lelaki itu sekalian nanyai Risty tentang pernikahannya. Mas udah bilang ke Alfonso kalau Risty sebenarnya nggak bahagia menjalani rumah tangga dengan Richard." Kepalaku mengangguk lalu Mas Kian kembali melanjutkan ucapannya. "Kedua, keluarga besar Risty. Alias Nenek dan Kakeknya Risty di Norwegia sana. Katanya, mereka pengatur bang
"Ris, suara apa itu?" tanyaku dengan menoleh ke arah Risty. Langkah kami berdua terhenti begitu akan mencapai kamar Risty dan Richard berada. Itu semua karena kami mendengar sebuah suara samar-samar yang menggelitik telinga. "Ah!" Satu suara jeritan ini membuatku terkejut lalu melihat reaksi Risty yang masih diam saja sambil menatap lurus ke arah pintu kamar. Namun aku yakin jika otaknya sedang bekerja keras memaknai suara janggal itu. Semoga saja dugaanku dan Risty salah. "Ris, kayaknya ada orang lain di kamar lo," ucapku setengah berbisik. Kepalanya mengangguk dengan sorot sendu. "Bukan kayaknya, Do. Tapi emang ada orang lain di kamar gue." Kedua alisku sedikit bertaut. "Siapa?" "Richard." Aku menatap wajahnya lekat yang hanya menunjukkan ekspresi datar namun terselip kehancuran di sana. Wajah terlukanya itu membuatku tidak tega dan ingin sekali melayangkan satu pukulan di wajah Richard. Jika benar dialah pelakunya. "Jadi, mobil yang terparkir di depan tadi itu mobil
Dengan senyum sinis aku keluar kamar lalu menghampiri Risty yang masih berdiri di luar kamar. Kepalanya menunduk dengan ekspresi terluka. "Lo mungkin perlu lihat satu pemandangan tak terduga di dalam kamar mandi, Ris." Saat aku akan menarik tangannya, Risty menyentaknya. "Seorang perempuan, kan?!" Kepalaku mengangguk. "Gue udah feeling, Do." Kemudian Risty melangkah masuk ke dalam kamar sedang aku mengikutinya dari belakang. Berjaga-jaga, siapa tahu Richard akan melakukan hal yang tidak-tidak padanya. Ternyata dia masih menahan sakit di tangannya karena aku berhasil membuatnya cedera. "Sayang, aku bisa jelasin," ucap Richard dengan wajah menahan sakit. Tanpa mempedulikan Richard, kaki Risty melangkah menuju kamar mandi. Seorang perempuan yang tengah bersembunyi di sana dengan memakai bathrobe putih nampak ketakutan. Bagaimana tidak ketakutan jika apa yang dia lakukan dengan Richard di dalam kamar tertangkap basah Risty. "Keluar dari kamar mandi. Hampiri kekasih gelap lo
Di apartemenku yang sederhana, aku mengundang Risty untuk bermalam di sini usai melepaskan diri dari pernikahan beracunnya dengan Richard. Risty merebahkan tubuhnya di sofa panjang sambil memejamkan mata usai aku meletakkan kopernya. "Mau makan apa, Ris?" tanyaku dengan duduk di single sofa. "Tidur." Lalu Risty memiringkan tubuhnya ke kanan dengan nyaman. Kemudian senyumku terbit melihat tingkahnya yang masih saja menggemaskan. Meski perabotan di apartemenku tidak semewah di rumahnya, aku bersyukur Risty tidak merasa terganggu. "Aku keluar bentar. Beli stok isi kulkas. Kamu di sini atau ikut?" Risty membalik tubuhnya lalu menghadapku sambil berbaring. "Apa lo bilang? Kamu? Aku?" Kepalaku mengangguk karena telah merubah panggilan ke Risty dengan sebutan lebih akrab. "Kesambet angin apaan lo berubah seratus delapan puluh derajat?" ucapnya dengan senyum tipis sarat akan ejekan.Aku mengangkat bahu santai sambil menatapnya."Aku cuma mau membiasakan diri manggil kamu dengan sebut
Hatiku takluk karena Risty memelukku dari belakang seerat ini. Amarah yang tadinya membumbung tinggi, mendadak tenggelam oleh sentuhannya yang sangat kudamba. Kepalaku menunduk lalu melihat eratan jemari indahnya yang melingkari perutku. Perlahan aku menyentuh tangannya itu. Apakah ini benar atau hanya tipuan? Benarkah Risty memintaku tetap ada di sisinya? "Jangan marah kayak tadi lagi, Do. Aku takut. Lalu, kalau kamu pergi, aku hidup sama siapa? Aku udah keluar dari rumah. Udah mengingkari janji pernikahanku sama Richard. Dan sekarang, aku cuma punya kamu. Please, jangan pergi." Aku pergi meninggalkan Risty? Itu tidak mungkin. Kecuali dia yang menyuruhku pergi. "Maaf, Ris. Tadi aku kebawa emosi," ucapku dengan mengusap tangannya lembut yang masih melingkari perutku. Bagaimana tidak emosi jika Risty menganggap keseriusanku tadi sebagai guyonan semata. Kemudian ia melepas tangannya lalu berjalan ke depanku. "Aku nggak tahu apa aku cinta kamu atau nggak. Yang pasti untuk
"Aborsi."Kedua mataku membelalak tidak percaya mendengar pengakuan Risty. "Aku pernah hamil anaknya Richard. Karena aku benci sama dia dan pernikahan kami, akhirnya aku mutusin untuk ... aborsi, Do.""Ris?" panggilku lirih dengan kepala menggeleng tidak percaya. "Kenapa? Apa kamu mikir aku gila? Tukang tega?" ucapnya lirih dengan sorot sendu.Aku hanya memandang Risty tanpa berani berkata-kata lagi. Takut melukai egonya yang sudah lama terluka karena pernikahannya dengan Richard. Khawatir dia tidak nyaman jika aku terlalu menghakimi perbuatannya. Karena aku yakin Risty melakukan aborsi itu karena ada alasannya. "Waktu itu aku mikirnya, kehamilan ini terjadi karena Richard ngasih aku obat perangsang berkali-kali. Lalu, apa yang harus aku lakuin selain gugurin anak ini.""Aku nggak mau anak itu nanti hidup di dalam keluarga yang toxic. Keluarga yang nggak pernah ada cinta di dalamnya. Karena sampai kapanpun aku nggak akan bisa mencintai Richard atau nerima dia sebagai suami sebenarn