Kenapa harus Aira, Bu?" Xabiru bertanya saat Bu Laila memintanya untuk segera menikah dan orang yang dipilihkan 'tuk menjadi pasangannya, yaitu Aira, bukan Jasmin. Padahal saat ini ibunya tahu kalau dia sedang menjalin hubungan dengan Jasmin. Anehnya malah menjodohkannya dengan Aira–babysitter anaknya yang bahkan asal usulnya saja tidak jelas.
"Kamu sendiri tahu kan Jingga? Dia tidak bisa dekat dengan Jasmin. Malah dekatnya ke Aira."Xabiru tersenyum kecut."Tentu saja Jingga dekat dengan Aira, dia pengasuhnya sejak kecil. Wajar, Bu. Sedang Jasmin baru lagi mencoba pendekatan dan Ibu sendiri tahu kalau Jingga itu susah dekat sama orang lain selain kita." Xabiru mencoba membela Jasmin, wanita yang sudah dipacarinya sejak setahun silam."Nah, itu dia poinnya. Dekat sama Jingga. Kalau setahun saja dia susah mendekati Jingga, mau sampai kapan menunggunya? Ibu lihat juga tidak ada peningkatan. Lagi pula wajahnya tidak keibuan. Tidak seperti Aira yang masih sangat muda, tapi jiwa keibuannya sudah terpancar sejak ia merawat Aira." Mata Bu Laila berbinar saat menerawang sebuah momen saat melihat Aira mengasuh Jingga untuk pertama kalinya. Ia seperti melihat sosok Aurora–ibu kandung–Jingga pada diri Aira."Ibu terlalu mendramatisir. Terlalu memuji wanita itu setinggi langit. Kita belum mengenalnya dan Ibu bisa-bisanya meminta Xabiru untuk menikahi dia. Itu terlalu mengada-ada. Aneh, Bu." Nada bicara Xabiru sedikit keras. Ia mulai kesal dengan ucapan ibunya. Entah bagaimana wanita bernama Aira yang hanya seorang babysitter itu mampu meluluhkan hati ibunya. Sedang Jasmin yang bersusah payah mencoba dekat dengan ibunya terlihat kesulitan, Xabiru tahu ibunya menjaga jarak pada wanita tersebut."Itu kenyataan Ru, kamu saja yang menolak dari awal dan meremehkan dia. Soal masa lalunya yang hanya anak panti yang tak jelas orangtuanya, Ibu tidak mempermasalahkan. Bukan salah dia terlahir dari orangtua yang tega meninggalkannya di sana. Namun lihat dia sekarang, kita butuh sosok Aira untuk perkembang tumbuh Jingga. Sosok yang baik, lemah lembut, penyayang, penyabar, dan mampu mengajarkan nilai-nilai kehidupan pada Jingga. Ngajarin solat, itu poin yang penting, Ru, dan semua telah dilakukan Aira. Please Nak, dengarkan Ibu kali ini saja. Percayalah sama insting Ibu. Feeling seorang Ibu itu jarang meleset." Xabiru hanya mampu mengembuskan napas panjang menanggapi permohonan ibunya. Ini sudah pembicaraan mereka kesekian kalinya dengan pembahasan yang sama, dan dengan permintaan yang sama pula."Bagaimana dengan Jasmin, Bu? Dia pasti marah besar kalau akhirnya Biru menikahi wanita lain dan bukan dia." Netra Xabiru menerawang memikirkan Jasmin. Wanita yang gigih mengejarnya meski sudah sekian kali ditolak. Sampai akhirnya Xabiru luluh juga dengan usahanya dan mencoba membuka hati pada wanita tersebut. Entah serius dari hati atau karena wajah Jasmin yang mengingatkannya pada Aurora. Xabiru memang ada keraguan akan hal tersebut tapi selalu ditepisnya. Ia berharap memang karena mencintai wanita tersebut yang tidak lain adalah adiknya Aurora.***"Ya Tuhan, apa barusan? Kenapa bisa-bisanya aku memeluknya saat tidur dan kenapa dia bisa berada di tengah? Apa jangan-jangan wanita tersebut sengaja menggeser Jingga ke ujung agar bisa dekat denganku?" Xabiru bermonolog sendiri saat berada di kamar mandi. Sesekali dia membasuh wajahnya untuk menghilangkan ngantuk dan perasaan aneh saat bersama Aira. "Kalau bukan itu dan memang aku sendiri penyebabnya bagaimana? Astaga! Malah aku yang malu jadinya. Terus dimana kutaruh wajah ini saat bertemu dengannya nanti?" Lagi, Xabiru bicara sendiri merutuki kebodohannya yang tidur tanpa sadar memeluk Aira yang dikiranya adalah Jingga. Masih terekam jelas saat matanya baru terbuka