"Kamu kenapa sih pakai bilang begitu segala ke mereka?" Tami menerima segelas es krim dari tangan Paulino. Udara panas membakar keduanya, dari lantai dua sebuah toko es krim, kini duanya duduk berdua menyaksikan kota yang sibuk. Juna tersenyum lalu mendudukkan badannya di kursi tepat di seberang Tami. "Biar semakin meyakinkan, Tam. Kamu kan tahu sendiri kalau sekarang posisi kita makin terdesak. Mama kayaknya juga mulai curiga sama kita."Tami mengangguk. "Tapi nggak harus juga kan kamu memamerkan aku ke depan orang-orang dan ngaku aku istrimu?""Tapi, kan memang kamu istriku.""Istri sewaan!" ralat Tami. Juna diam sejenak tapi kemudian melanjutkan. "Kalau sendiri, bagaimana? Sudah mulai memikirkan mau buka laundry di mana?""Kan aku sudah bilang nggak usah.""Tami, kan aku sudah bilang kalau aku mau bantuin kamu ...." Juna kembali menekankan ucapannya. "Anggap saja ini bagian dari kewajibanku sebagai kompensasi untukmu.""Harus berapa kali aku bilang nggak usah?""Harus berapa kali
"Bagaimana? Bajunya bagus, kan?" Tami menatap Viviane yang kini dibalut gaun putih pernikahan dengan kagum. Kulit putih dan badan yang tinggi jenjang itu seolah memang sengaja dirancang untuk seorang malaikat. Malaikat yang tentu saja wajar bila membuat Juna jatuh cinta. "Bagus banget, Ma." "Pilihan Mama memang nggak salah." Nyonya Anggara dengan bangga berdiri di samping Viviane. "Mama sengaja minta perancang busana ini untuk membuat gaun pernikahan kalian. Anjasmara pasti langsung kasmaran lihat kecantikan kamu, Vi." "Mama bisa saja." Viviane tertawa. Dia merangkul mertuanya. "Makasih ya Mama sudah mau menerimani aku cari gaun." "Iya, Nak." "Oh iya, Tam," Vivi menatap Tami dengan ekspresi dingin. "Kamu tolong ambilkan kain untuk seragam di depan ya. Yang warna biru." Tami mengangguk. Dia menuruti calon adik iparnya itu dengan sebaik mungkin. Sebenarnya, Tami tahu jika Vivi tak menyukainya. Barangkali Vivi sudah mengetahuinya. Soal kebohongannya. Namun, sejauh apa Vivi tahu, T
Tami dan Juna saling menatap satu sama lain. Mereka tentu tidak pernah menyangka jika Ruben akan senekad itu. Mengirimkan foto dirinya dan Asya kepada Nyonya Anggara? Apa yang sebenarnya diinginkan oleh pria itu? Apakah dia memang berniat membunuh sandiwara Tami dan Juna?"Mama kayaknya nggak bakal semudah itu percaya deh, Mas." Tami menyeka keringat dingin yang membasahi tubuhnya. "Bagaimanapun juga, setelah ini Mama pasti akan mencari tahu semuanya dengan jelas. Maksudku, siapa sih orang yang bakal dengan tegas mempercayai berita kayak begini?"Juna yang menyetir mobil akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar, Tam.""Terus, kita harus gimana, Mas?""Bagaimana kalau kita datangi saja dia?" "Kalau menurutku jangan." Tami menjawab dengan tegas. "Ruben yang sekarang bukan Ruben yang dulu aku kenal. Dia sudah sepenuhnya disetir oleh Gina.""Maksudmu?""Mas Jun," Tami menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu mungkin akan menganggap ini omong kosong tapi dia adalah pria yang bodoh. Ruben
Ada berapa banyak orang di dunia ini yang menyia-nyiakan kehidupannya untuk hal tidak berguna? Mereka dengan sembrono memutuskan untuk mengakhiri hidup hanya demi orang-orang yang bahkan tidak pernah menganggapnya ada. Mereka dengan teganya mencabut nyawanya sendiri padahal di luar sana ada begitu banyak orang yang menginginkan kehidupan tetapi harus berakhir tanpa sempat bisa memperjuangkan kehidupan idaman sama sekali. Bahkan bagi orang-orang seperti Tami hanya ada hari ini, esok dan masa depan tidak ada di dalam kamus kehidupannya. Terlalu asing. Satu-satunya yang membuat mereka bertahan dari kehidupan fana hanyalah ketakutan pada kematian; biaya pemakaman, biaya sewa tanah kuburan dan biaya-biaya lainnya yang harus ditanggung keluarga besar setelah jenazah dinyatakan kosong tanpa arwah. Tami bahkan sudah tidak percaya dengan janji para pemuka agama soal surga dan neraka. Semua itu seperti dongeng di kepalanya. Dogeng yang membuat rakyat miskin terhibur dengan angan-angan kenikmatan
