Setelah nama anak Aldo dan Ayu diumumkan, Rianti segera membuka acara penyambutan kepulangan Ayu dan cucunya dibantu oleh Diana.Diana tidak pernah menyangka bahwa secepat ini Ayu sudah memiliki buah hati sama seperti dirinya. Namun yang pasti, Diana sangat senang namun juga khawatir Pasalnya usia Ayu masih tergolong muda.Diana khawatir, Ayu belum sepenuhnya siap hidup sebagai seorang ibu."Bu, bagaimana jika kita carikan Ayu orang yang bisa membantunya di rumah?" Diana memulai obrolan dengan Rianti yang tampak sibuk menata kamar Ayu dan Aldo.Rianti terdiam tertegun beberapa saat lalu kemudian menoleh ke arah Diana yang duduk di bibir ranjang Aldo dan Ayu."Kenapa Nyonya berpikir begitu? Apakah Nyonya ragu dengan saya? Saya rasa, saya bisa membantu Ayu." Rianti tampaknya tidak memahami apa yang Diana pikirkan."Jangan salah paham, Bu. Maksud saya, agar Ibu dan Ayu tidak terlalu lelah, alangkah lebih baik kalau kita mencari orang yang bisa membantu di rumah. Mengurus seorang bayi jau
Diana, Michel, Nathan dan Talia menuju ke rumah Aldo. Namun sebelum itu, mereka akan menunggu Doni di sebuah tempat."Dasar anak itu, membuatku kesal saja. Bukannya berkunjung ke rumah Aldo, dia malah sibuk mengejar sesuatu yang tak pasti," omel Diana menunggu Doni muncul."Apakah menurutmu aku harus menelponnya, Sayang?" Michel yang tidak tahan dengan omelan Diana berinisiatif untuk menghubungi Doni."Tidak perlu." Tolak Diana dengan wajah kesalnya. Untungnya Doni datang tidak dengan tangan kosong, atau Diana pasti akan mengamuk. Tanpa banyak bicara, Diana menyuruh Doni mengikuti mereka dan segera parkir.Dari raut wajah Diana, Doni sudah tau kalau Diana pasti marah padanya dan oleh sebab itu, Doni tidak boleh menyulut kakaknya lagi."Maaf Kak, aku terlambat. Soalnya tadi aku..." Belum lagi Doni selesai menjelaskan posisinya, Diana sudah berjalan meninggalkannya diikuti oleh Nathan dan Talia yang sudah terlihat lebih tinggi dari sebelumnya.Di dalam rumah Aldo."Kak Ayuuuuuu," sapa N
"Dokter Kania, ada tamu untuk dokter." Seorang petugas resepsionis mengabarkan Kania."Siapa, Sus?" Kania meletakkan kembali ponselnya yang tadinya hendak ia gunakan untuk menghubungi Doni."Namanya Pak Gavin, katanya beliau teman dokter."" Gavin? Baik, tolong bawa masuk, Sus." Kania mengingat-ingat nama yang baru saja didengarnya itu. Rasanya Kania tidak mempunyai teman yang bernama Gavin dan itu membuat Kania penasaran.Kania duduk di kursinya seperti biasa sembari menunggu Gavin. Begitu pintu ruangannya kembali terbuka, Kania segera bangkit untuk menyambut seseorang tamu tersebut."Hai, Dok." Sapa pria itu sedang Kania menyerngitkan dahinya bingung pasalnya Kania tidak mengenal pria itu."Ya, dengan siapa ya? Saya rasa, saya belum mengenal anda. Tapi kata perawat tadi, anda mengenal saya?" "Oh ya, saya minta maaf telah membuat Dokter Kania bingung. Sejujurnya, saya mengenal dokter dari salah satu teman saya yang juga bekerja di rumah sakit ini. Langsung saja, saya seorang dosen d
Skip Add....12 Tahun kemudian.Saat ini usia Nathan dan Talia menginjak 17 tahun dan saat ini mereka duduk di bangku kelas 11. Entah moment apa saja yang telah mereka jalani dan lalui tapi sikap kedua anak ini kian berubah menjadi lebih angkuh dan juga dingin hingga hal ini membuat Diana khawatir dan meminta Michel untuk menjemput kedua anak tersebut.Dalam sebulan ini, Diana dan Michel mendapat banyak laporan mengenai Nathan dan Talia. Hal baiknya, kedua anak ini selalu memegang peringkat juara umum tiap semesternya. Hal kurang baiknya adalah sikap kedua anak ini yang selalu bermusuhan dengan teman-teman mereka.Bukan hanya itu, namun Nathan dan Talia juga sering tertangkap sedang bertengkar. Seperti yang diduga, Nathan adalah orang yang selalu mengalah.Semua orang penasaran dengan apa yang terjadi dengan mereka. Mereka adalah anak yang baik, manis dan juga pintar. Namun belakangan ini, sikap mereka berubah drastis.Diana ingin tau apa yang terjadi pada kedua anaknya dan Diana haru
