“Lo itu deket banget, ya, sama bos lo?” Setelah makan siang bersama di kantorku tadi siang, Kak Rangga lanjut menawariku untuk pulang bersama sekalian makan malam. Kali ini aku tidak menyia-nyaiakan kesempatan untuk mempertemukan Sera dan Kak Rangga, sehingga aku mengiyakan ajakan Kak Rangga untuk makan malam bersama. Tidak lupa, aku juga menghubungi Sera untuk menyusulku makan malam di restoran tempat tujuan aku dan Kak Rangga. Aku tahu kalau Sera akan menolak kalau aku bilang bahwa aku sedang makan malam berdua dengan Kak Rangga dan menyuruhnya untuk menyusul. Makanya aku berbohong padanya dan mengatakan bahwa aku makan malam sendirian dan butuh teman makan malam. Sehingga aku menyuruhnya untuk segera menyusul ke restoran tempat tujuanku dan Kak Rangga.“Gak juga, sih, Kak. Emangnya kenapa?” Aku menatap bingung ke arah Kak Rangga yang tiba-tiba membahas Pak Mahesa ditengah-tengah makan malam kami.“Gak apa-apa. Cuma nanya aja. Gue kok, ngeliatnya Bos lo itu agak ngebedain perilaku k
Sepertinya yang namanya karma itu memang benar nyata adanya. Aku berbohong kepada Sera dan Kak Rangga dengan alasan bahwa Pak Mahesa tiba-tiba memanggilku sehingga aku harus segera pergi untuk menemui bosku. Tak kusangka semesta mengabulkan kebohonganku. Dan di sinilah kini aku berada. Duduk berdua bersama bosku di kursi tunggu bioskop untuk menunggu film yang akan kami tonton bersama diputar. Kalian pasti terkejut, kan? Aku yang mengalami sendiri lebih terkejut. Saat perjalanan pulang dari restoran tempatku makan dengan Kak Rangga dan juga Sera, aku sengaja tidak langsung pulang ke apartemen dan berpikir untuk jalan-jalan sebentar. Entah dapat ide dari mana, mobil yang kukendarai berbelok ke arah mal. Awalnya, aku berniat untuk keliling mal saja untuk mengusir rasa bosan, tetapi ketika lewat di depan bioskop entah kenapa kakiku tiba-tiba berbelok masuk ke sana. Aku membeli popcorn dan es milo kemudian berjalan untuk mengantri tiket di loket. Tanpa kuketahui, bosku juga sedang menga
Pak Mahesa meninggalkanku dengan sebuah tanda tanya besar yang kini masih memenuhi isi kepalaku. Sementara, kepalaku dipenuhi tanda tanya besar tentang maksud dari ucapannya yang terdengar jahat, suara dari pengeras studio yang mengumumkan bahwa film yang akan kutonton sudah dibuka teaternya, membuat fokusku menjadi pecah. Suara dari dalam dan suara dari luar kepalaku seakan bertabrakan membuat sebuah gelombang-gelombang rumit yang membuat kepalaku semakin pusing.Daripada terjebak dengan suara-suara yang membuat kepalaku pening, aku memutuskan untuk mengikuti Pak Mahesa yang sudah lebih dulu masuk ke dalam studio dan meninggalkanku bersama dengan pertanyaan-pertanyaan yang sengaja tidak dijawabnya. Aku bertekad menanyakan hal itu padanya sepulang menonton bioskop, tetapi kenyataannya, Pak Mahesa berhasil menghindariku dan pulang lebih dahulu. Aku yang tidak bisa mencegahnya hanya diam sambil menatap punggungnya yang kian menjauhi bioskop. Aku bahkan hampir dibuat frustasi olehya kare
Aku keluar dari ruang HRD dengan wajah sumringah. Setelah menandatangani beberapa berkas perjanjian kerja yang harus aku tandatangani, aku keluar bersama salah satu staf bagian personalia untuk diantar ke ruangan divisi accounting. Yash! Setelah enam bulan menganggur dan bertahan hidup dengan gaji terakhirku di kantor lama, akhirnya aku mendapatkan pekerjaan juga. Hari ini dan seterusnya aku jamin tidak akan makan tahu-tempe-telur setiap hari. Penderitaanku akan berakhir. Aku akan melunasi hutangku pada Sera, membayar sewa apartemen yang nunggak satu bulan dan rencana-rencana tertunda lainnya yang tidak bisa aku bayangkan dulu sewaktu masih menganggur. Kami sampai di lantai tiga tempat divisi accounting berada beberapa menit kemudian. Aku diperkenalkan dengan salah satu karyawan di sana yang kuketahui bernama Puspita. Setelah bersalaman dan memperkenalkan diri dengan Mbak Puspita, staf bagian personalia yang mengantarku yang kuketahui bernama Fatma meninggalkan aku agar bisa segera be
