“Lho, Diani. Ngapain?” sapa seorang suster yang memang sudah sangat akrab dengan Diani karena Riani menghuni kamar itu hampir dua tahun ini.
Suster itu merasa kasihan dengan Diani yang terisak hebat. Ia mencoba menenangkan dengan mengusap lembut pundak Diani.
“Kak Grace..” lirih Diani masih dengan isakannya.
Wanita yang akrab disapa Grace itu segera membantu Diani untuk berdiri. Ia juga membantu Diani untuk duduk di kursi tunggu depan ruangan Riani.
“Kak Riani dua minggu ini gimana, Kak Grace?” tanya Diani sambil menahan isak tangisnya yang semakin membuat dadanya sesak.
“Baik kok, baik banget malah. Seminggu terakhir ini malah dia ada yang nunggu tiap hari. Kadang bisa sampai jam sembilan malem,” ungkap Grace sambil sesekali ikut menyeka air mata dari sudut mata Diani.
“Siapa?” tanya Diani heran.
“Laki-laki, tinggi, tampan, siapa ya namanya? Lupa.”
Diani menegang mendengar ciri-ciri yang disebutkan oleh Grace. Apakah itu Kakak iparnya? Apakah pria tidak tahu diri itu menemui Kakaknya? Tapi jelas-jelas Kakaknya tadi menanyakan kabar suaminya. Apakah tadi hanya akting Riani karena tahu bahwa Diani membenci Kakak iparnya?
Jantung Diani berdetak cepat. Ia makin merasa sesak memikirkan siapa yang menemui Kakaknya.
“Kakak gak tanya namanya siapa?” ucap Diani sambil meneguk ludahnya kasar.
“Pernah kok kenalan, tapi siapa ya?”
“Bukan Reval kan?” tanya Diani harap-harap cemas.
“Bukan! Kalau Reval gue juga langsung tendang dia keluar dari rumah sakit. Gue masih hafal wajah Reval walaupun ketemu cuma dua kali, walaupun udah dua tahunan yang lalu. Hafal gue orangnya. Gue yakin, bukan kok!” jelas Grace.
Diani menghembuskan nafasnya lega.
“Siapa ya, Kak? Kakak beneran lupa namanya?” tanya Diani sedikit memaksa.
“Lupa gue namanya. Tapi, gue tahu Kakak lo cerita kalau itu temen dia dulu dari SMA. Wajahnya itu ganteng banget. Kayak artis-artis Turki. Tapi kayaknya gue pernah liat dulu. Sebelum ketemu disini. Tapi, dimana ya? Siapa ya?” jawab Grace jenaka.
“Kak Grace! Ah, serius. Siapa, Kak?” protes Diani yang kini tak lagi menangis karena terhibur dengan ucapan panjang tak jelas dari Grace. Ia sedikit tenang karena sepertinya memang bukan Reval yang menemui Kakaknya.
“Grace! Ayo visit,” ucap seorang rekan Grace yang menghampiri keduanya.
“Ayo. Eh, gue tinggal dulu ya, Di. Nanti lagi deh ngobrolnya. Nanti kalau gue inget namanya, gue kabari deh. Bye. Udah jangan nangis-nangis lagi. Sana cari makan buat lo berdua,” ucap Grace sambil berdiri.
Diani hanya mengangguk menanggapinya.
Siapa ya? tanya Diani dalam hati sambil memperhatikan langkah Grace yang menjauh.
***
*Samudera POV*
Saat ini, aku berada di rumah sakit. Kembali melihat seorang wanita, yang terbaring lemah usai kecelakaan di usia kehamilan memasuki tiga puluh tujuh minggu. Kisahnya mirip dengan istriku, anaknya juga meninggal dalam kecelakaan itu. Bedanya dia selamat, tapi ia mengalami kelumpuhan karena cedera sumsung tulang belakang. Tak ada yang dapat ia lakukan kecuali terbaring.
Tragisnya, suaminya yang tak mengalami luka serius malah kabur dan tak kembali. Bagaimana bisa ada laki-laki sebrengsek itu? Bagaimana dia bisa kabur dari wanita yang sudah ia nikahi dan bersumpah akan menjaganya di depan semua orang dan Tuhan? Dia salah satu laki-laki brengsek yang mempermalukan nama kaum pria! Aku bahkan malu dengan kelakuannya!
“Gue gak habis pikir sama laki-laki yang lo anggep suami lo itu. Kemana coba dia dua tahun ini?” gerutuku yang seperti biasanya duduk di dekat Riani dengan laptop yang sudah berada di nakas. Bersiap untuk bekerja.
“Gak usah ngomel deh. Masih pagi-pagi begini juga.”
