Share

Teman Pertama Andre

Sepanjang perjalanan, Andre terus saja menceritakan tentang sosok Yandi pada Reina. Hati gadis itu merasa sangat senang, karena dirinya kini dapat mengenal siswa yang selalu diperhatikannya secara tidak langsung.

“Tuhan, jika diizinkan aku mau berteman dengan Yandi. Aku mau membantu dia saat susah.” Dalam hatinya Reina berdoa, ia memohan agar diberikan kesempatan untuk menjadi teman yang selalu sedia membantu Yandi.

“Belok kiri atau kanan?” ujar Andre menanyakan arah rumah gadis itu.

“Kanan, kanan. Nanti lurus, rumah ketiga. Itu rumah gue,” ujar Reina memberikan penjelasan.

Kini kedua siswa itu telah tiba di kediaman Reina. “Makasih banyak, ya. Sorry banget gue udah ngerepotin lo,” ujar Reina berterima kasih setelah keduanya turun dari sepeda motor.

“Ya ampun nak... kamu ke mana aja kenapa baru pulang jam segini? Ini udah jam tujuh,” ujar seorang wanita berambut sedagu dengan memakai daster batik berwarna coklat.

“Ma... maaf bun,” ujar Reina meminta maaf pada wanita itu.

“Maaf bu, tadi kelamaan gara-gara masih isi bensin,” ujar Andre turut meminta maaf. 

“Gak perlu minta maaf, kan bukan salah lo.”

“Gini, gini. Biar aku jelasin ya, bun,” ujar Reina ingin memberi penjelasan pada wanita itu.

“Pertama-tama, bunda kenalan dulu sama orang yang di samping aku. Namanya dia Andre, dia teman satu sekolah aku,” ujar gadis itu memperkenalkan Andre. 

Setelah wanita berambut sedagu itu berkenalan dengan Andre, Reina segera melanjutkan penjelasannya. “Jadi gini, bun. Tadi tuh aku nyasar, terus aku ditolongin sama Andre. Pas di tengah jalan bensinnya habis, jadi kita mampir bentar ke pom bensin buat ngisi bensinnya Andre. Tapi pas kita sampai sana antriannya tuh panjang banget, jadinya aku pulang kemalaman, bun,” ujar Reina panjang lebar memberikan penjelasan pada bundanya. Wanita yang begitu khawatir saat gadis itu baru pulang adalah bundanya.

“Makasih banyak ya nak, Andre. Maaf ya udah ngerepotin.”

“Gak papa kok, bu. Gak ngerepotin sama sekali.”

“Eh... aku langsung pamit ya, bu,” ujar Andre hendak berpamitan.

“Mau langsung pulang? Gak mampir dulu? Paling enggak minum dulu gitu,” ujar bunda Reina menahan Andre.

“Mungkin lain kali aja, bu. Soalnya sekarang udah malam. Rumah aku juga dekat kok, bu. Aku janji bakalan datang lagi ke sini.”

“Emangnya rumah nak Andre di mana?”

“Di gang sebelah, bu.”

“Dekat ya. Ya udah, kalau gitu gak papa.”

“Kalau gitu aku pamit ya, bu,” ujar Andre sedikit menundukkan kepalanya.

“Hati-hati ya, nak.”

“Makasih banyak, ya.”

Setelah berpamitan, Andre segera menyalakan sepeda motornya dan bergegas pulang.

Setibanya di rumah, ia langsung mendapat sambutan spesial dari keluarganya. “Kamu dari mana aja, sih?! ini udah jam berapa?!” teriak seorang wanita berambut panjang ikal terurai, memarahi Andre begitu ia memasuki rumah.

“Kamu itu dikasih motor buat kerja! Cari uang, bukan buat jalan-jalan!”

“Mama udah pernah bilang, kalau kamu itu harus pulang sebelum jam tujuh.” wanita yang menyambut kepulangan Andre dengan kemarahan adalah mamanya. Wanita itu membelikannya sepeda motor saat ia telah menjadi seorang siswa SMA, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

“Mana setoran hari ini?” tanya wanita itu menagih uang dari putranya.

