Dalam balutan gaun malam yang menawan Diah tidaklah lebih dari penghibur pria hidung belang yang haus akan belaian. Meskipun sejujurnya dia sendiri juga sangat jijik dengan pria-pria itu. Hanya saja apa mau dikata, Diah membutuhkan isi kantong mereka. Dan supaya kantong terbuka, dia perlu membuka celana mereka dan meremas isinya.
“Lo nggak mau cari kerjaan halal saja?”
Pertanyaan itu keluar dari mulut sopir angkot yang adalah adik kandungnya, Ruben. Yang tentu langsung dijawab dengan senyuman oleh Diah. Sebagai orang waras tentu dia tidak ingin tapi dari mana dia bisa mendapatkan uang untuk pengobatan ibu mereka jika bukan karena papi-papiannya? Terlebih Tami tidak punya ijazah sama sekali kalau mau ikut kerja seperti kedua rekan baiknya.
Dan ketika bertemu dengan Tami dan Puja, Diah langsung menghampiri keduanya. “Lesu banget?” tanyanya. “Baru saja gue mau ke kontrakan kalian.”
Puja menjawab, “Nggak usah tanya. Lo nggak bakal paham rasanya dipecat.”
“Hah? Kok bisa?” Diah yang kaget langsung berlutut dan ikut duduk di kursi kosong tempat kosong di antara mereka. “Omong-omong, gue juga pernah dipecat. Meskipun nggak secara langsung. Tapi, rasanya tetap sama. Yaitu ketika papi-papi gue memutuskan hubungan.”
“Tetap saja lain,” sahut Tami. “Mau?” Tanpa mengangguk Diah langsung menyambar es dari tangan Tami. “Kalau lo diputusin sama om-om itu ya wajar karena memang dia punya keluarga. Siapa tahu itu om sudah sadar. Masalahnya kalau gue sama Puja dipecat karena nggak melakukan apa-apa.”
“Kapan ya kita bisa kaya?”
“Mungkin kalau kiamat, Ja!” Entah kenapa Diah malah menjawab begitu. “Tapi, semoga anak lo sama adiknya Tami bisa dapat hidup yang lebih baik. Setidaknya supaya mereka nggak perlu diremehkan orang dan menjilat buat makan doang.”
“Tuhan pernah nggak sih dengerin doa kita?” Puja tiba-tiba bertanya kalimat yang tentu membuat kedua temannya tercengang sebab selama lebih dari dua puluh tahun berteman mereka belum pernah membicarakan Tuhan. Mereka bahkan sudah lupa kapan pergi ke rumah Tuhan. “Apa Dia cuma mau dengar doa orang kaya saja? Apa kita nggak di dengar karena nggak ngasih persembahan? Apa dia nggak tahu kalau kita kekurangan?”
“Apakah dia ada?” sambung Tami. “Gue saja lupa kapan terakhir kali ibadah. Mukena saja gue nggak punya.”
Diah tertawa kecil. “Apa lagi gue?”
“Terus itu tato Yesus segede gaban di punggung lo?”
“Cuma pajangan saja!” jawab Diah setengah bercanda.
Ironi.
Bisa sampai dititik ini mereka merasa berjuang sendirian, tanpa Tuhan. Malah, Tuhan mengambil Yulia dari hidup Tami; membiarkan ayah Diah pergi; dan menenggelamkan Puja dalam kekerasan dalam rumah tangga yang berulang. Ke mana Tuhan berada? Apakah Dia hanya ada untuk orang yang lurus? Apakah Dia tidak berniat meluruskan yang sesat?
Sebelum berpisah, Diah tiba-tiba mengeluarkan empat lembar uang seratus ribuan dari dalam tasnya yang dibagikan merata pada kedua sahabatnya. “Anggap saja ini gantinya pesangon yang nggak kalian dapat.”
“Lo serius?”
“Ini nggak apa-apa? Lo punya duit?”
Perempuan itu mengangguk. “Gue baru dikasih uang jajan sama Om.”
“Makasih ya, Di.”
“Kami nggak tahu lagi harus ngomong apa.”
Namun, lagi-lagi Diah tersenyum. “Kalian nggak perlu balas apa-apa. Terus hidup. Bertahan buat anak kalian. Itu cukup. Kalau butuh apa-apa bilang saja ke gue.”
Orang suci mana ada yang mau menolong mereka begini? Bahkan seringkali mereka menghakimi tanpa mau mendengarkan. Tami dan Puja akhirnya bisa pulang dengan senyuman lebar. Meskipun mereka telah kehilangan pekerjaan dan uangnya tadi. Setidaknya ada yang bisa dimakan sekaligus malam ini, demi menghindari bayaran sekolah Ghania harus ditunggak lagi tak hilang akal, Tami memutuskan menjual televisi di rumahnya.