Namun, sebagai sesama orang miskin tentu Puja tidak bisa banyak membantu. Meskipun pada akhirnya dia tetap memberi sang sahabat dua lembar uang lima puluh ribuan. Kurang setengah dan Tami sama sekali tidak tahu harus mencari ke mana lagi. Semoga nanti akan ada pelanggan yang memberinya tip. Sungguh, sebagai satu-satunya wali bagi Ghania, Tami sebenarnya malu pada guru sekolah adiknya itu. Lebih tepatnya, Tami tidak tega kalau adiknya harus setiap hari dapat surat peringatan karena menunggak bayaran sekolah.Sebenarnya, Tami bisa saja menyekolahkan Ghania di sekolah negeri yang mana jauh lebih murah tetapi dia tidak mau adiknya sama sepertinya. Sebab, Tami tahu dengan pasti kalau berkumpul dengan orang kaya akan membuka peluang kesuksesan pada seseorang. Relasi. Itulah yang dia pelajari dari klien-kliennya di salon selama ini.“Makasih ya, Ja! Gue nggak tahu lagi harus minta tolong ke siapa.”Puja tersenyum kecut tapi kemudian menyambar handuk kecil di atas meja yang berada tepat di sam
Dalam balutan gaun malam yang menawan Diah tidaklah lebih dari penghibur pria hidung belang yang haus akan belaian. Meskipun sejujurnya dia sendiri juga sangat jijik dengan pria-pria itu. Hanya saja apa mau dikata, Diah membutuhkan isi kantong mereka. Dan supaya kantong terbuka, dia perlu membuka celana mereka dan meremas isinya.“Lo nggak mau cari kerjaan halal saja?”Pertanyaan itu keluar dari mulut sopir angkot yang adalah adik kandungnya, Ruben. Yang tentu langsung dijawab dengan senyuman oleh Diah. Sebagai orang waras tentu dia tidak ingin tapi dari mana dia bisa mendapatkan uang untuk pengobatan ibu mereka jika bukan karena papi-papiannya? Terlebih Tami tidak punya ijazah sama sekali kalau mau ikut kerja seperti kedua rekan baiknya.Dan ketika bertemu dengan Tami dan Puja, Diah langsung menghampiri keduanya. “Lesu banget?” tanyanya. “Baru saja gue mau ke kontrakan kalian.”Puja menjawab, “Nggak usah tanya. Lo nggak bakal paham rasanya dipecat.”“Hah? Kok bisa?” Diah yang kaget la
“Nama Anda tidak ada di daftar tamu undangan. Maaf sekali, Nona.” Saat pelayan mengembalikan kartu yang kubawa, dia tampak menyesal. “Hah? Bagaimana mungkin? Saya punya undangannya. Undangan ini asli dan diberikan langsung oleh Viviane. Mana mungkin namaku tidak ada? Kalian sudah gila! Periksa lagi.” “Tidak bisakah kau bertindak sopan?” Tiba-tiba saja seorang pria bersetelan cokelat muncul di belakangku. “Tidak bagus mempermalukan orang di depan umum. Hanya karena kau kaya dan terkenal, tidak seharusnya kau punya kuasa membentak orang lain.” “Tunggu! Apa katamu?” “Apakah kalian sudah menemukan namanya?” Pria aneh itu bertanya pada resepsionis. Gadis itu menggeleng. “Tidak, Pak.” “Bisakah kalian membiarkannya masuk? Aku mengenalnya.” Mengenalku? Aku bahkan tak tahu siapa dia. Hanya saja, wajahnya memang tampak tidak asing. Tapi bisa kujamin seratus persen bahwa aku tak mengenalinya. “Kenapa kau bilang begitu?” tanyaku saat kami berjalan melewati lorong panjang menuju tempat aca
Sementara acara berlangsung, aku memutuskan duduk di bangku hadirin sambil memakan potongaan buah segar yang disediakan. Menyaksikan keseruan Viviane dan keluarganya merayakan pesta. Gadis itu terlalu sempurna, dia punya fisik yang sangat cantik, talenta yang amat luar biasa dan orang-orang yang mencintainya. Sementara aku? Bahkan memimpikan ayahku di malam ulang tahun pun aku tak bisa. “Kenapa?” Aku kaget saat mendengar suara Angga. Ternyata, dia telah berdiri di depanku sambil membawa segelas alkohol di tangannya. “Kenapa kamu ke sini? Bagaimana kalau keluargamu melihat?” “Tidak akan ada yang curiga,” jawabnya. “Mereka sibuk pesta, sama seperti yang lain. Itulah kenapa aku ingin menemani yang tak berselera. Apakah ada masalah?” Aku membiarkannya duduk di bangku sebelahku. “Putramu tampan juga. Tak kusangka dia dan Viviane menjalin hubungan.” “Bukankah kamu tahu jika aku berencana membuatnya begitu sejak awal?” Angga tertawa. “Kamu harus mengenal putra sulungku.” “Untuk apa? Ka