“Gak ada, ma. Udah habis buat beli bensin,” ujar Andre menjawab mamanya tanpa melihat wajah wanita itu.

“Gak ada? Kamu bisa cari uang gak, sih?!”

“Ma! Aku udah usaha! Tapi emang gak dapat!” ucap Andre berteriak.

Plak...

Lima jari langsung mendarat ke wajah remaja itu, saat ia berteriak. “Kamu barusan teriak?! 

“Dasar anak gak tahu diri!” teriak wanita itu sambil menampar sebelah pipinya.

“Kamu sama bapak kamu sama aja! Sama-sama gak bisa cari uang!”

“Asal mama tahu, aku juga udah usaha. Tapi, emang gak dapat aja!”

“Dan jangan pernah mama sama-samain aku, sama pria pemabuk itu!” teriak Andre dan berlalu ke kamarnya.

“Dasar! Kalian emang sama aja! Semuanya sama aja!” teriak wanita itu sambil membanting asbak rokok yang berada di meja.

Inilah wajah keluarga Andre, tak ada kebahagiaan di dalamnya. Hubungan kedua orang tuanya yang telah memburuk semenjak ia duduk di bangku SMP kelas sembilan, membuatnya harus menggantikan kewajiban orang tuanya untuk menafkahi keluarga mereka.

Sejak berusia lima belas tahun, Andre telah menjadi seorang tukang ojek. Ia selalu membawa pakaian cadangan saat ke sekolah untuk digunakannya sepulang sekolah.

Retakannya hubungan kedua orang tuan Andre, membuatnya harus menjadi sasaran kemarahan mamanya. Hingga kini, hubungan kedua orang tuanya semakin parah. Keduanya selalu bertengkar dan menjadikan siswa itu sasaran pertengkaran mereka.

Siswa itu sangat benci, jika mamanya menyamainya dengan pria yang berstatus sebagai bapaknya. Pasalnya pria itu selalu saja pulang saat tengah malam dengan tubuh yang dipenuhi aroma alkohol. Pria itu juga selalu menjadikan siswa itu sebagai objek sasarannya saat ia sedang mabuk. Wajah Andre pun selalu berakhir babak belur setiap paginya, jika ia tak berhasil melarikan diri dari pria itu.

“Ow... sakit banget.” Andre memegang kedua pipinya yang memerah akibat tamparan mamanya.

“Au ah. Mendingan gue mandi.” pria itu meraih handuk yang berada di tempat tidurnya dan segera menuju kamar mandi.

Setelah mandi, pria itu mengambil ponselnya yang berada di saku jaketnya. Ia mencari nama ‘Anak Sesama’ di daftar kontak ponselnya dan menghubungi pemilik nomor tersebut. Pria itu membaringkan tubuhnya di kasurnya sambil menunggu panggilannya diterima oleh pemilik nama ‘Anak Sesama’.

“Yo...” seru Andre begitu panggilannya dijawab.

“Ada apaan, sih? Tumben banget lo nelpon. Biasanya juga ngomong langsung kalau ada apa-apa,” ujar seorang pria melalui panggilan telepon.

“Gak ada apa-apa, sih. Cuma gue lagi mau ngomong sesuatu.”

“Apaan?” tanya pria itu tak bersemangat.

“Ya ampun... lo tega banget sama teman lo, Yan.” pria yang sedang dihubungi Andre melalui panggilan telepon adalah Yandi. Ia adalah pemilik nama kontak ‘Anak Sesama’.

“Ya udah, makanya cepatan ngomong. Gue mau tidur.”

“Lo mau tidur jam segini? Emangnya lo udah makan?”

“Udah. Makanya cepat,” jawab Yandi singkat, dan meminta Andre untuk segera menyampaikan tujuannya. Ya, Yandi memang orang yang tak suka basa-basi. Ia paling malas mendengarkan ucapan yang hanya berisi basa-basi, karena menurutnya hal itu tak penting.

