Pintu diketuk dari luar. Axe langsung tersenyum miring padaku lalu bangun dan membukakan pintu untuk tamunya. Mereka sempat berbicara sebentar sebelum akhirnya Axe mempersilakan orang itu masuk ke dalam kamar. Tak lupa dia mengunci pintu rapat – rapat. Mataku membola begitu mengetahui seseorang yang dipanggil kemari adalah Edward. Tampak Edward menunduk patuh pada tuannya.
Bugh! Pekikanku keluar begitu melihat Edward menunduk menahan sakit. Axe memukulinya tepat di bagian perut.Bugh! Lagi. Axe kembali melancarkan aksinya di depanku. Kulihat Edward terbatuk menahan sakit yang Axe berikan. Axe memang sudah gila. Bawahan sebaik Edward tidak seharusnya dihajar tanpa alasan.“Now is my turn. Do the same way, right over here!” Edward menggeleng cepat saat Axe menunjuk perut bagian kirinya sebagai tempat untuk Edward berikan pukulan balasan.“No, Tuan. Saya tidak bis—akh!” Edward meringis sakit saat Axe kembali memukulnya.“Lakukan atau kau kupecat!” ancam Axe penu“Ada apa, kenapa kau menatapku begitu?” tanyaku spontan. Suasana makan malam mendadak suram. Diiringi tatapan tajam yang sedari tadi menghunus ke arahku. Aku tidak merasa berbuat salah padanya. Tapi sorot matanya jelas mengatakan sesuatu yang berbeda.“You owe me!” Suara serak dan dalam Axe membuatku berpikir.Seharusnya itu yang aku katakan padanya. Aku tidak berhutang apa pun pada Axe. Dia-lah yang berhutang jawaban padaku.I know you were here. Ucapannya masih tergiang jelas di kepalaku. Bagaimana dia tahu keberadaanku waktu itu. Dan soal kebetulan kemarin, yang mana ternyata Morine adalah ibu angkatnya sungguh terasa sulit untukku terima. Apa waktu itu Axe sudah merencanakan sesuatu untukku?Aku meletakkan sendok dan garpu di atas piring dengan keras, membiarkan ketiga benda itu kompak menghasilkan bunyi. Aku menatap lurus ke arah Axe yang masih setia melihat setiap gerakanku.“You owe me the most,” kataku akhirnya. Membuat pria yang sedari tadi bersamaku tergelak
Sudah seminggu aku kembali ke tempat ini, sangkar yang menjadi tempatku berlindung sekaligus terluka. Meski hubunganku dan Axe sedikit lebih baik. Tapi kadang – kadang aku tetap menyimpan rasa tak suka padanya. Dia masih sering menyentuhku terhitung sejak terakhir insiden hukuman yang dia berikan padaku. Aku tak berusaha mencegahnya seperti dulu. Axe sangat keras kepala. Aku tak mampu menyadarkannya. Terus menolaknya juga membuatku lelah. Aku adalah pionnya, dia yang mengatur dan menguasai langkahku. Aku seperti tak punya hak untuk hidupku sendiri tepat saat aku melihatnya membanting barang – barangku.Flashback on.“Bisakah kau kembalikan ponselku, Axe. Aku mohon. Aku sudah menuruti semua keinginanmu.” Aku memohon padanya ntah untuk yang ke berapa kali. Aku ingin ponselku, itu saja. Tapi Axe hanya fokus pada monitor tv di depannya. Dia tidak memedulikanku yang saat itu berharap dia akan berubah pikiran setelah cukup lama menahan benda penting milik
“What’s going on, Axe?” Aku kembali mencecarnya dengan pertanyaan saat kami akhirnya tiba di mansion besar miliknya. Selama perjalanan pria itu hanya diam. Sesekali aku melihat tangannya gemetar tanpa alasan.“You act weird.”Masih tidak ada jawaban darinya. Axe hanya duduk diam di meja bar. Aku yakin pikirannya sedang menerawang jauh. Melihatnya seperti itu kepalaku terasa semakin pusing. Ntahlah, di saat dia menarikku berlari dan selama di perjalanan menuju pulang aku merasa tidak enak badan. Kadang – kadang merasa mual, tetapi masih bisa menahannya dengan baik. Namun melihat situasi Axe yang tidak seperti biasa, aku rasa aku butuh sesuatu yang bisa membuatku nyaman. Aku butuh istirahat.Baru beberapa langkah, aku merasa seperti dilempari sebuah batu besar di atas kepalaku, yang membuatnya terasa semakin berat. Pandanganku menjadi kabur. Samar – samar aku masih bisa melihat Axe yang tetap diam di tempatnya. Tanganku berusaha meraih bahu lesuhnya. Sayangnya, di saat
