Share

Gadis Kecil 3

Dalam balutan gaun malam yang menawan Diah tidaklah lebih dari penghibur pria hidung belang yang haus akan belaian. Meskipun sejujurnya dia sendiri juga sangat jijik dengan pria-pria itu. Hanya saja apa mau dikata, Diah membutuhkan isi kantong mereka. Dan supaya kantong terbuka, dia perlu membuka celana mereka dan meremas isinya.

“Lo nggak mau cari kerjaan halal saja?”

Pertanyaan itu keluar dari mulut sopir angkot yang adalah adik kandungnya, Ruben. Yang tentu langsung dijawab dengan senyuman oleh Diah. Sebagai orang waras tentu dia tidak ingin tapi dari mana dia bisa mendapatkan uang untuk pengobatan ibu mereka jika bukan karena papi-papiannya? Terlebih Tami tidak punya ijazah sama sekali kalau mau ikut kerja seperti kedua rekan baiknya.

Dan ketika bertemu dengan Tami dan Puja, Diah langsung menghampiri keduanya. “Lesu banget?” tanyanya. “Baru saja gue mau ke kontrakan kalian.”

Puja menjawab, “Nggak usah tanya. Lo nggak bakal paham rasanya dipecat.”

“Hah? Kok bisa?” Diah yang kaget langsung berlutut dan ikut duduk di kursi kosong tempat kosong di antara mereka. “Omong-omong, gue juga pernah dipecat. Meskipun nggak secara langsung. Tapi, rasanya tetap sama. Yaitu ketika papi-papi gue memutuskan hubungan.”

“Tetap saja lain,” sahut Tami. “Mau?” Tanpa mengangguk Diah langsung menyambar es dari tangan Tami. “Kalau lo diputusin sama om-om itu ya wajar karena memang dia punya keluarga. Siapa tahu itu om sudah sadar. Masalahnya kalau gue sama Puja dipecat karena nggak melakukan apa-apa.”

“Kapan ya kita bisa kaya?”

“Mungkin kalau kiamat, Ja!” Entah kenapa Diah malah menjawab begitu. “Tapi, semoga anak lo sama adiknya Tami bisa dapat hidup yang lebih baik. Setidaknya supaya mereka nggak perlu diremehkan orang dan menjilat buat makan doang.”

“Tuhan pernah nggak sih dengerin doa kita?” Puja tiba-tiba bertanya kalimat yang tentu membuat kedua temannya tercengang sebab selama lebih dari dua puluh tahun berteman mereka belum pernah membicarakan Tuhan. Mereka bahkan sudah lupa kapan pergi ke rumah Tuhan. “Apa Dia cuma mau dengar doa orang kaya saja? Apa kita nggak di dengar karena nggak ngasih persembahan? Apa dia nggak tahu kalau kita kekurangan?”

“Apakah dia ada?” sambung Tami. “Gue saja lupa kapan terakhir kali ibadah. Mukena saja gue nggak punya.”

Diah tertawa kecil. “Apa lagi gue?”

“Terus itu tato Yesus segede gaban di punggung lo?”

“Cuma pajangan saja!” jawab Diah setengah bercanda.

Ironi.

Bisa sampai dititik ini mereka merasa berjuang sendirian, tanpa Tuhan. Malah, Tuhan mengambil Yulia dari hidup Tami; membiarkan ayah Diah pergi; dan menenggelamkan Puja dalam kekerasan dalam rumah tangga yang berulang. Ke mana Tuhan berada? Apakah Dia hanya ada untuk orang yang lurus? Apakah Dia tidak berniat meluruskan yang sesat?

Sebelum berpisah, Diah tiba-tiba mengeluarkan empat lembar uang seratus ribuan dari dalam tasnya yang dibagikan merata pada kedua sahabatnya. “Anggap saja ini gantinya pesangon yang nggak kalian dapat.”

“Lo serius?”

“Ini nggak apa-apa? Lo punya duit?”

Perempuan itu mengangguk. “Gue baru dikasih uang jajan sama Om.”

“Makasih ya, Di.”

“Kami nggak tahu lagi harus ngomong apa.”

Namun, lagi-lagi Diah tersenyum. “Kalian nggak perlu balas apa-apa. Terus hidup. Bertahan buat anak kalian. Itu cukup. Kalau butuh apa-apa bilang saja ke gue.”

Orang suci mana ada yang mau menolong mereka begini? Bahkan seringkali mereka menghakimi tanpa mau mendengarkan. Tami dan Puja akhirnya bisa pulang dengan senyuman lebar. Meskipun mereka telah kehilangan pekerjaan dan uangnya tadi. Setidaknya ada yang bisa dimakan sekaligus malam ini, demi menghindari bayaran sekolah Ghania harus ditunggak lagi tak hilang akal, Tami memutuskan menjual televisi di rumahnya.  

Nandreans

Terima kasih

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status