“Tadi gue ketemu ama cewek—””

“Terus lo suka sama dia?” tanya Yandi memotong ucapan Andre.

“Enggak. Astaga naga ular naga panjangnya...”

“Gak ada ular naga dekat gue.”

“Makanya dengarin gue ngomong dulu, anak setan...” 

“Hm...”

“Jadi, tadi gue kan ketemu sama cewek. Dia itu siswa di sekolah kita juga—”

“Terus? Masalahnya apa?” tanya Yandi lagi-lagi memotong ucapan Andre.

“Terus dia mau temanan ama gue,” ucap Andre tak bersemangat. Ia kesal karena Yandi terus saja memotong ucapannya.

“Lo yakin dia benaran mau temanan ama lo?” Yandi ragu jika ada siswa dari sekolah SMA Citra yang ingin berteman dengan mereka memilii niat yang tulus. Ia khawaatir jika temannya hanya dimanfaatkan oleh siswi itu.

“Iya. Dia orangnya baik banget. Dan ternyata dia tetangga gue. Yah... walaupun gak dekat banget sih rumah kita.”

“Bagus deh. Gue cuma mau bilang, lo jangan terlalu percaya sama dia.”

“Iya. Gue ngerti.”

“Ya udah, gue mau tidur.”

“Oke,” ujar Andre menyetujui, dan segera mengakhiri panggilan telepon.

Hati Andre terasa bahagia. Ia tak menyangka jika siswi itu mau memperkenalkannya sebagai seorang teman pada orang tuannya.

“Pokoknya besok gue harus ke rumah dia.” Andre bertekad untuk mengenali siswi itu, untuk memastikan lagi apakah ia tulus berteman dengannya atau tidak.

“Mamanya tuh cewek baik juga, ya. Coba aja mama gue kayak gitu,” ujar Andre membandingkan mamanya dengan wanita itu, sambil membayangkan senyuman di wajah wanita itu saat ia berpamitan.

“Coba aja pas gue jalan, mama juga bilang kayak gitu. Hati-hati di jalan ya, nak. Pasti gue senang.” Dalam hatinya, Andre berharap mamanya kembali pada sosok yang ia kenal. Namun, ia tahu bahwa harapannya tak mungkin terjadi jika melihat mamanya yang tak pernah mendengarkan sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

“Lagian gue mikir apa sih! Mana mungkin mama kayak gitu. Tunggu ampe bulan ada sepuluh pun, mama gak bakalan kayak gitu.”

“Dahlah... mendingan gue tidur, daripada mikir gak jelas. Bikin sakit kepala yang ada,” ujar Andre dan segera menutup kedua matanya. Sambil menutup kedua matanya, ia memegang perutnya yang terus saja berbunyi. Ia tahu, jika ia tak membawa uang saat pulang maka ia tak akan mendapat makanan. Pasalnya tak ada orang lain yang bekerja di rumah ini selain dirinya. Kedua orang tuanya kini telah menjadi pengangguran, sejak perusahaan tempat kedua orang tuanya bekerja bangkrut.

Andre juga sudah terbiasa menahan rasa laparnya, bukan hanya semalaman atau seharian. Terkadang perutnya hanya diisi air selama beberapa hari, jika ia hanya mendapat sedikit uang dari hasil mengojek karena ia harus selalu menyetor penghasilannya setiap hari. Jika hasilnya lebih dari angka lima ratus ribu, maka ia akan diberikan lima puluh ribu. Namun, jika ia mendapat di bawah dari itu, ia hanya diberikan dua puluh lima ribu.

Beruntungnya Andre masuk ke sekolahnya saat ini dengan jalur beasiswa, sehingga dirinya tak terlalu perlu memusingkan biaya sekolahnya. Jika ia membutuhkan biaya saat mereka harus mengumpulkan uang baik untuk tugas kelompok maupun acara sekolah, teman-temannya selalu saja memenuhi kewajibannya yang tak bisa ia penuhi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status