Aku hanya berdecak sebal dengan jawaban Riani sambil membalikan tubuhku ke arah Riani. Aku tak habis pikir, setelah dua tahun mereka tak bertemu. Tak ada Niatan Riani untuk mengajukan gugatan cerai pada suaminya. Alasannya karena ia tak tahu harus melayangkan gugatan cerainya kemana, karena suaminya pun tak jelas dimana rimbanya.
“Udah dua tahun dia gak pernah nengokin lo dengan keadaan kayak gini, Ri.”
"Dia lebih baik pergi daripada ngurusin gue yang udah cacat kayak gini. Gue juga udah gak bisa jalan. Gue gak bisa ngasih dia anak. Bahkan gue gak bisa muasin dia lagi. Terus apalagi yang mau diharepin?" ucap Riani dengan senyuman tipisnya. Seolah mengikhlaskan segala hal yang terjadi pada dirinya.
“Kalau dia diluar sana, cari keluarga baru, membangun keluarga baru, silahkan. Umur gue juga gak bakal lama dengan—“ lanjut Riani tenang.
“Ri, please!” kini, aku yang mulai gerah melihat sikap ikhlas Riani.
“Kenyataannya, gue udah gak bisa kasih dia keturunan, Sam. Rahim gue udah di ambil. Dengan keadaan gue yang seperti ini, jangankan ngasih anak. Kewajiban gue, sebagai istri, buat nerima nafkah batin dari dia aja, gue gak bisa. Gue gak mau egois dengan nahan dia untuk selamanya disisi gue. Dia bakal lebih dosa lagi kalau ngelakuin hal-hal gak bener di luar sana karena gue gak bisa kasih dia—“
“Gak semua laki-laki itu selalu ngedahuluin nafsu, Ri!” ucapku dengan nada yang tak kusadari meninggi.
“Dan gak semua laki-laki kayak elo, Sam.” jawab Riani tenang.
Aku hanya bisa membuang mukaku ke arah lain sambil mengatur detak jantung yang mulai tak terkontrol karena amarahku yang memuncak.
Terbuat dari apa hatimu, Riani? Aku bahkan hampir menangis melihat ketulusannya. Segera aku menatapnya lagi. Aku mengusap lembut pipinya. Membenarkan anak-anak rambut yang tak teratur. Beberapa helainya bahkan mengenai matanya. Tak ada yang dapat dia lakukan. Tangannya tak bisa terangkat untuk sekedar membantunya merapikan anak-anak rambut yang jatuh di dekat matanya.
Aku benci mendengar kebenaran yang disampaikan Riani. Tapi, aku juga sangat marah dengan kelakuan pria yang masih dianggap suami oleh Riani. Bagaimana bisa dengan teganya dia mencampakkan wanita seperti Riani yang sedang dalam titik terendahnya, sendirian tanpa pegangan.
“Gue bakal cari suami lo. Sampai ketemu. Setelah itu ceraikan dia, Ri!”
Riani hanya mengerutkan dahinya sambil menatapku dengan raut wajah aneh.
"enak banget kalau ngomong, tutup panci!"
Aku menghembuskan nafas kasar. Disaat seperti ini, dia masih saja bisa bercanda.
“Sebenernya alasan lo gak mau ceraikan dia, karena lo gak tau kan posisi dia dimana atau sebenernya lo masih sayang setelah semua hal yang udah dia lakuin ke elo? Please, jangan jawab dengan alasan yang kedua?"
Riani hanya mengedikkan bahunya.
"Are you kidding me?” tanyaku tak percaya.
“So what? Dia suami gue,” bela Riani.
“Bullshit!” umpatku lirih agar tak terdengar Riani.
Ku tatap matanya dalam. Aku menggenggam tangan Riani erat. Jantungku berdetak dengan cepat sebelum melontarkan ucapanku.
"Ri, kita nikah yuk. Gue bakal jagain lo, seumur hidup gue! Gue, bisa lebih tanggung jawab daripada cowok brengsek itu, Ri!" ucapku dengan sungguh-sungguh, sadar, dan tanpa Paksaan.
Aku benar-benar akan menjagamu, Ri. Pegang kata-kataku!
