Share

Air Mineral

Terlepas dari semua keributan di rumahnya, kini Yandi harus bergegas ke sekolah. “Ah... udah jam segini lagi. Coba aja gue gak ngurusin anak gak jelas itu, pasti gue gak bakalan telat,” ujar Yandi kesal saat ia melihat jam di ponselnya yang telah menunjukkan pukul tujuh tepat.

“Ah... bodoh amat, deh.” Yandi sangat kesal pada adiknya yang masih saja menangis di kamarnya. Kini ia benar-benar tak mau memedulikan adiknya lagi. Yandi adalah orang yang tak akan memedulikan seseorang yang tak mendengar ucapannya. Siapa pun orang itu ia tak peduli. Ia punya sebuah prinsip, jika sekali perkataannya tak didengarkan, ia tak akan perduli lagi pada orang itu.

Begitu selesai bersiap, Yandi segera bergegas berangkat ke sekolah tanpa menyantap sarapan. Ia bahkan tak berpamitan pada orang rumah saat berangkat ke sekolah.

Meskipun ia tahu dirinya akan telat, namun Yandi tetap memilih untuk berjalan kaki. Bahkan ia berjalan dengan santai menuju sekolah.

Seperti dugaannya, setibanya di sekolah pagar telah dikunci. Namun ia tahu, para satpam tak akan membiarkan ia berada di luar sekolah. Tentunya mereka akan membukakan pintu gerbang itu dengan senang hati, dan membiarkannya masuk begitu saja.

Meskipun para satpam membiarkannya masuk, bukan berarti ia bebas dari hukuman.

“Yandi,” panggil seorang guru.

Yandi membalikkan badannya ke sebelah kanannya. Dilihatnya seorang guru sedang menunggunya di meja piket. “Ya bu?” 

“Sini.” Yandi berjalan ke arah meja guru piket dan berdiri berhadapan dengan guru itu.

“Kamu tahu ini udah jam berapa?” tanya bu Rika pada remaja pria itu. Ya, guru yang bertugas hari ini adalah bu Rika, guru yang tak akan mentoleransi keterlambatan para siswa.

“Mana saya tahu bu? Saya gak pakai jam. HP saya juga di dalam tas, bu,” jawab Yandi santai.

“Ibu udah bingung mau kasih kamu hukuman apa lagi, Yandi. Kamu gak bosan terlambat terus?”

“Kasih aja hukuman yang biasanya, bu. Lagian saya juga punya alasan kenapa terlambat.” Yandi sudah mengethui semua jenis hukuman yang akan diberikan para guru bagi siswa yang terlambat, karena ia sudah menjalani semua jenis hukuman itu.

“Lagian aku cuma sering telat pas hari senin aja kok, bu. Kalau hari lain aku jarang terlambat.” Bu rika menarik panjang napasnya dan mencoba sabar untuk menghadapi Yandi.

“Oke. Kamu bilang kasih aja, kan?”

“Iya, bu.”

“Karena sekarang jam pelajaran pertama sudah berjalan selama setengah jam, jadi ibu kasih kamu dua hukuman.”

“Yang pertama kamu hormat bendera. Yang kedua kamu tulis ‘saya tidak akan terlambat lagi’ dalam satu buku. Tulis yang rapi, dan kumpul ke ibu setelah jam pulang,” ujar bu Rika memberi siswa itu hukuman.

“Oke bu. Berarti aku hormat bendera sekarang, kan?”

“Tunggu sebentar. Kamu pakai ini.” wanita itu memberikan sebuah kertas karton berwarna merah muda dengan ukuran yang cukup besar. Kertas itu sudah diberi tali pada kedua sisinya. Pada kertas itu bertuliskan kata yang sama, seperti hukuman kedua yang diberikan pada Yandi. 

Setelah menerima kertas itu, Yandi segera menjalankan hukumannya. Ia mengantung kertas itu pada lehernya sambil menghormat ke arah bendera di hadapannya.

“Yandi? Apa dia terlambat lagi?” siapa pun yang melihat Yandi saat itu pasti akan mengetahui bahwa ia sedang menjalani hukuman karena terlambat.