dan bertemu dengan sepasang bola mata berwarna cokelat milik Aira. Wajah yang nyaris tanpa jarak dengannya dan deru napas hangat saling menerpa. Keduanya ama-sama terpaku lalu cepat-cepat memalingkan wajah saat tersadar. Xabiru keluar dari kamar mandi dengan tatapan lurus ke depan atau sesekali ke bawah, berusaha menghindari Aira. Ia tidak ingin saling terpaut pandang pada wanita yang masih duduk di tepi ranjangnya."Astaga! Kamu jalan duluan!" titahnya pada Aira karena tak sengaja saling menghadang jalan diantara keduanya. Tampak canggung. Xabiru sampai tidak sadar kalau tiba-tiba ada Aira di depannya. Wanita itu bersiap menuju kamar mandi."I–iya." Aira terpaksa mengiakan tak ingin berdebat sepagi ini. "Pernikahan apa ini? Dia tidak mencintaiku. Seharusnya aku tahu diri," rutuk Aira setelah di dalam kamar mandi, bercermin menatap dirinya sendiri.***"Tapi Bu, bukannya Pak Xabiru sudah punya pacar?" Dengan berani Aira bertanya. Ia merasa yakin akan hal tersebut karena beberapa kali melihat pacar laki-laki yang bakal jadi suaminya itu berkunjung ke rumah ini. Mereka masih satu keluarga. Jasmin namanya. Dia tak lain adalah adiknya mendiang ibu kandung Jingga."Oh, mereka sudah putus. Tidak cocok. Lagipula kamu tahu sendiri kan wanita itu siapa?" Bu Laila berbohong karena kenyataannya dia yang memaksa Xabiru memutuskan hubungan keduanya dan mencoba menjodohkannya dengan Aira."Dia adiknya Bu Aurora, bukankah makin baik kalau–""Baik apanya. Aku tidak mau anakku dikatakan turun ranjang atau apalah istilahnya. Sejujurnya aku juga tidak menyukai Jasmin. Dia tidak bisa menarik hati Jingga. Tidak bisa juga jadi ibunya Jingga. Kalau ingin jadi istrinya Biru, seharusnya dekati anaknya. Bukan ayahnya." Terdengar kekesalan dari nada suara Bu Laila. Ia tahu betul kalau wanita itu memang mengincar anaknya setelah kematian Aurora. Sedapat mungkin dia mencegah hal tersebut terjadi tapi ternyata sulit juga. Kedua orang yang ingin dipisahkannya kerja satu kantor. Tiap hari ketemu dan akhirnya apa yang tidak diinginkannya terjadi juga. Mereka menjalin hubungan. Aira bingung apa yang salah dengan Jasmin. Dalam benaknya seharusnya Bu Laila malah senang karena menantunya bukan orang luar. Masih satu keluarga dan dekat sekali dengan mendiang Aurora. Bahkan wajah keduanya bak pinang dibelah dua, mirip."Masalah itu tidak perlu kamu pikirkan. Biru sudah setuju dan aku maupun Jingga menyukaimu. Bukankah itu sudah lebih dari cukup untuk kamu setuju dengan tawaranku ini?" 'Bu Laila benar, kapan lagi bisa jadi menantunya dan sekaligus menjadi istri Pak Xabiru yang merupakan impian banyak gadis sepertiku di luaran sana,' pikir Aira menimbang. Kesempatan tidak datang dua kali, apalagi Aira yang merasa hanya wanita biasa dengan status tidak jelas. Jika dia menerima tawaran tersebut, otomatis hidupnya berubah bagaikan di negeri dongeng layaknya Cinderella yang tiba-tiba dipersunting pangeran tampan.***"Semangat Aira! Jangan menyerah, kamu pasti bisa! Ini kan hidup yang kamu pilih? Maka jalanilah!" Aira mengepalkan tangannya penuh percaya diri. Bicara pada cermin yang berada di depannya. Memberi semangat pada dirinya sendiri karena apa yang terjadi atas kemauannya sendiri. Jadi jalani saja dan berusahalah agar pernikahan impiannya bisa jadi kenyataan.Aira, dan Xabiru sarapan pagi bersama dengan suasana yang kaku. Tidak ada pembicaraan diantara mereka kecuali Jingga yang sesekali berceloteh tentang kegembiraannya karena telah tidur sekamar dengan ayah dan bundanya. Ia juga mengaku berpindah posisi karena merasa sesak dipeluk ayahnya saat tidur. Mendengar hal tersebut Aira menoleh ke Xabiru, menatapnya lekat seolah menyatakan kalau bukan dia yang sengaja bertukar posisi jadi berada di tengah, tapi anaknya sendiri. Xabiru yang ditatap bersikap datar saja seakan membalas pernyataan Aira kalau dia tidak tertarik dengan fakta yang terjadi. Ia sudah menganggap angin lalu hal tersebut, seolah bukan hal yang penting. "Ini, tanda tanganilah!" pinta Xabiru setelah mereka selesai makan pagi dan hanya menyisakan keduanya di ruang makan. Jingga sudah berlalu pergi ke ruang tengah menonton tivi, tayangan kartun kesukaannya. Aira mendongak ke arah Xabiru sebentar lalu kembali fokus ke lembaran kertas di atas meja makan. Ada tiga lembar yang d
