Rasa rindu dan khawatir seketika menghampiri Vian. Pria itu kini tengah merindukan sosok yang tak pernah ia temui, setelah ia menelepon putri semata wayang Ami.
Rasa khawatir Vian begitu besar, setelah ia mendengar semua curahan hati gadis itu. “Gimana keadaan nak Reina sekarang, ya?” tanya Vian penuh kekhawatiran.
Vian menghembuskan nafasnya kasar, “Pasti dia sedih sekali.” Vian terus saja memikirkan keadaan Reina, setelah mendengar s
“Semoga kamu sama bunda kamu bisa cepat baikan ya, nak.” Vian mendoakan agar Reina dan sang bunda bisa segera berbaikan.
“Semua karena hanya salah paham.” Begitu kalimat itu terucap, pria itu langsung teringat pada pertemuannya dan Ami.
“Ami, kenapa kamu malah ninggalin aku? Apa kamu tahu, betapa sulitnya hidup aku tanpa kamu?” batin Vian.
“Apa kamu tahu seberapa keras aku berusaha supaya bisa ketemu sama kamu dan anak kita?”
“Andai kamu tahu, Ami. Betapa rindunya diriku pada anakku.” Tetes
“Tunggu papa, nak. Sebentar lagi kita pasti bisa bertemu,” gumam Vian sambil mengendarai mobilnya menuju pemakaman.Dengan penuh harapan, Vian melaju secepat mungkin menuju pemakaman. Ia berharap pemakaman tersebut dapat memberikannya petunjuk, agar ia bisa secepatnya berjumpa dengan sang buah hati yang telah lama dirindukannya.Setelah menempuh jarak yang cukup jauh., Vian pun kini t’lah tiba di pemakaman tersebut. “Semoga ada petunjuk,” ujar Vian bergegas menuju makam di mana ia dan Ami bertemu.Flash back“Apa kamu lihat makam di belakang kamu?” tanya Ami pada sang mantan suami. Vian pun memalingkan wajahnya dan melihat makam itu.Vian kembali menatap wajah sang mantan istri, setelah memperhatikan makam itu. “Kamu lihat dengan jelas, kan?!”“Makam yang ada di belakang kamu ini, makam yang selalu dikunjungi anakku.”“Jadi kamu gak usah berharap apa pun lagi. Karena anakku udah gak punya sosok orang tua lain, selain aku.”Flash back off “Ami, aku minta maaf. Karena sampai kapan pun,
“Yandi...” teriakan Yena menggelegar di seluruh ruangan. Namun, wanita itu sama sekali tak mendapat jawaban.“Yandi! Kamu udah tuli, ya!” teriak Yena dari ruang tamu.“Dasar anak gak tahu diuntung!”“Kamu itu tuli apa bisu, sih?!” teriak Yena geram.Saat Yena sibuk meneriaki putranya, justru pemilik nama yang terus diteriaki sedang asyik berbaring di atas kasurnya. “Apa-apaan, sih?! Gak capek apa teriak-teriak mulu,” celoteh Yandi.“Udah malam bukannya tidur, malah sibuk teriakin nama gue.”“Dikira gue bakalan nyahut gitu? Heh... malas banget gue. Mendingan gue tutup mata.... terus... tidur...” ucap Yandi dan segera memejamkan kedua matanya.Tok... tok...Baru saja remaja itu menutup kedua matanya, pintu kamar sudah berbunyi sangat keras. “Duh... siapa sih? Gak ada kerjaan banget. Gangguin orang tidur, aja!” “Malah kasar banget lagi ngetokin tuh pintu. Udah kek mau nyari maling, aja,” ucap Yandi kesal. Meski malas, Yandi berusaha mengumpulkan niatnya untuk bangkit dari tidur dan berg
Malam itu sebuah mobil berwarna hitam terparkir tak jauh dari kediaman Reina. Namun keberadaan mobil itu tak diketahui oleh sang gadis.“Kalian semua ke rumah gadis itu sekarang juga,” perintah seorang wanita melalui sambungan telepon dari dalam mobil hitam itu.“Sepertinya aku tak perlu menunggu lebih lama lagi. Karena kalau dipikir-pikir, aku capek juga gertak-gertak mereka.”“Mendingan aku langsung, aja. Jadi aku gak perlu buang-buang waktu dan tenaga aku karena harus terus-menerus ngulur waktu dan tenaga buat gertak mereka.”“Kalau kayak begini, aku kan bisa segera nikmatin pertunjukkan. Dan aku juga bisa segera dapatin apa yang aku mau.”“Hahaha...” Wanita itu sangat bahagia saat membayangkan semua yang akan dinikmatinya. Ia tertawa bahagia di dalam mobilnya sambil menunggu pertunjukkan dimulai.Setelah wanita itu tertawa bahagia, tak lama sekelompok pria berb
Reina dan sang bunda kini berada di pemakaman. Keduanya duduk sambil menatapi nisan sang ayah. Melihat putrinya yang menatap nisan tersebut dengan penuh makna, membuat Ami merasa sangat bersalah. Namun, ia tak ingin memberitahukan pada putrinya bahwa makam itu adalah makam palsu, dan kebenaran tentang ayahnya. Meski merasa bersalah, Ami tetap memilih untuk menyimpan semua rahasia itu. Ia ingin semua rahasia itu terkubur selamanya. Walau berarti sang putri tak akan memiliki sosok ayah lagi selamanya. “Nak,kita pulang sekarang, yuk,” ajak Ami. Seketika Reina menjadi panik mendengar ajakan sang bunda. Ia berusaha keras memikirkan cara agar bisa menghalangi bundanya untuk pulang ke rumah. “Eh... bunda, eh... aku masih mau di sini bentar lagi. Boleh ya, bunda?” Karena belum mendapatkan ide, Reina berusaha menahan sang bunda bersama, sambik ia memikir cara lain. “Duh... mikir Reina, mikir...” “Gimana kalau sampai bunda ke rumah? Bunda pasti bakalan tahu kalau aku gak baik-baik, aja. Bun