***
"Ri, kita nikah yuk. Gue bakal jagain lo, seumur hidup gue!" ucap Samudera dengan raut wajah serius dan binar wajah penuh harapan.‘Aku tak bodoh dan juga tidak gila untuk senang dengan harapan semu yang ditawarkan oleh anak salah seorang konglomerat di negeri ini. Orang bodoh mana yang mau merawat orang cacat dengan harapan hidup kecil sepertiku? Bahkan suamiku yang sudah berjanji sehidup semati denganku saja lari entah kemana setelah tahu bahwa aku tak bisa menjaga anaknya di tubuhku. Juga tak lagi bisa memberikannya anak.’‘Menikahi Samudera? Hah? Dalam keadaan sehat saja keluarga suamiku begitu membenciku. Mereka sekarang membawa suamiku entah kemana. Apalagi dalam keadaan penyakitan seperti ini. Keluarganya pasti butuh pewaris. Apa yang diharapkan dariku. Samudera anak laki-laki satu-satunya. Mana mungkin keluarganya dengan rela melepaskan anak lelakinya kepada wanita sepertiku.’‘Aku tahu keluarga Samudera tak pandang bulu. Tapi, bukan berarti wanita dengan keadaan sepertiku bis
“Jadi gimana Eyang?” tanyaku penuh harap. Berharap masih ada yang bisa aku lakukan untuk membantu Sahabat terbaikku.“Harapan hidupnya tinggal keyakinannya untuk terus bertahan hidup, Sam. Kecelakaan itu menyebabkan cedera berat. Untuk hidup sehari-hari saja, Eyang yakin dia menahan rasa sakit dengan skala sembilan per sepuluh. Bayangkan, seperti apa rasa sakitnya itu?”Mendengarnya saja, tulang-tulangku ikut merasa ngilu. Tak bisa menggunakan tangan dan kakinya, bahkan harus merintih saat posisinya harus diubah membuatku seolah bisa merasakan sakitnya. Kamu sangat hebat bisa bertahan sejauh ini, Ri.“Hidupnya benar-benar bergantung pada painkiller, Sam. Itu pasti sangat menyakitkan,” lanjut Dokter Herman dengan tatapan sedihnya.“Bener-bener gak ada yang bisa kita lakuin, Eyang? Apapun itu? Samudera akan bantu biayanya.”“Ini gak hanya soal biaya, Sam. Lebih dari itu. Sebelum kamu datang memohon seperti ini. Adiknya sudah lebih dulu melakukan ini, Sam. Sama denganmu, kami juga mengus
*11 Tahun Lalu*Suasana yang riuh dalam kelas menandakan bahwa belum ada guru yang masuk ke dalam kelas. Semua siswa saling bergerombol dengan geng mereka masing-masing sambil bersenda garau. Tidak sedikit juga iseng mengerjai teman-temannya agar suasana kelas menjadi semakin gaduh dengan tawa.Seorang remaja laki-laki berlarian di dalam kelas dan dengan gesit menarik kuncir yang dipakai oleh Diani, gadis bertubuh kurus, namun memiliki kulit putih bersih dengan kacamata bulat yang terlihat lucu di pakainya. Untuk beberapa orang, style Diani itu aneh, tapi laki-laki dengan mata jeli seperti remaja laki-laki yang menggodanya ini, tahu bahwa ada pesona tersembunyi dari seorang Diani Abhimaya. Anak seorang pengusaha restoran yang cukup terkenal seantero Jakarta.“Alviiin! Rese’ banget sih lo!” teriak Diani dengan muka kesal dan mata yang mulai berkaca-kaca.Alvin yang mendengarnya hanya menjulurkan lidahnya dengan muka meledek. Kedua sahabat Diani, Kanya dan Pita hanya bisa tersenyum gel
Saat Samudera sedang asik memandang Diani, pemilik mata bulat itu ikut memandang Samudera. Samudera mengalihkan pandangannya dengan perlahan agar tak terlihat mencurigakan. Entah mengapa saling pandang dengan Diani membuatnya berdegup.Tak mendengar sapaannya dibalas, Samudera segera membuka suaranya kembali untuk menutupi rasa salah tingkahnya.“Perkenalkan nama saya Samudera, kalian bisa panggil saya Pak Sam. Seperti kata Pak Budi tadi, saya akan mengajar kalian matematika dan bahasa inggris selama kurang lebih empat bulan ini. Mohon kerjasamanya. Mungkin ada yang mau bertanya?” ucap Samudera dengan senyuman sejuta wattnya yang membuat banyak siswi di kelas itu rasanya kehabisan nafas diberondong oleh senyuman manisnya.“Pak, kok cuma sebentar sih? Ilmunya belum nyerep lho, Pak!” protes Cantika, salah satu siswi yang selalu terlihat centil.“Iya, Paaak!” koor siswi dalam kelas itu.“Seperti yang tadi Pak Budi bilang, saya harus kembali untuk melanjutkan studi saya. Semoga saja ilmu