Aira tampak serius menuliskan poin-poin yang ingin ditambahkannya ke dalam surat perjanjian pernikahan yang dibuat oleh Xabiru. Laki-laki yang duduk di seberangnya mengamati dengan lekat. "Tidak jelek. Dia cantik, dia juga baik, tapi … aku sungguh tidak mencintainya. Tidak ada perasaan itu untuknya. Bagaimana mungkin bisa menjalani pernikahan ini kalau tanpa cinta di hatiku? Maaf jika ini menyakitimu. Aku tidak ingin memberikan harapan palsu. Aku ingin kamu bahagia dan aku yakin itu bukan denganku." Xabiru mengungkapkan perasaan hanya dalam hati. Egonya terlalu tinggi untuk langsung mengucapkan hal tersebut pada wanita polos di depannya saat ini. "Maaf, poin satu saya coret. Saya rela disentuh Bapak karena status kita adalah suami-istri. Dosa jadinya kalau istri menolak hasrat suami. Terserah Bapak ingin menyentuh atau tidak, jika ingin, lakukanlah, saya takkan keberatan. Lagipula saya harus memenuhi kewajiban saya sebagai seorang istri." Xabiru tercengang dengan pernyataan Aira
Seminggu sudah Xabiru dan Aira tinggal serumah setelah resmi menikah. Tidak ada perubahan dari hubungan keduanya selama tujuh hari tersebut karena perjanjian pernikahan baru dimulai tepat di hari ke delapan. "Bismillah, semangat Aira! Ayo kita mulai pertempuran ini!" Aira bicara sendiri di depan cermin di dalam kamarnya dengan penuh semangat. "Jangan sampai kalah," lanjutnya lagi menambahkan. Hari ini akan dimulai hubungan suami-istri sesuai isi perjanjian pernikahan yang telah disepakati Aira dan Xabiru. Tak ada pilihan karena itu keinginan suaminya. Banyak rencana yang sudah dipersiapkan oleh Aira dan ia berharap semua berjalan sesuai dengan rencananya. Pagi-pagi Aira bangun seperti biasanya. Beraktivitas subuh menjalankan ibadah, baru keluar kamar membersihkan rumah. Tidak ada asisten rumah tangga yang akan membantunya di rumah ini seperti di rumah ibu mertuanya karena dia sendiri yang menolak hal tersebut. "Kamu bisa membereskan rumah ini sendirian? Apa perlu asisten rumah
[Kamarku jangan diotak-atik. Biarkan saja begitu adanya.]Pesan dari Xabiru mengerutkan kening Aira. Awalnya Aira senang mendapatkan pesan pertamanya di ponsel baru yang telah diberikan Xabiru, dan itu dari suaminya, tapi bibirnya seketika manyun kecewa dengan pernyataan yang tertulis pada pesan tersebut. "Suamiku itu cenayang, ya? Dukun atau anak indigo? Kok dia tahu aku mau ke kamarnya?" Aira bergumam sendiri. Langkahnya yang mengarah ke kamar Xabiru terhenti sejenak. Lalu Aira berbalik arah menuju lantai bawah dengan langkah gontai. Semua sudut ruangan dan kamar di rumah ini sudah dibersihkan Aira, tinggal satu kamar saja yang belum dan itu kamarnya Xabiru. Kamar yang tampak suram karena dinding kamarnya berwarna monokrom hitam-putih. Seperti kamar laki-laki bujang yang belum menikah. Pikir Aira. Teng! Terdengar kembali dering pesan masuk di ponselnya. Aira yang duduk di sofa ruang tengah segera merogoh ponsel di saku celana. [Kenapa tidak dibalas?] Dari 'suamiku', nama yan