Terima kasih
“Nama Anda tidak ada di daftar tamu undangan. Maaf sekali, Nona.” Saat pelayan mengembalikan kartu yang kubawa, dia tampak menyesal. “Hah? Bagaimana mungkin? Saya punya undangannya. Undangan ini asli dan diberikan langsung oleh Viviane. Mana mungkin namaku tidak ada? Kalian sudah gila! Periksa lagi.” “Tidak bisakah kau bertindak sopan?” Tiba-tiba saja seorang pria bersetelan cokelat muncul di belakangku. “Tidak bagus mempermalukan orang di depan umum. Hanya karena kau kaya dan terkenal, tidak seharusnya kau punya kuasa membentak orang lain.” “Tunggu! Apa katamu?” “Apakah kalian sudah menemukan namanya?” Pria aneh itu bertanya pada resepsionis. Gadis itu menggeleng. “Tidak, Pak.” “Bisakah kalian membiarkannya masuk? Aku mengenalnya.” Mengenalku? Aku bahkan tak tahu siapa dia. Hanya saja, wajahnya memang tampak tidak asing. Tapi bisa kujamin seratus persen bahwa aku tak mengenalinya. “Kenapa kau bilang begitu?” tanyaku saat kami berjalan melewati lorong panjang menuju tempat aca
Sementara acara berlangsung, aku memutuskan duduk di bangku hadirin sambil memakan potongaan buah segar yang disediakan. Menyaksikan keseruan Viviane dan keluarganya merayakan pesta. Gadis itu terlalu sempurna, dia punya fisik yang sangat cantik, talenta yang amat luar biasa dan orang-orang yang mencintainya. Sementara aku? Bahkan memimpikan ayahku di malam ulang tahun pun aku tak bisa. “Kenapa?” Aku kaget saat mendengar suara Angga. Ternyata, dia telah berdiri di depanku sambil membawa segelas alkohol di tangannya. “Kenapa kamu ke sini? Bagaimana kalau keluargamu melihat?” “Tidak akan ada yang curiga,” jawabnya. “Mereka sibuk pesta, sama seperti yang lain. Itulah kenapa aku ingin menemani yang tak berselera. Apakah ada masalah?” Aku membiarkannya duduk di bangku sebelahku. “Putramu tampan juga. Tak kusangka dia dan Viviane menjalin hubungan.” “Bukankah kamu tahu jika aku berencana membuatnya begitu sejak awal?” Angga tertawa. “Kamu harus mengenal putra sulungku.” “Untuk apa? Ka
“Apakah kamu benar-benar terlibat dalam pencucian uang?” “Eh?” “Sayang, tentu saja dia tidak melakukannya!” Angga menyela dan merangkul bahu Dina, sangat manja seolah dia kucing yang merindukan mainan. “Tami ini dijebak. Kamu kan tahu sendiri betapa gelapnya dunia industri. Aku yakin Broto yang brengsek itu hanya mencari aman.” “Broto pantas hancur. Dia sudah melawan kita!” Rio yang tua terbatuk sebentar, lalu melanjutkan, “Tami, kalau kau mau …, aku bisa membantumu melaporkan Broto ke polisi. Biar dia dipenjara untuk pelecehan seksual. Itu pasti merusak reputasinya.” “Aku sudah menyarankan Tami untuk itu sejak beberapa bulan lalu tapi dia takut.” Mulut manis Angga benar-benar putih, seolah tak ada racun di dalamnya. Dia penipu ulung. Aku tersenyum kecil. “Broto terlalu kuat, Pak.” “Dia tak ada apa-apanya dibanding kami!” kata Rio sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. Pria mengerikan. Jadi, dia hendak menjadikanku pion? “Bisakah di pesta ini kita tidak membicarakan pekerjaan
Sebuah motor melaju dari arah berlawanan mendadak berhenti di depanku. Karena ketakutan, aku mundur beberapa langkah dan langsung mengeluarkan bubuk merica untuk jaga-jaga. “Siapa? Kenapa berhenti di sini?” Pria itu turun dari motornya dan langsung membuka helm. “Lo Tami, kan?” “Lo tahu nama gue?” “Ya!” jawab pria aneh itu sambil memuka helm yang menutupi wajahnya. “Oh, ternyata lo!” Aku menghela napas, tapi tetap waspada. Dengar! Dia pria yang tadi kutemui di pesta. Lebih tepatnya, Juna. “Bikin orang jantungan saja. Kenapa lo tiba-tiba menghadang gue?” “Gue nggak menghadang,” jawabnya. “Lo bisa nyasar kalau jalan sendirian di sini saat malam hari.” Yang benar saja? Aku tertawa. “Tenang saja, daya ingat gue cukup bagus.” “Lo tamu Vivi.” “Terus?” “Gue akan mengantar lo sampai di gerbang perumahan. Ini, pakai.” Juna menyodorkan helm yang sejak tadi ada di jok belakang motornya. Sepertinya dia selalu membawa helm ganda. “Ambil. Nggak usah takut. Lo bisa melaporkan gue ke polisi
Seperti yang biasanya terjadi, meskipun tidur dini hari tapi aku bangun lebih dulu dari pada Gina. Sebab gadis itu kalau sedang tidur seperti orang mati, lama dan tak akan bangun jika belum waktunya bangun. Jadi, percuma saja membangunkannya. “Mau langsung olahraga?” Aku mengangguk, menjawab pertanyaan Mbok Yem yang sedang memasak di dapur. “Kalau Gina bangun, suruh nyusul saja. Aku di taman depan.” Mbok Yem mengangguk. “Jangan lupa bawa air minum, Mbak. Itu botolnya sudah saya siapkan.” “Terima kasih, Mbok!” ucapku sambil meraih botol air minum berwarna biru di atas meja makan. Lalu, segera keluar dari rumah. Dengan headset terpasang di kedua telinga, aku merenggangkan otot sebentar, pemanasan. Kemudian berlari menyusuri jalanan pagi di kompleks perumahan. Meskipun di tengah kota tetapi tempat ini lumayan juga. Banyak warga yang juga berolahraga hari ini. Maklum saja, ini adalah akhir pekan. Semua orang ingin bersantai di hari libur. Meskipun sebenarnya aku tak punya hari libur.
