Malam itu semuanya berakhir kacau balau. Rumah tangga Vian dan Nia kini berada di tengah ombak yang hebat, dan semuanya hanya tinggal menunggu waktu. Sosok yang telah dicari-cari Vian telah ditemukannya. Pria itu kini telah menemui Ami dan Reina. Hanya tinggal menunggu waktu, Vian pasti akan segera kembali kepada Ami, wanita yang dicintainya sejak dulu. Nia kini hanya bisa terduduk lemah di lantai, sambil meratapi nasibnya. Tubuh wanita itu terasa begitu lemah, setelah Vian beranjak pergi meninggalkannya. Nia merasa sangat takut. Wanita itu takut, jika ia harus kehilangan Vian. Kini ia hanya bisa berharap agar sang suami tak memilih untuk pergi meninggalkannya, dan kembali kepada Ami lagi.Sementara itu, Reina masih tak percaya dengan semua yang didengarnya. Gadis itu masih kesulitan mencerna semua yang telah didengarnya. “Bunda, kenapa bunda? Kenapa bunda bilang ayah udah gak ada?”Ada begitu banyak pertanyaan dalam kepala Reina. Gadis itu pun hanya duduk di bawah sinar bulan, sam
Sekujur tubuh Ami terasa lemah. Ia masih tak bisa menyangka dengan semua katak yang keluar dari mulut Yena. “Reina... bunda harusnya jagain kamu dari waktu itu. Maafin bunda, ini salah bunda.” Air mata Ami yang sedari tadi tertahan, kini tertumpahkah semuanya. Wanita itu menangis dalam diam sambil memikirkan putrinya. Hatinya terasa sangat sakit, saat mengetahui semua kronologi dari kejadian yang menimpa putrinya.Ami berpaling meninggalkan pekerjaannya. Ia tak bisa melanjutkan pekerjaannya setelah mendengarkan semua perkataan Yena. Ia berbalik dan segera menuju kamar tidurnya.Tak beberapa lama setelah Ami meninggalkan dapur, Yandi segera menuju dapur secepat mungkin dan mengambil benda-bendanya, dan menyembunyikan ke dalam ranselnya. Setelah mengambil semuanya, ia segera berlari kembali menuju kamarnya dan menguncinya. “Bagus, gue dapat buktinya,” gumam Yandi. “Sekarang aku harus bisa ngehindarin orang-orang mama, and do the next step.” Penjagaan Yandi kali ini tak seketat hari-h
Amarah membakar habis diri Yudi. Ia kembali ke rumahnya dengan api amarah yang membara. “Yandi!” teriak Yudi dari ruang depan. “Yandi yang mendengar teriakan Yudi pun segera berlari menemuinya. “Iya, pa,” jawab Yandi dengan suara yang bergetar.Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi Yandi, tanpa sepatah kata apa pun. Yudi tak menjawab pertanyaan Yandi, dan langsung melayangkan tangannya pada Yandi. “Kamu benar-benar jadi anak kurang ajar yang gak tahu diri!” teriak Yudi dan melayangkan satu tamparan lagi pada pipi putranya.“Kamu tahu gak, kalau apa yang kamu perbuat bisa merusak nama keluarga ini! Kamu bakal bikin nama keluarga kita jadi tercoreng!” ujar Yudi dan melayangkan tangannya ke atas pipi Yandi sekali lagi. Emosi yang membara pada Yudi, bukan dikarenakan ia merasa sedih karena istrinya harus mendekam di dalam penjara. Semua emosi yang meluap-luap itu, dikarenakan sebuah gengsi.“Kamu itu udah ngahancurin nama baik keluarga kamu sendiri!” Setiap kali Yidi menyelesaikan
Nia dan Reina kini daling berhadap-hadapan di depan kamar gadis itu. Keduanya saling berdiri berhadapan, dan menatap satu sama lain. “Ehm... tapi tante, gimana dengan om Vian? Aku takut om Vian marah kalau aku keluar dari rumah ini,” ujar Reina beralasan.“Tapi Reina, apa kamu gak kasihan sama anak saya? Apa kamu gak kasihan lihat keadaan rumah tangga aku?” tanya Nia sengaja membuat Reina merasa tak enak hati. Malam ini Nia sudah bertekad untuk mengusir Reina. Apa pun yang terjadi, ia harus menggunakan kesempatan ini sebelum suaminya kembali ke rumah. “Apa kamu setega itu sama keluarga saya? Apa kamu mau ngehancurin keluarga saya?” tanya Nia terus mendesak Reina.Semua perkataan Nia membuat Reina merasa sangat tak enak hati. Ia memang merasa sangat bersalah, karena semenjak kehadirannya kedua suami istri itu selalu saja berdebat, hingga berakhir dengan pertengkaran. Rein pun terus-terusan meminta Vian untuk mengusirnya, hingga membuat Vian memarahinya. Namun, ia masih harus tetap tin