“Seandainya gue bisa bantu dia,” ujar Reina yang tak sengaja melihatnya saat hendak menuju perpustakaan. Ia ingin sekali membantu siswa itu, namun ia tak tahu cara apa yang harus dilakukannya untuk membantu pria itu.

“Gue tahu.” Siswi itu segera berlari ke arah kantin sambil menghindari para guru. Setibanya di kantin, siswi itu segera membeli dua air mineral dalam kemasan gelas. Ia pun langsung memasukkan air mineral itu dalam tas Yandi yang tergeletak di depan meja piket. 

Saat hendak memasukkan air mineral dala tas Yandi, Reina harus melakukannya secara diam-diam agar tak ada guru yang melihatnya. Beruntungnya saat ia menaruh air mineral di tas remaja itu, tak ada satu guru pun yang berada di sekitar meja piket.

Reina segera berlari kembali ke perpustakaan, setelah ia melakukan apa hal itu. Ia segera mengambil beberapa buku dan kembali ke kelasnya. “Semoga aja lo mau terima bantuan gue,” gadis itu membatin sambil melirik Yandi yang sedang menjalani hukumannya.

Kini Yandi telah menyelesaikan hukumannya dan ia pun diizinkan untuk mengikuti mata pelajaran berikutnya. Remaja itu segera masuk ke kelas dan menduduki bengku paling pojok di kelas itu. 

“Yan, kok lo telat? Habis ngapain aja lo?” tanya Andi. Kelima temannya langsung menghampirinya begitu ia sampai di bangkunya.

“Biasalah... di rumah,” jawab Yandi singkat. Meskipun mereka tak mengalami hal yang sama persis, namun Yandi tak perlu menjelaskan lebih detail tentang kejadian yang ia alami. Kelima teman Yandi sudah mengerti jika ia mengatakan ‘rumah’, karena mereka juga merasakan hal itu.

“Lo pasti haus kan?” tanya Rino.

“Entar aja urusin masalah haus. Mending lo semua bantuin gue.”

“Apaan?” tanya kelima temannya bersamaan.

“Lo pada ada buku yang belum kepakai, gak?” Kelima temannya menggeleng menandakan bahwa mereka tak memiliki buku yang belum terpakai.

“Emangnya lo buat apa tuh buku? Disuruh tulis?” tanya Agus. Keenam siswa ini memang sudah mengetahui semua jenis hukuman di sekolah mereka, karena merek telah menjalani semuanya.

“Begitulah. Kalau gak ada, biar gue beli. Tapi gue malas keluar,” ujar Yandi sambil mengipas tubuhnya yang dipenuhi keringat dengan sebuah buku.

“Ya udah, biar gue aja yang beli,” ujar Andre menawarkan dirinya. Ia sengaja menawarkan dirinya, agar ia dapat bertemu siswi itu. Ia berharap, dirinya dapat bertemu siswi itu saat membeli buku.

“Ya udah, oke.” Yandi segera meraih dompetnya dalam tasnya. Saat hendak mengambil dompetnya, ia melihat dua gelas air mineral telah berada dalam tasnya.

“Perasaan gue gak ada beli air, deh?” gumam Yandi bingung. Ia tak memedulikan air mineral itu dan segera mengeluarkan uang kertas pecahan dua puluh ribu rupiah dari dompetnya.

“Nih,” ujar Yandi memberikan uang itu pada Andre. Andre pun segera bergegas menuju kantin, sedang kelima kawannya menikmati waktu tidur di kelas.

“Nih air muncul dari mana, sih? Perasaan gue gak ada beli air.” Yandi terus memikirkan dari mana asalnya air itu. Ia berusa mengingat-ingat semua kejadian sejak ia berada di rumah hingga di sekolah. Namun ia tak mendapati sebuah kejadian, bahwa dirinya membeli air mineral.

Yandi berdecak kesal karena tak menemukan jawaban dari pertanyaannya. Tanpa memedulikan siapa yang menaruh air mineral itu, ia meminumnya untuk menghilangkan rasa dahaganya. Ia tak peduli jika ada racun atau apa pun dalam air itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status