Nathan dan Talia sudah berdiri menunggu kedatangan Diana dan Michel di depan gerbang asrama mereka bersama dengan guru pendamping mereka. Dan ketika mobil Michel tiba, tanpa basa-basi Talia langsung saja membuka pintu kursi penumpang dan masuk.Sedang Nathan, Nathan memilih menunggu orang tuanya keluar dari dalam mobil untuk berpamitan dengan guru mereka. Jujur saja, Nathan tidak ingin dibenci oleh orang tuanya yang Nathan tau bukanlah orang tua kandungnya."Pa, Ma...." Sapa Nathan tersenyum ke arah Diana dan Michel yang kemudian memaksakan senyum mereka."Iya, Sayang. Pamitan sama Bu Linda, lalu masuk ke dalam mobil. Mama mau bicara sama Bu Linda. Oke?" Diana menyuruh Nathan masuk ke dalam mobil untuk menemani Talia."Oke, Ma." Nathan berusaha semaksimal mungkin untuk bersikap baik.Setelah Nathan dan Talia berada di dalam mobil, Diana sedikit mengobrol dengan guru pendamping mereka di asrama. Dari raut wajah Diana, terlihat jelas bahwa Diana merasa khawatir.Di dalam mobil, Talia te
"Talia juga tau soal Nathan. Mungkin dia juga sudah tau kalau dia bukan anak kandung kalian." Talia menatap kosong Nathan dan kemudian berlalu keluar dari kamarnya. Namun, sebelum ada yang mengejarnya, Talia berhenti sejenak dan menoleh, "Jangan ada yang mengikuti aku." Diana semakin menangisi dirinya sendiri sedang Michel menatap sedih punggung Talia yang mulai menjauh lalu netra Michel terperangkap dengan Nathan yang tampak kecewa.Tidak ingin terlihat menyedihkan, Nathan juga akhirnya memutuskan untuk pergi ke kamarnya dan menguncinya."Ini salahku, tapi lebih banyak salahmu, Michel." Rasanya Diana tidak dapat menerima kejadian kacau ini dan memilih untuk menyalahkan Michel.Sama seperti Talia dan Nathan, Diana akhirnya bangkit dan kemudian pergi dengan sengaja menabrak tubuh Michel.Hanya tersisa Michel dengan segala kepusingannya. "Sial!" umpatnya menendang angin.Michel harus mendatangi Diana lebih dulu untuk mencari jalan keluar bersama. Namun Diana terlihat tidak dapat diaja
Brakk!Michel membuka kasar pintu kamar Talia hingga Talia yang sedang duduk meringkuk di atas ranjangnya pun tersentak kaget namun juga takut pasalnya ini adalah kali pertama Michel marah kepadanya sampai seperti ini."Kenapa kamu harus sampai memukul saudaramu sendiri? Apa yang terjadi?" Michel melangkah masuk dengan langkah jenjang ke arah Talia yang kini terlihat ketakutan."Apa Papa dan Mama pernah mengajarkan kamu untuk memukul atau menyakiti orang lain? Hah?! Jawab Papa!" Bentak Michel berapi-api.Tubuh Talia bergetar hebat dan bibirnya seakan terkunci. Air matanya menetes deras membuat tanda di sekitar pipinya. Talia tidak sanggup untuk menjawab lagi kali ini."Kamu gak mau jawab Papa? Tatap mata Papa, Talia!" Bentaknya lagi dan kali ini suara itu berhasil membuat Talia menciut ketakutan sampai Diana datang dengan setengah berlari."Sudah, keluar. Biar aku yang bicara dengannya." Diana dengan sigap memeluk Talia dan mengusir Michel begitu melihat putrinya ketakutan hingga geme
Tidak ada ucapan apapun, tiba-tiba saja Talia bangkit dari kursinya dan mendekati kursi Nathan. Talia tanpa diminta mengambilkan Nathan makanan dan juga menuang jus untuk Nathan.Nathan sudah hafal dengan sikap Talia yang merasa bersalah ini, jadi Nathan hanya perlu diam memperhatikan apa yang akan Talia lakukan untuk meminta maaf."Terimakasih," ujar Nathan lembut dengan bumbu senyum sebagai pelengkap.Talia mengangguk lemah seraya memaksa senyum canggungnya. Bukan hanya untuk Nathan, Talia ternyata juga melakukan hal yang sama pada Michel. Bedanya Michel tidak merespon sedikitpun."Nath, soal tadi, aku minta maaf ya. Tadi, aku tuh lagi emosi banget, jadi aku mukul kamu. Kamu mau kan maafin aku?" Talia to the point."Aku akan maafin kamu kalau kamu mau janji sama aku." Balas Nathan cerdik seraya menikmati makanannya."Apa?" Talia menyipit mencari jawaban."Janji ya jangan kasar lagi sama Mama dan Papa. Jangan buat mereka sedih, ya?" Diana dan Michel sejenak saling pandang dan tersen