Langkahku terhenti tepat di bibir danau, menatap kosong beberapa mayat bawahan Paman Danial dan air yang menjadi saksi bisu perjuangan tak terhalau. Aku memang meninggalkan Axe sendiri di samping pohon sana, tapi aku tidak gila sampai benar – benar meninggalkan.
Atau kata lainnya, aku hanya ingin menenangkan perasaanku sejenak. Bagaimana pun tak ada yang bisa aku lakukan selain menunggu pria itu membuka mata.Bukan, bukan aku tidak peduli. Aku juga butuh waktu sendiri sekadar melepaskan rasa sesak yang terus menghantam dada. Perasaanku hancur melihat Axe lemah seperti itu, dia sama sekali bukan Axe yang aku kenal.Kalau memang pertanyaanku menambah sakit untuknya, aku berjanji tidak akan memberi beban pada Axe lagi. Ya, seharusnya aku bisa bersabar, tunggu sampai Axe benar – benar pulih dari kondisinya. Tapi lagi – lagi aku tak bisa menjaga rasa penasaranku, yang akhirnya menjadi bumerang bagi diriku sendiri.Sekarang aku harus menyesal memikirkan kecerobohanku yanYuk, jangan lupa vote dan komen😊
“It’s okay. Sekarang katakan berita apa yang kau bawa. Apa Edward baik – baik saja?”“I’m so sorry, Tuan. Edward ... dia terluka parah.” Takut – takut Alessandro menjawab pertanyaan Axe, sampai dia harus menunduk dalam tak berani menatap Axe yang menghunusnya tajam.“Apa maksudmu!” hardik Axe, matanya berkilat penuh amarah mendapat setengah informasi dari Alessandro.“Mereka menyiksanya dan sekarang Edward sedang ditangani dokter di rumah sakit, Tuan.”Jawaban Alessandro berhasil memancing Axe untuk mengumpat. Axe nyaris memukul pria malang tak bersalah itu, kalau saja aku tidak segera menahannya.Axe tak bisa seperti itu. Bukankah Alessandro sudah melakukan yang terbaik? Seharusnya Axe tidak menyalahkannya atas apa yang tidak dia lakukan. Alessandro terlambat menyelamatkan Edward juga karena dia lebih mengutamakan keselamatan tuannya, daripada perintah Axe itu sendiri.“Sudahlah, Axe. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.”“Tapi Edward—“
Aku menggeliat dalam tidur tatkala merasakan kehilangan begitu lekat di tubuhku, mataku terbuka memperhatikan langit – langit kamar VVIP dengan tatapan kosong menguasai.Di sini sepi, hanya aku sendiri ...Seingatku sebelum terlelap tadi, masih ada pelukan hangat yang melingkar sempurna. Tapi sekarang hilangnya rengkuhan itu menciptakan dingin tak tersentuh, aku merasa hampa dan perasaanku tanpa bisa ditahan tergores cemas tak beralasan. Mungkin karena aku tidak mendapati kehadiran Axe di sini.Axe ...Jangan tanya dia di mana, aku tidak tahu. Ketidakhadirannya sudah membuktikan bahwa pria licik itu pergi dengan memanfaatkan kondisi tidurku yang terasa sebentar.Sifat keras kepala Axe naik satu tingkat lebih parah, hingga segala cara dihalalkan demi menuntaskan tujuannya. Aku memang tidak tahu apa yang ingin Axe lakukan di luar sana, tapi firasatku mengatakan dia akan melakukan hal buruk.Ntahlah, aku hanya bisa berharap hal itu tidak benar. Aku t
Tak mau bermuluk – muluk dan berangan terlalu jauh, sesegera mungkin aku menarik tirai hingga sesuatu yang tak pernah kubayangkan terpampang begitu nyata di hadapanku. Sesuatu yang begitu menyakitkan, sesuatu yang membuatku kecewa, sesuatu yang memaksa perasaanku hancur menjadi keping – keping ...Yakni sebilah pisau penuh darah berada di tangan Axe dengan seorang pria tengah berbaring dalam keadaan sadar, juga berdarah – darah, sedang memekik kesakitan dan meminta ampun pada pria yang sedang menatapnya dingin.“Ax—Axe.”Suaraku sampai terputus – putus memanggil sekaligus menyadarkan Axe dari apa yang dia lakukan, tapi Axe tetap fokus pada kegiatannya tanpa menoleh sedikit pun padaku.Pria itu benar – benar bertindak seperti seorang psikopat berdarah dingin, tidak ada ekspresi apa pun ketika dia mengoreskan mata pisau dari tangannya pada pria malang yang saat ini menjadi korban.Goresan dan cucuran darah terus mengalir dari luka terbuka di perut bagian baw