"Ibu?" Aira dengan cepat menghampiri wanita paruh baya yang wajahnya masih terlihat cantik di usia senjanya. Senyum merekah dilemparkannya ke arah wanita tua tersebut setelah berhasil menetralkan gemuruh keterkejutan dalam hatinya. Aira meraih tangan mertuanya dan mencium takzim punggung tangan yang mulai berkeriput tersebut. "Ibu kok datang mendadak? Pagi tadi nggak bilang bakal mau ke sini. Ibu sudah makan? Kalau belum biar Aira siapkan. Kebetulan kami baru saja selesai makan malam, Bu." Aira mencoba mengajak bicara Bu Laila. Menyambut dengan ramah dan hormat. "Tidak usah. Ibu sudah kenyang. Syukurlah kalau kalian sudah makan malam. Ibu mau ke kamar saja, capek di jalan menempuh waktu dua jam. Eh, tapi Ai, kamu kalau di rumah dasteran gini?" Tiba-tiba Bu Laila memindai penampilan menantu barunya. "Hah?" Ekspresi terkejut Aira keluar lagi. Belum apa-apa sudah dikomentari ibu mertua cara berpakaiannya. "Iya, Bu? Kenapa?" Refleks, Aira bertanya. Aira sempat memindai sebentar pe
"Kenapa jadi berantakan begini? Terus mau ditaruh dimana semua barangmu ini?" Xabiru berdecak kesal melihat barang Aira tersusun berantakan di kamarnya. Ia tak mengira kalau Aira asal letak saja barangnya tanpa menyusun dengan rapi seperti dalam benaknya. Mereka berdua telah berada di kamar Xabiru. Aira yang masih berdiri di depan pintu kamar, hanya menatap bingung pada barangnya. Sembari menggaruk kepala yang tentu saja tak gatal. "Mas kan cuma bilang taruh di kamar, nggak bilang disusun rapi. Lagi pula aku nggak tahu harus meletakkannya dimana. Ini kan kamar Mas, maksudnya menunggu Mas lihat dulu biar ngasih tahu aku harus meletakkannya dimana. Nanti kalau asal taruh, salah lagi." Aira membela diri. Ia tak mau disalahkan. Lagipula mana sempat meletakkannya dengan baik. Bukankah ia didesak untuk gerak cepat. Ada ibu mertua yang sedang menunggunya di bawah. "Ya sudah. Kopermu taruh di sana dulu. Peralatan tak jelas itu taruh saja di meja kerjaku." Xabiru menunjuk tas kecil berisi
Aira menggaruk kepalanya karena bingung apakah harus menuruti keinginan mertuanya atau abaikan saja. Toh, mau dikenakan atau tidak, Ibu mertuanya tidak bakalan tahu. Namun kalau tidak dituruti, lagi-lagi dia harus berbohong. Rasanya berat kalau membohongi orang tua, apalagi mertua. Bagaimanapun juga Aira sudah menganggap Ibu mertuanya sebagai orang tua sendiri. Ini juga yang menyebabkan Aira bersedia menikah dengan Xabiru. Bukan hidup nyaman yang jadi alasan utama Aira, tapi lebih kepada ingin mempunyai ibu mertua seperti Bu Laila. Dulu, selama kerja di rumah Bu Laila, ia diperlakukan dengan sangat baik oleh wanita paruh baya tersebut, meskipun Bu Laila bersikap sangat tegas tapi tidak berlebihan dan masih dalam batas wajar. Tidak terlihat jenjang status sosial keduanya karena Bu Laila memang memperlakukan pekerjanya sebagai manusia. Bu Laila bukan tipe majikan yang asal memerintah dan gila hormat. Apa yang dimakan keluarga Bu Laila maka para pekerja disana ikutan merasakan. Sering
"Aaargh!" teriak Jasmin seraya menyapu bersih peralatan make upnya hingga terlempar berantakan jatuh ke lantai. Beberapa pecah dan retak, tapi Jasmin tak peduli. "Kurang ajar! Nenek bangka menyebalkan! Kenapa aku bisa kecolongan?!" hardiknya di depan cermin seraya menatap wajahnya yang penuh amarah. Mbak Yusi–asisten rumah tangga di rumah Jasmin yang tidak sengaja melintas di depan kamar wanita tersebut hanya mampu mengurut dada. Tidak sekali, dua kali ia mendengar hal tersebut terjadi. Sudah sering, jadi bukan sesuatu yang mengejutkan lagi baginya. Ia hanya melewati kamar Jasmin tanpa berniat singgah, apalagi mengetuk pintu kamar yang sedang diisi oleh penghuninya yang sedang marah. "Yusi, itu suara dari kamar…?" Bu Mita sengaja menggantung perkataannya karena yakin asisten rumah tangganya tersebut paham dengan apa yang sedang ditanyakannya. Yusi berpapasan dengan Bu Mita, ibunya Jasmin di ruang tengah. Ia ingin menuju dapur. "Iya, Bu. Itu suara dari kamar Non Jasmin," sahutny