Share

Aku Benci Kakak!

Tangisan Yeri sudah memenuhi rumah kala waktu masih menunjukkan pukul lima lebih empat puluh menit. Sebenarnya sejak malam hari remaja ini sudah mulai meneteskan butiran-butiran air dari matanya. 

Suara tangisan remaja pria ini membuat Yandi benar-benar merasa terganggu. Telinganya pun mulai memanas dan ia segera kehabisan kesabarannya mendengar suara tangisan adiknya. 

“Bisa berhenti nangis gak, sih?!” ujar Yandi memarahi adiknya. Ia yang telah kehabisan kesabaran, menerobos masuk kamar adiknya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

“Gara-gara lo nangis dari semalam, gue tuh gak bisa tidur! Emangnya lo gak capek nangis dari malam sampai pagi?!” Yandi merasa kesal, karena ia harus mendengar tangisan adiknya sejak semalam. Kamar mereka yang bersebelahan membuat ia dapat mendengar dengan jelas suara tangisan adiknya.

“Lo tahu, bi Ami tuh kemarin capek banget bujuk lo. Udah dibujuk kayak anak bayi juga gak mau diam lagi! Bi Ami tuh berdiri di depan pintu sampai jam empat buat bujuk lo!”

“Udah kayak anak bayi tahu, gak!”

“Sebenarnya lo mau ngapain nangis kayak gini? Biar apa? Biar mereka nurutin kemauan lo?!”

“Gak bakalan! Sampai suara abis sekalipun, gak bakalan diturutin kemauan lo!”

“Gue kasih tahu sama lo, gak usah ngarapin apa pun dari mereka! Ngerti lo!” ujar Yandi tegas. Ia tahu betul apa pun usaha adiknya tak akan membuahkan hasil, jika ia tak bisa menyamai pencapainya. Apa pun yang dilakukan Yeri akan tetap tak bernilai di mata kedua orang tuanya, jika ia tak mampu menyamai kakaknya.

“Kakak jahat! Aku benci kakak!” teriak Yeri dalam tangisnya.

“Terserah! Kalau gak mau dikasih tahu, ya udah!” ujar Yandi kesal. Ia tak peduli jika adiknya membencinya. Namun dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia tak mau adiknya bernasib sama seperti dirinya. Ia tahu betul bagaimana orang tuanya hanya memanfaatkan semua prestasi yang pernah didapatkannya, dan setelah ia tak mendapatkan semua prestasi yang pernah didapatkannya mereka segera membuangnya.

“Just do whatever you want to do! I don’t care again abot you!” Yandi segera keluar dari kamar Yeri dan kembali ke kamarnya untuk bersiap ke sekolah. Walaupun terlihat tak peduli, sebenarnya Yandi tak ingin adiknya membuang-buang waktu dan tenaganya untuk mencari perhatian kedua orang tuanya, yang tak akan memerhatikannya sedikit pun. Yandi memang memiliki keunikan sendiri saat sarannya tak diterima orang lain. Remaja pria ini akan menunjukkan ketidakpeduliannya pada orang yang menolak sarannya menggunakan bahasa Inggris. 

Yandi memang memiliki kemampuan bahasa asing yang baik, karena dirinya sejak dulu selalu bersekolah di sekolah bertaraf internasional. Sejak duduk di bangku pendidikan anak usia dini hingga kini ia duduk di bangku sekolah menengah atas, Yandi selalu saja bersekolah di sekolah bertaraf internasional. Tak hanya Yandi, kedua saudaranya pun selalu menempuh pendidikan mereka di sekolah bertaraf internasional.

“Tuan, jangan nangis lagi, ya. Mendingan sekarang tuan siap ke sekolah,” ujar bi Ami membujuk Yeri. Setelah mendengar keributan antara kedua kakak beradik itu, wanita itu segera berlari ke kamar Yeri.

“Gak mau, bi! Aku gak mau sekolah!” teriak Yeri masih dalam tangisnya.

“Jangan gitu dong, tuan. Nanti tuan bisa ketinggalan materi pelajaran hari ini.”

“Aku gak mau. Pokoknya aku gak mau, bi...” ujar Yeri merengek. 

“Kalau tuan muda mau dapat perhatian nyonya sama tuan besar, tuan muda harus rajin sekolah,” ujar bi Ami membujuk Yeri.

“Gak mau! Aku tiap hari rajin ke sekolah, tapi mama sama papa gak pernah perhatiin aku!”