“Apa yang kau lakukan, Axe?” tanyaku penasaran. Sedari pagi aku melihatnya sibuk dengan urusannya sendiri di salah satu ruangan kosong di mansion besar miliknya.“Merenovasi tempat ini menjadi kamar,” jawabnya sembari sibuk mengecat.“For our baby,” lanjutnya semangat. Aku tidak percaya bahwa pria sepertinya akan seantusias ini menjadi seorang ayah. Karena kadang – kadang Axe terlalu labil, sikapnya bisa berubah secara drastis dan tak bisa ditebak. Dia juga bisa begitu emosional terhadapku.“Bukankah ini terlalu cepat? kandunganku baru 6 minggu.” Aku menatap punggung yang basah oleh keringat itu. Sepertinya pendingin ruangan di sini tak mampu bersaing dengan semangatnya yang bergelora. Dasar manusia posessif. Aku bahkan masih ingat bagaimana tiba – tiba dia menyewa dokter kandungan wanita untukku, hanya karena tak ingin Dokter Arnold yang memeriksaku. Oh. Dia cemburu dengan dokter pribadinya sendiri. Ta
Sejak kejadian kemarin. Akhirnya aku berhasil membujuk Axe untuk mengizinkanku tinggal bersamanya di penthouse-nya. Meskipun agak terpaksa, tapi Axe tetap mengiyakan. Dia memberiku syarat untuk tidak berusaha melarikan diri lagi darinya. Aku tidak akan melakukannya jika dia terus bersikap lembut padaku. Namun, untuk syarat lainnya di mana aku harus terus berada di kamarku, aku tidak yakin. Karena satu – satunya alasan aku ingin menetap di penthouse-nya agar aku bisa bebas keluar masuk melakukan apa pun yang aku mau. Termasuk mencari tahu beberapa hal yang tidak aku ketahui tentang pria itu.Saat ini aku sudah berada di pusat pembelanjaan tanpa sepengetahuan Axe. Membeli ponsel baru untukku. Tentu saja aku akan menghubungi mom nanti. Aku ingin tahu detail peristiwa lainnya tentang perjanjian itu, perjanjian hitam di atas putih yang melibatkan Axe hingga pria itu harus tinggal jauh dari kami dalam kurung waktu cukup lama.“Hai, Bridgette. Long time no see.&
Aku membuka mata pelan. Kepalaku terasa pening setelah berusaha mengingat kejadian di penthouse Axe. Dua orang pria asing berpenampilan seram menatapku sinis. Mereka mengancamku hingga berdiri di sudut lift penuh ketakutan. Aku sempat melihat mereka tersenyum miring sebelum akhirnya tidak sadarkan diri, dan ketika aku terbangun. Aku menyadari tangan dan kakiku terikat di atas sebuah blankar berkarat. Langit – langit di ruangan ini juga terlihat tak terawat. Beberapa kotoran dan warna usang di dinding menandakan aku berada di sebuah bangunan tak terpakai. Apa Axe menculikku sampai di sini? Why?Aku terhentak dari pikiran kosongku saat mendengar suara derap kaki beberapa orang mulai mendekat. Napasku menderu waspada ketika pintu itu terdobrak keras, menampilan beberapa orang dengan topeng menutup wajah mereka. Salah satu dari mereka mengangkat daguku kasar. Mata cokelat kelamnya menatap penuh dendam padaku.“This is my luck. Aku sudah lama menanti hal ini. Take my revenge to him
“Axe, awas. Akh!”Aku berteriak disusul rasa sakit yang mencengkram di perutku. Sesaat kulihat Axe berhasil menghindari peluru Gorson dengan menjadikan salah satu lawannya sebagai tameng. Gorson salah jika dia berpikir Axe menjadi lemah ketika kelemahan pria itu dilukai olehnya. Sebaliknya kelemahan itulah yang membuat Axe bisa setangguh ini. Terhitung semua pasukan bertopeng Gorson habis dibabat olehnya. Hanya tersisa Gorson yang terbaring lemah dengan keadaan babak belur oleh Axe dan wanita angkuh itu yang sudah meninggalkan tempat ini saat kekacauan terjadi.Dengan tertatih Axe berjalan menghampiriku. Sesekali tubuh Axe terlihat sempoyongan sambil memegang perutnya. “It’s alright. Kalian akan baik – baik saja,” ujarnya lemah sambil melepaskan ikatan di tangan dan kakiku.“Aku bisa sendiri,” ucapku saat Axe bersiap akan mengangkat tubuhku. Dia sudah terluka parah. Tidak mungkin aku membiarkannya menahan berat tub
“Apa mom boleh bertanya sesuatu padamu?” tanyanya dengan suara tertahan.Peralihan topik, pikirku. Tapi aku tetap mengangguk, meskipun ragu. Berharap bukan pertanyaan sulit yang akan kuterima.“Siapa yang menghamilimu?”Boom! Kepalaku terasa seperti disiram air panas mendengar pertanyaan mom. Apa yang harus kukatakan padanya sekarang? Aku tak mungkin berkata jujur padanya. Dia akan kecewa, bukan hanya padaku tapi juga pada Axe. Bahkan pada dirinya sendiri.“Aku tidak tahu, mom. Aku diperkosa, pelakunya pergi meninggalkanku begitu saja.” Aku menatap lurus ke depan. Tidak tahu kenapa kebohongan meluncur dengan sempurna dari bibirku.“Kau yakin, honey?” tanya mom memastikan. Aku mengangguk pelan. Kurasa mom tahu aku berbohong. Tapi dia hanya diam membiarkan kebohongan itu berjalan dengan semestinya. Mungkin dia sadar aku butuh istirahat dari pikiran buruk yang menghantui.“Baiklah. Sekarang sebaiknya ka