“Lo jadi ikut casting?” Gina sedang sarapan bersama Mbok Yem saat aku pulang. Aku mengambil gelas dan menuju kulkas. “Ini akan jadi awal yang bagus untuk karierku.” “Yang benar saja?” Gina hampir melempar sendok tapi diurungkan karena harus memasukkan potongan daging ke dalam mulut. “Gue rasa lo akan langsung dapat piala FFI. Penipu ulung. Jago drama.” Dia tertawa lebar. Namun, aku tak menanggapi. “Omong-omong, Mbak Tami mau casting film apa? Romantis? Aksi? Atau, apa? Tayang di televisi atau bioskop?” Mbok Yem bertanya. Aku mendekati meja makan dan duduk di sebelah wanita paruh baya itu. “Mbok, kalau menurutmu apakah aku cocok jadi pemain film drama?” “Jadi pemain utama?” Mbok Yem bertanya dengan serius. “Bukan! Jadi ibu tiri yang kejam,” sahut Gina. “Muka kayak Tami ini cocoknya peran jahat, Mbok. Kalau jadi tokoh utama, bisa-bisa nggak laku filmnya.” Mbok Yem menghela napas. “Tapi, memang Mbak Tami lagi digosipkan sama orang-orang. Pembantu kompleks sebelah, kapan lalu berte
“Semakin banyak serigala yang kamu punya, semakin kuat pula posisimu di alam liar.” Kalimat ini aku kutip dari sebuah buku karya penulis terkenal, Bulan Merah. Pertama kali aku membaca buku karya penulis misterius ini adalah saat menemani Gina memeriksakan giginya di klinik dokter gigi langganan kami. Bu Rinda, dokter gigi kami mengoleksi banyak buku dalam berbagai bahasa yang ditata rapi di ruang tunggu, untuk bisa dinikmati oleh para calon pasien. Dan sejak saat itu, aku menjadi penggemar berat Bulan Merah. Dalam bayanganku, Bulan Merah adalah seorang perempuan yang pemberani, kuat dan penuh hasrat. Dia selalu menggambarkan tokoh di mana seorang perempuan menjadi sentral bagi keberlangsungan cerita. Mulai dari seorang ibu yang menyelamatkan anaknya dari penculikan, seorang pedagang asongan yang menggagalkan penjualan organ anak-anak jalanan dan banyak cerita lainnya. Meskipun penggemar cerita misteri di Indonesia cukup jarang dan kurang laku, tapi buku Bulan Merah sangat terkenal.
Viviane menatapku dengan sangat kasihan, aku tidak suka ini tapi sebaiknya memang harus aku manfaatkan. “Kamu membenci orang tuamu, Tami?” “Hah? Apa?” “Karena mereka meninggalkanmu, apakah kamu membenci mereka?” Benci? Bagaimana mungkin aku bisa membenci ayah dan ibuku? Jika pertanyaaan ini diberikan kepadaku sebagai Tami, maka aku akan menjawabnya ‘ya’ tapi sebagai diriku yang lain, aku justru hidup untuk mereka. Orang tuaku rela hancur demi aku. Demi peran, aku menjawab, “Kadang.” “Kadang kamu benci mereka? Ya, itu wajar. Tidak seharusnya seorang anak ditelantarkan setelah ada. Kau tahu, teman bibiku memilih menggugurkan calon bayinya karena tak siap punya anak. Dulu aku pikir itu egois tapi sepertinya tidak. Itu pilihan. Pilihan paling bijak.” Pemikiran macam apa ini? Apakah dia gila? Dia memang sama gilanya dengan Tio. Mereka terlalu menyepelekan nyawa manusia lain. Aku muak dengan pembicaraan ini. “Anjas memintaku supaya punya banyak anak seperti keluarganya tapi aku meno