Hari terus berganti dan suasana rumah Vian semakin memburuk. Satu petunjuk pun tak ditemukan Reina lagi, selama ia berada di rumah Vian. Suasana yang semakin memburuk, membuat Reina berencana untuk segera meninggalkan rumah itu.“Udahlah, gak ada petunjuk apa pun juga selama gue tinggal di sini. Malahan suasana rumah ini yang makin gak enak. Gue jadi merasa bersalah sama Rein ama tante Nia,” pikir Reina sembari merapikan tempat tidurnya. Hari ini, seperti biasanya Reina menjenguk Yandi. Ia mulai merapikan kamarnya, dan segera bersiap untuk berangkat ke rumah sakit. “Oke, sebentar pas pulang gue ngomong aja ke om Vian.” Reina berencana memberitahu Vian, bahwa ia akan pulang ke rumahnya hari ini. Namun, ia berencana memberitahu pada Vian, saat ia menjemputnya dari rumah sakit.Setelah selesai bersiap, Reina segera berangkat bersama Vian. Keduanya berangkat, setelah Nia berangkat bekerja dan Rein pergi ke kampus. ***************Setibanya Reina di rumah sakit, Andi, Agus, Doni dan Rin
Air mata Rrina kini terjatuh tak tertahankan lagi. Gadis itu kini meluapkan semua hal yang sudah dipendamnya selama ini. Semua rasa bersalahnya pada sahabatnya Rein dan juga Yandi, orang yang ia sukai.Reina bahkan juga menceritakan bagaimana saat Ami merespons masalahnya dengan Rein. Ia juga menceritakan pada Yandi, betapa sedihnya ia melihat Rein yang pernah menjadi sahabatnya, kini sangat membencinya.Yandi yang terbaring lemah pun hanya bisa menggenggam erat tangan Reina dan menenangkan gadis itu. Ia mengelus pelan tangan gadis itu, dan menenangkannya. Seketika Reina tersadar bahwa ia sedang bersama dengan Yandi yang sedang terbaring lemah. “Eh... maaf. Gu—gue malah bikin nangis-nangis di depan lo, padahal lo lagi sakit,” ujar Reina merasa bersalah.“Gak papa. Gue malah senang kalau mau cerita semuanya ke gue. Gue gak ada masalah sama sekali, gue juga gak ngerasa terganggu. Malahan gue ngerasa senang, karena itu berarti lo percaya sama gue,” ucap Yandi lembut.Melihat air mata Re
Reina bergegas keluar rumah dan segera menemui bundanya. Saat dilihat Vian Reina sedang menuju ke arah pagar, Vian pun segera mengikuti gadis itu. Pria itu khawatir jika sesuatu terjadi lagi pada gadis itu.Rasa khawatir Vian, menuntunnya pada sesuatu hal yang tak terduga. Vian mendekati Reina dan menyamakan langkah kakinya. “Kamu mau ke mana ke mana sendirian, aja?” tanya Vian khawatir. “Oh... itu om. Hari ini bunda aku datang mau jemput aku, om,” jawab Reina ceria. Gadis itu berlagak seakan ia tak tahu apa pun. Ia bahkan mengajak Vian untuk menemui bundanya.Sesaat Vian sangat terkejut, saat Reina mengatakan bahwa bundanya ingin menjemputnya. “Ya udah, ayo,” ucap Vian bersemangat, dan keduanya pun berjalan bersama-sama hendak menemui Ami.Saat ini, Ami sedang menunggu putrinya sambil menutupi wajahnya. Ia takut, jika Vian atau Nia melihatnya berada di depan rumah mereka. Ami berniat untuk segera menjemput Reina dan membawa putri pulang bersamanya.“Bunda,” panggil Reina. Ami pun se
Semua teka-teki dari beribu pertanyaan di kepala Reina kini telah terpecahkan. Namun, ia tak menyangka jika semuanya sangat menyakitkan. Rasa sakit itu bukan hanya semata-mata karena kebohongan Ami. Semenjak mendengar pertengkaran Vian dan Nia, Reina sudah tahu bahwa selama ini Ami telah membohongi dirinya tentang ayahnya yang susah meninggal.Reina memang merasa kecewa dan sedih. Namun, setelah ia mendengar perdebatan bundanya dan Vian, ia merasa sangat sakit hati dengan sikap bundanya. Reina yang terlanjur sakit hati pun memilih untuk menjauh dari Vian dan Ami. Ia berlari sekuat mungkin menjauhi mereka, tanpa tahu ke mana ia harus terus berlari.Kaki Reina terus melangkah dan melangkah, dan tanpa sadar ia berlari menuju tempat yang tak asing. Ya, tempat itu adalah tempat yang sering dikunjunginya. Tanpa sadar, Reina terus melangkahkan kakinya menuju tempat pemakaman umum. Suatu tempat yang sering ia kunjungi, ketika ia merindukan sosok seorang ayah.“Ayah?” Tubuh Reina terasa lem