Hati Reina merasa lebih lega ketika sang bunda harus kembali bekerja lagi. Bukannya ia tak menyukai kehadiran sang bunda, tetapi ia tak ingin sang bunda mengetahui apa yang telah dialaminya.“Halo. Yandi, hari ini kamu sibuk gak?” Reina menghubungi Yandi setelah sang bunda sudah tak bersamanya lagi.“Gak. Ada apa?” tanya Yandi.“Eh... ini gue mau minta tolong. Bisa gak?” tanya Reina sedikit ragu. Ia merasa tak enak hati, jika mengganggu waktu temannya.“Bisa, bisa. Entar pulang gue langsung ke rumah. Tunggu bentar, ya. Tinggal satu MK* lagi nih. Habis itu gue langsung ke sana,” ujar Yandi. (*Mata Kuliah)“Oke. Makasih banyak, Yandi.” Setelah mengakhiri pembicaraan mereka, Reina segera kembali ke rumah.Setibanya di kediamannya, Reina segera membersihkan pecahan-pecahan kaca dengan hati-hati. Gadis itu membersihkan kamarnya dengan sangat hati-hati, agar dirinya tak terluka. Sehin
Malam telah tiba dan Reina semakin diselimuti rasa takut. Kini seluruh tubuh gadis itu gemetar, bukan karena dingin udara malam melainkan karena rasa takutnya.Firasat Reina semakin kuat, ia sampai membayangkan segala hal buruk menimpanya. Namun, gadis itu tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ia tak mungkin menghubungi kepolisian, karena tak terjadi apa pun pada dirinya. Ia tak mungkin juga menghubungi sang bunda, karena tak ingin merepotkan bundanya yang pasti sedang kelelahan karena bekerja seharian. Kini Reina hanya mengirimi pesa pada Vian, papi Rein. Sayangnya pria itu belum membalas pesan singkat dari gadis itu. Karena rasa takutnya yang tak tertahankan lagi, Reina akhirnya memutuskan untuk menghubungi Yandi, tetapi Yandi tak menjawab satu pun panggilan darinya. Kini yang bisa dilakukan Reina hanya berdoa. Gadis itu bahkan hanya bersembunyi di dalam lemari pakaiannya, dan sambil berdoa pada Yang Maha Kuasa menyerahkan semua rasa takutnya. ***
“Tadi itu kurang memuaskan.” Wajah Yena terlihat sangat kesal. Ia menatap tajam para anak buahnya yang tak memberikannya pertunjukkan yang memuaskan. “I have to promise that i’ll pay all of you....” Wanita itu tak menyelesaikan kalimatnya dan menatap salah satu pria. Ia adalah pria berbadan besar dan sangat kekar yang mengangkat seorang gadis, hanya dengan memegang wajahnya. “Nyonya akan memberikan kami bayaran sesuai dengan hasil pertunjukannya,” ujar pria berbadan kekar itu. “Yes. Sangat amat tepat.” “But why? Why? Kenapa pertunjukkannya malah membosankan!” Yena tak terima dengan pertunjukan yang baru saja ditontonnya. Ia kesal karena telah menantikan pertunjukan yang luar biasa, namun yang semuanya di luar ekspetasinya. “Tapi kami telah memberikan yang terbaik. Hanya saja nyonya tak ada di tempat pertunjukkan sebelumnya,” jawab pria berbadan kekar. “Kan saya sudah bilang, jangan buat pertunjukkan itu di rumah! Buat di tempat lain! Lalu kenapa kalian buat di sana?!” “Kalian ng
“Yandi!” teriak Yudi mengejutkan Yandi, hingga membuatnya tersadar dari tidurnya.“Kamu ngapain tidur-tiduran di meja makan?!” tanya Yudi kesal.“Ya habisnya papa sama mama kelamaan, kan aku bosan jadinya. Daripada bosan, mending aku tidur aja sekalian,” jawab Yandi santai.“Kamu pikir mama sama papa lagi main tadi?” tanya Yudi kesal namun tak dihiraukan Yandi. “Mana Yeri?” Yudi baru tersadar jika putra bungsunya sudah tak berada di meja makan bersama mereka lagi.“Ya mana aku tahu. Lagi tidur kali, atau nonton, atau ke kamar mandi kali,” sahut Yandi. “lagian ngapain nanya ke aku? Emangnya mata kau dilem ke badannya dia gitu? Kan enggak.”Jawaban Yandi semakin membuat papanya merasa frustasi. “Yeri! Yeri..!” teriak Yudi dan putra bungsunya pun segera menjawab panggilannya dari kejauhan.“Kamu dari mana aja?” tanya Yudi menantap tajam Yeri yang baru tiba di meja makan. “Maaf pa, tadi Yeri sakit perut,” ujar Yeri berbohong.“Duduk!” perintah Yudi dan Yeri pun segera kembali ke tempat du