Aku duduk termangu di atas blankar tanpa melakukan apa pun sejak satu jam kepergian Axe. Sepi, hening, dan kosong kurasakan saat memikirkan permasalahan hidupku yang tanpa sadar sudah membawaku sejauh ini—pengalaman yang begitu dramatis serta tak ternilai harganya.Jujur, tak pernah kubayangkan hari pernikahanku akan menjadi hari terburuk di dalam hidup, hingga harus melewati pelbagai macam rintangan menyedihkan. Terutama saat aku nyaris kehilangan nyawa, sekaligus nyaris kehilangann Axe. Sungguh, semua benar – benar terasa mengancam dada. Untuk kembali mengingatnya saja hatiku terasa dicabik menjadi butir – butir kecil.Dan Axe ...Jangan tanyakan pria itu padaku, aku tak mau rasa rinduku semakin menjadi – jadi. Ya, semakin aku terus memikirkan permasalahanku bersamanya, rasa ingin bertemu tiba – tiba mencuak ke permukaan. Harusnya aku sadar bahwa tadi aku yang memintanya pergi, sekarang tidak bisa kusalahkan dirinya karena tidak berada di sampingku.Sudahla
“Aku bisa sendiri, Bridgette.”Berulang kali Axe ingin mengambil alih handuk di tanganku, tapi aku tetap menolak dengan mengangkat tinggi benda tersebut agar Axe tak bisa meraihnya. Posisi Axe saat ini kupaksa duduk di kursi agar aku bisa mengeringkan rambut basahnya. Salahnya sendiri saat aku sibuk mengeringkan diri, dia masih berkeluyuran ntah melakukan apa di luar bersama Alessandro.Perkara handuk yang sedang kupakai. Kuakui Axe sendiri yang berinisiatif pergi berbelanja beberapa kebutuhan seperti pakaian ganti dan apa pun itu yang berhubungan dengan kebutuhan pribadi. Nah, dari situ, setelah membawakan barang belanjaannya dalam keadaan basah kuyup, dia terburu – buru pergi dan memintaku membersihkan diri untuk beristirahat.Pria egois itu tak sadar bahwa aku sudah mewanti – wanti kehadirannya dengan merencanakan sesuatu seperti yang saat ini kulakukan. Dia tak akan bisa pergi lagi seperti tadi, aku akan mencegahnya dengan cara mengancamnya.“Aku bisa sendiri,
“Ms. Xandersis.”Suara tak asing dari belakang menghentikan gerakan menekan knop pintu kamar. Aku menoleh dan sedikit tak percaya melihat Mr. O’Connor berdiri tidak jauh dari posisiku. Tapi yang tidak aku mengerti, mengapa dia ada di sini? Apa dia tahu masalah yang kami hadapi?“Apa Xelle bersamamu?”Aku terlalu kaget hingga tak sadar Mr. O’Connor sudah berada tepat di hadapanku. Oh, dia datang ke sini untuk mencari Axe, mungkin ada hal penting yang ingin dia bicarakan sampai meluangkan waktu sibuknya demi menemui Axe.Sesaat aku mengerjap menetralkan ekspresi wajahku, kemudian mengangguk sebagai jawaban. Sedari tadi Axe memang berada di dalam kamar, tapi secara tidak langsung dia ada bersamaku. Aku yang selalu berada di sampingnya belakangan ini, tidak salah mengapa Mr. O’Connor mencari Axe melaluiku lebih dulu.“Bisakah panggilkan dia untukku?”“Ya, Sir, sure,” ucapku singkat.Setelah itu dengan cepat kulanjutkan tindakanku yang tertunda. God! Napa
“Berbaringlah, Axe,” ucapku sembari menepuk pahaku pelan.Aku mendesah pasrah melihat Axe terus berjalan mondar mandir di tempat sambil sesekali menatap ke arah Edward yang masih setia memejamkan mata. Padahal dokter sudah mengatakan padanya bahwa kemungkinan besar Edward siuman nanti sore, masih ada beberapa jam lagi baginya untuk bersabar. Namun Axe sepertinya tidak peduli perkataan dokter, bahkan dia juga mengabaikan bujukanku.Dia masih begitu fokus pada Edward, meski sesekali aku mendengarnya mengembuskan napas kasar. Aku ingin membujuk Axe lagi, tapi melihatnya sedang kalut, kuurungkan niatku dan memlih bangkit dari sofa yang kududuki.Tanganku bergerak menepuk bahu Axe pelan dan tersenyum saat dia memberikan perhatian padaku. Saat ini aku ingin pamit pergi ke kafetaria, tenggorokanku terasa kering apalagi ketika mendengar penjelasan Axe mengenai Mr. Hero selama di perjalanan menuju ruang rawat inap Edward.“Aku mau beli minum. Mau nitip sesuatu?”Pertanya
“Are you f*cking kidding me? What the hell is this?” tanya Axe menatap tak percaya hasil daripada isi tulisan yang tertera pada kertas di tangannya.Aku juga tak bisa bohong bahwasannya fakta yang baru saja kami terima memukul telak kenyataan yang selama ini kami percaya. Benarkah nama Axe dan Mr. O’Connor yang tertera di sana, serta result ‘positif’ yang dicetak tebal merupakan bagian dari perjalanan baru kami?Ya, hasil tes tersebut menyatakan kecocokan DNA antara Axe dan Mr. O’Connor. Namun, yang tidak kumengerti mengapa Mr. O’Connor tiba – tiba melakukan hal tersebut tanpa memberitahukan orang yang terlibat, Axe. Maksudku, sejak kapan dia merencanakan kegiatan diam – diam ini? Apa sampel darah Axe yang dimintanya pada Dokter Arnold waktu itu, seingatku, adalah kesimpulan paling tepat yang bisa aku ambil sekarang?“Aku tidak mau bertele – tele. What you’ve seen on the paper is true, kau putraku. Putra yang kukira sudah tiada sejak pertama dilahirkan.”Mr. O’Connor men