“Jadi lo udah mulai kerja hari ini?” Aku mengangguk menjawab pertanyaan Sera yang kini tengah mengaduk cokelat panasnya.“Wah, berarti lo udah bisa mulai nyicil utang-utang lo sama gue, dong!” Sera berteriak semangat. Dia menyelipkan nada menggoda dibalik ucapannya.“Ya gitu, deh.” Aku menjawab tak semangat godaan Sera. Sera mengernyit. Dia membawa coklat panas yang baru saja dibuatnya kemudian mendekat ke arahku. Kami sekarang sedang berada di depan televisi di apartemen Sera. Aku sengaja langsung ke sini setelah pulang kerja. Aku merasa harus meluruhkan semua bebanku dengan bercerita pada orang lain.“Lo kenapa, sih? Kok malah kayak gak semangat gitu baru dapet kerja?” tanya Sera keheranan. Pasalnya selama enam bulan menganggur, aku pontang-panting mencari pekerjaan untuk menyambung hidupku di ibu kota ini. Sera sendiri yang melihat perjuanganku datang interview ke perusahaan-perusahaan, kemudian menggalau ketika dua minggu kemudian tidak ada tindak lanjut proses selanjutnya. Hingg
Baik apanya? Masih dalam batas wajar dilihat dari Hongkong? Yang dikatakan oleh Reno semuanya bullshit! Aku malah akan sujud syukur jika yang menjadi bosku sekarang bukan Pak Mahesa. Nasib beruntung memiliki bos seperti Pak Mahesa hanya kebohongan belaka.Bagaimana tidak? Selama seminggu bekerja di bawah tangannya, aku dihajar habis-habisan! Lembur setiap hari, revisi tiada henti, deadline yang diluar nalar. Ah, rasanya hampir gila menghadapi bosku yang satu itu. Jangan lupa sarkasme yang selalu dilemparkan kepadaku ketika mengantar hasil revisi pekerjaan. Aku ingat sekali setiap gerakan tubuhnya ketika membaca hasil revisianku. Tangannya akan mengetuk-ngetuk pada meja sambil menggoyang-goyangkan kursi putarnya seirama dengan ketukan tangannya. Kakinya akan diangkat ke atas. Kemudian matanya menatap tajam ke arah kertas. Setelah selesai membaca, dia akan mendongak. Sambil tersenyum sinis mulutnya yang serasa garam dicabein akan berkata, “Cuma segini kompetensi yang kamu punya?”. Yang
Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan keadaan antara aku dan Pak Mahesa. Mobil yang kami tumpangi, sepertinya lebih tepat disebut rumah hantu yang suasananya sepi dan mencekam. Bagaimana tidak? Salah satu dari kami tidak ada yang mau memulai percakapan untuk mencairkan suasana. Sampai akhirnya bunyi ponsel Pak Mahesa memecahkan keheningan di antara kami. Aku melirik Pak Bos yang mengambil ponsel di saku jasnya, kemudian mengangkat panggilan telepon entah dari siapa. “Ya, Ma?” Kini aku tau kalau yang menelpon Pak Bos adalah ibunya. “Lagi di jalan. Kenapa, Ma?” Aku mencoba untuk tidak peduli. Memilih untuk memperhatikan jalanan lewat kaca jendela mobil, walaupun dalam hati muncul juga sedikit rasa kepo tentang apa yang dibicarakan Pak Bos dan ibunya. “Ma! Esa, kan, udah bilang kalo Esa gak mau dijodoh-jodohin kayak gitu. Berapa kali, sih, Esa harus bilang ke Mama?” Sumpah demi apapun! Aku tidak berniat menguping sekalipun! Salah siapa bos harus menelpon di sampingku, mana bisa
“Semalem lo lembur lagi, Nggun?” Aku baru saja mendudukan diri di atas kursi ketika Mbak Pita bertanya padaku. “Iya, nih, Mbak.” “Heran banget gue, kenapa Pak Mahesa demen banget ngajakin lo lembur.” Reno yang berada di sebelahku ikut menimpali. “Udah ketahuan banget, nih, siapa yang bakal dapet bonus paling banyak akhir tahun ini. Jangan lupa traktir kita-kita ya, Nggun.” Mbak Pita berucap menggodaku. “Percuma dapet bonusan banyak, kalo badan remuk semua. Gue, mah, gak peduli bonusan gede, Mbak. Sehari aja gue bisa tidur tepat waktu, udah bikin gue sujud syukur.” Reno dan Mbak Pita tertawa mendengar keluhanku. “Tapi, emang sih, akhir-akhir ini Pak Mahesa kayak lagi orang kesurupan kerja. Apesnya, yang jadi tumbal nemenin dia lembur, elo, Nggun. Gue kayaknya harus berterima kasih deh, sama lo, karena udah menyelematkan gue dari maut ini. Gak kebayang sih, kalo gue jadi lo.” Mbak Pita bergidik sendiri membayangkan. Lihat, kan, teman-teman kantorku saja ogah, apalagi aku. “Ah, lo