Embun memandangi foto pernikahan Samudera dan mendiang menantunya yang terpajang di sudut meja ruang keluarga. Senyuman di bibirnya terlihat getir kala menatap foto yang menampakkan kebahagiaan bertahun-tahun lalu.Tak ada yang menyangka bahwa beberapa bulan setelah foto itu diambil, hidup mereka tak lagi sama.Enam tahun kejadian itu berlalu, tapi Samudera, putra bungsunya, masih berkutat dengan masa lalunya. Seolah tak mau beranjak dari sana.“Apa kabar menantu dan cucu Mama? Kalian senang disana?" ucap Embun yang kini sudah mengusap lembut foto Tania yang terlihat cantik dengan gaun mewah yang memperlihatkan perut buncit Tania."Tan, bantu Mama bujuk Sam. Mama benar-benar kasihan liat dia sendirian. Kamu tahu kan, hidupnya seperti robot, Tan. Kantor, rumah, gitu terus. Mungkin sekarang dia gak kerasa kesepian. Tapi, menua sendirian pasti sangat sepi, Tan. Mama–""Ma," sapa Samudera memotong ucapan Embun.Laki-laki dengan tubuh jangkung itu kini sudah berada di belakang tubuh Mamanya
"Segitu ngeganggunya ya gue, Kak?"Pertanyaan itu berhasil membuat Lian menatap sedih adiknya."Lo boleh temui Ruby, kapanpun lo mau. Tapi, please. Kasih gue dan Ruby space, Sam. Dia anak gue. Gue pengen nge-didik dia dengan cara gue. Kak Davino juga pengen banget ngabisin banyak waktu sama anaknya satu itu.""Ruby, gue angkat anak ya Kak. Biar dia ikut gue," mohon Sam."Gak, Sam. Gue masih sanggup dan lebih dari mampu untuk ngurus dia sendiri. Gimana pun dia anak gue dan gue sayang banget sama dia. Gue gak bisa kalau harus pisah dari dia. Jangan egois Sam," ucap Lian dengan tenang walaupun kesedihan mulai menyusup di hatinya."Lo sedih jauh dari Ruby, apa kabar suami gue? Dia selalu ngalah buat apapun demi lo, karena buat dia, elo itu adik kesayangannya. Gue tau semuanya berat buat lo, tapi please, ngerti juga keadaannya.""Hidup gue sepi Kak, kalau gak ada Ruby," ucap Samudera sambil menunduk, menyembunyikan wajah sendunya."Itu kenapa Mama minta lo nikah, Sam. Sekarang ataupun nant
*Diani Pov*Aku beranjak dari tempat dudukku, menatap lelah tumpukan pekerjaan yang rasanya tak ada habisnya. Mati satu, tumbuh seribu. Begitu istilahnya.Setelah kepulanganku dari Bali, pertengkaranku dengan Kak Riani kembali terjadi. Aku kira keinginannya untuk mengakhiri hidupnya telah sirna. Karena selama aku di Bali, tak kudengar kabar dia mengeluhkan keadaannya. Ternyata, aku salah.Kini tak hanya keinginan menyudahi hidupnya, ia malah sibuk mencari laki-laki kurang ajar yang menelantarkan dirinya sendirian setelah kecelakaan yang turut melibatkan manusia terkutuk itu. Sampai sekarang, aku tak habis pikir. Kenapa Kak Riani masih mencari laki-laki brengsek itu? Laki-laki yang beruntung hanya karena truk yang menabrak mobil mereka ikut bersalah. Seandainya itu kecelakaan tunggal. Sudah ku tuntut pria itu, tak peduli berapapun uang yang akan aku keluarkan.Ego prianya yang menjijikkan membuat Kakakku kehilangan dunianya. Tak lagi bisa menapakkan kakinya, bahkan untuk sekedar duduk
*DIANI POV*Hari itu adalah kali terakhir aku bertemu Reval. Tak pernah lagi aku mendengar kabarnya, aku pun tak mau tahu bagaimana kabarnya setelah membuat Kakakku hidup dalam neraka yang ia buat. Enyah dari hidup kami, adalah keputusan terbaik yang pernah dia buat.Mungkin itulah alasannya tak ada perpisahan untuk Kak Riani. Tapi, laki-laki tak tahu malu itu benar-benar keterlaluan. Hingga kini ia pun tak pernah mengucapkan kata perpisahan untuk Kak Riani. Laki-laki pengecut! Bagaimana bisa ada manusia tanpa empati sepertinya? Ya Tuhan, aku benar-benar mengutuk perbuatannya.Mataku kini beralih menatap ke dalam sebuah foto. Foto Keluarga yang berisi ayah, ibu, dan dua anak perempuannya. Senyum mereka tulus. Pasti tak akan ada pikiran, bahwa bertahun-tahun setelahnya, keluarga itu hancur karena ego seorang laki-laki yang hanya mementing