“Tuan muda gak boleh ngomong kayak gitu. Sekarang mama sama papanya tuan muda tuh lagi sibuk kerja, supaya bisa bayar biaya sekolahnya tuan muda sama kakak-kakaknya tuan muda.” Bi Ami berusaha memberi pengertian kepada remaja pria itu, agar dirinya berhenti berpikir bahwa kedua orang tuanya tidak memerhatikannya. Walau kenyataannya memang mereka tak pernah memerhatikannya. Namun, wanita itu tak ingin  putra bungsu keluarga itu bersedih.

“Kalau tuan muda malas ke sekolah, nanti tuan muda gak bisa juara di sekolahnya tuan muda. Tapi kalau tuan muda rajin ke sekolah, pasti tuan muda bisa juara kayak tuan muda Yandi.”

“Mungkin tuan muda bakalan butuh waktu yang lama, tapi tuan muda juga pasti bisa sama kayak tuan muda Yandi.” Bujukan wanita itu tepat sasaran. Ia tahu betul apa yang dibutuhkan remaja pria ini untuk mendapatkan perhatian orang tuanya.

“Dari dulu aku selalu rajin ke sekolah, Tapi aku gak pernah tuh dapat juara kayak kak Yandi,” ujar Yeri merasa tak adil, karena ia yang selalu rajin ke sekolah tak pernah sekalipun mendapat peringkat di sekolahnya seperti Yandi.

“Tuan muda gak bisa berpikir kayak gitu. Setiap orang itu berbeda—” Belum selesai wanita itu menyampaikan maksudnya, Yeri langsung memotong. Ucapan bi Ami langsung saja dipotong remaja pria itu karena merasa tak terima dengan perkataannya.

“Maksud bibi apa?!”

“Bibi mau bilang kalau kak Yandi lebih pintar dari aku?! Atau bibi mau bilang kalau aku memang gak pintar?!” Amarah remaja itu langsung meledak ketika mendengar ucapan bi Ami.

“Tuan, saya gak bermaksud seperti itu—” Lagi-lagi ucapan wanita itu dipotongnya. Ia yang terlanjur kesal, tak ingin mendengarkan penjelasan dari wanita itu. 

Yeri yang tak mengerti maksud dari perkataan bi Ami langsung saja meledak-ledak memarahi wanita itu. Padahal wanita itu tak memiliki niat untuk menjatuhkannya. Ia hanya berniat untuk memberi tahu pada tuan mudanya, bahwa setiap orang itu memiliki perbedaan. Perbedaan itu juga membuat setiap orang memiliki jalannya masing-masing dalam menempuh jalan untuk mencapai tujuan. Sayangnya, remaja pria itu tak membiarkan ia menyelesaikan ucapannya.

“Keluar sekarang! Aku gak mau lihat bibi lagi!” teriak Yandi mengusir wanita itu.

“Woi! Otak lo itu udah rusak, ya?!” ujar Yandi kesal.

Posisi kamar Yandi yang bersebelahan dengan adiknya, membuat ia bisa mendengarkan semua percakapan mereka. Emosinya meledak saat ia mendengar adiknya mulai memarahi asisten rumah tangga mereka. Ia yang tahan dengan tingkah adiknya pun segera menghampirinya.

“Kayaknya dari dulu sampai sekarang otak lo gak pernah dipakai!”

“Lo belum dengar semua omongannya bi Ami, lo udah langsung marah-marah gak jelas!”

“Biasain dengarin omongan orang lain sampai selesai, biar lo tahu maksudnya. Kalau gak, ya kayak gini. Marah-marah gak jelas! “walaupun ia suka membantah, Yandi selalu mendengar perkataan orang lain hingga selesai, agar ia bisa memahami maksud mereka. Ia hanya akan memotong perkataan seseorang, jika mereka terlalu bertele-tele atau saat dirinya tak dapat menahan rasa kantuknya lebih lama.

“Aku gak peduli! Aku benci kakak! Aku gak mau ngelihat kalian! Keluar dari kamar aku!” teriak Yeri mengusir bi Ami dan Yandi.

“Okay. I really don’t care about you anymore!”

“If you want to hate me, i don’t care. It’s not a big deal, because i’m still alive!”

“I won’t die if you hate me. You have to know that!”

“Terserah kakak. Aku benci kakak!”

Yandi segera menarik tangan asisten rumah tangga itu dan membawanya keluar dari kamar adiknya. Yeri pun segera menutup pintu kamarnya.

Brak!!!

“Banting aja tuh pintu!” teriak Yandi ketika melihat cara adiknya menutup pintu.

“Bi, mendingan bibi gak usah capek-capek bujuk dia,” ujar Yandi lalu meninggalkan wanita itu sendirian, dan ia segera kembali ke kamarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status