"Ri, kita nikah yuk. Gue bakal jagain lo, seumur hidup gue!" ucap Samudera dengan raut wajah serius dan binar wajah penuh harapan.
‘Aku tak bodoh dan juga tidak gila untuk senang dengan harapan semu yang ditawarkan oleh anak salah seorang konglomerat di negeri ini. Orang bodoh mana yang mau merawat orang cacat dengan harapan hidup kecil sepertiku? Bahkan suamiku yang sudah berjanji sehidup semati denganku saja lari entah kemana setelah tahu bahwa aku tak bisa menjaga anaknya di tubuhku. Juga tak lagi bisa memberikannya anak.’
‘Menikahi Samudera? Hah? Dalam keadaan sehat saja keluarga suamiku begitu membenciku. Mereka sekarang membawa suamiku entah kemana. Apalagi dalam keadaan penyakitan seperti ini. Keluarganya pasti butuh pewaris. Apa yang diharapkan dariku. Samudera anak laki-laki satu-satunya. Mana mungkin keluarganya dengan rela melepaskan anak lelakinya kepada wanita sepertiku.’
‘Aku tahu keluarga Samudera tak pandang bulu. Tapi, bukan berarti wanita dengan keadaan sepertiku bisa masuk menjadi menantu keluarga Adnan.’
Semua pergolakan batinnya yang panjang, membuat Riani tak sadar bahwa ia telah mendiamkan lelaki yang telah melamarnya dan saat ini berada disampingnya sedang menunggu dengan harap-harap cemas.
Walaupun perasaannya masih tak menentu untuk Riani, tapi ia sungguh-sungguh dengan lamarannya pada Riani. Meskipun ini gila karena melamar perempuan yang masih menjadi istri seseorang, namun semuanya sudah ia pikirkan dengan matang.
“Lo gak waras ya, Sam?”
“Lo bisa pikirin baik-baik dulu. Gue—“
"Sam! Gue gak akan gugat cerai suami gue,” ucap Riani dengan keras.
“Lagipula lo mau nikah sama gue atas dasar apa? Kasihan sama gue? Buat menebus perasaan bersalah lo sama Tania karena lo gak bisa jagain dia? No!" jawabannya tepat sasaran mengena di ulu hati.
Samudera terdiam. Dia memang berniat menikahi Riani hanya untuk merawat wanita yang terbaring lemah itu tanpa rasa cinta. Hanya rasa ingin menebus dosa pada Tania.
Samudera memberikan pengandaian, jika wanita yang terbaring itu adalah Tania, tak akan sedetikpun Samudera pergi dari sisinya.
‘Kalau dia Tania, bagaimana bisa aku ninggalin dia sendirian. Saat istriku yang paling aku cintai malah hanya bisa tidur tanpa ngelakuin apapun? Gimana bisa tega?’ ucap Samudera dalam hati.
Samudera mereguk ludah nya dengan kasar.
“Lo nolak gue?” ucap Samudera dengan wajah yang dibuat jenaka. Seolah-olah tadi hanya gurauannya saja.
Riani memandang ke arah jendela dengan tatapan lelah.
“Gue tau lo gak bercanda soal tadi. Gue udah temenan sama lo lama banget Sam. Gak usah bodohin gue.”
“Gue gak becanda juga kok,” ucap Samudera terlihat biasa saja sambil mengalihkan pandangannya kembali ke arah laptop di hadapannya.
“Alasan lo apa coba ngajak gue nikah? Lo kasihan sama gue?”
Samudera tetap bergeming. Seolah dia benar-benar bekerja dan mengabaikan pertanyaan Riani. Ia mencoba mencari sanggahan dari tuduhan yang memang benar adanya itu.
Sejujurnya ia berniat menikahi Riani karena ia sendiri tak mau dipaksa lagi menikah oleh orang tuanya. Ia masih menaruh hatinya pada istrinya, Tania. Dengan menikahi Riani, ia menuntaskan keinginan orang tuanya untuk memiliki pasangan hidup. Tak perlu juga dia membagi tubuhnya pada wanita lain. Ada rasa tak rela, jika ada yang menggantikan sentuhan Riani di tubuhnya.
Terdengar aneh, tapi begitulah kenyataannya. Alasan kenapa ia tak mau menikah, karena tak boleh ada yang menyentuhnya lagi. Ia bahkan rela menuntaskan hasratnya dengan memuaskan dirinya sendiri.
“Sam,” panggil Riani yang kini mulai bosan dengan tingkah Sam yang banyak berdiam diri.
“Lo yang ngajakin gue nikah. Tapi keliatannya lo yang paling galau deh,” tuduh Riani yang kembali membuat Samudera menghembuskan nafas kasar karena tuduhannya lagi-lagi benar.
"Lo gak perlu repot-repot kasihan sama gue. Ada wanita yang lebih mengenaskan nasibnya dari gue dan gue mohon sama lo buat jagain dia,” ucap Riani mantap.
Ia tahu bahwa ada seseorang yang tak bisa ia tinggalkan sendiri di dunia ini. Perempuan yang telah bekerja keras untuknya dan membuat kehidupannya berputar hanya di sekelilingnya saja. Ia yakin keluarga Samudera akan menerima perempuan itu dengan baik. Keluarga Samudera yang hangat, pasti mau menyambut perempuan itu.
***
*Samudera POV*
Ucapan Riani yang baru saja ia lontarkan, membuatku mengalihkan perhatian pada hal lain. Mendengarnya saja, aku sudah tak berminat. Aku sedang tak mau membandingkan hidupnya dengan yang lain. Hidupnya sudah cukup mengenaskan. Bagaimana bisa dia masih mengasihani orang lain?
"Siapa?" tanyaku sambil mengangkat sebelah alisku.
Pertanyaan pura-pura antusias yang aku lontarkan itu, hanya sebuah bentuk kesopanan. Agar ia tak mengamuk dengan aku yang tak mau tahu.
"Diani, adik gue. Lo masih inget gak?"
Aku mengangguk lirih.
Diani? Ah, aku baru ingat lagi kalau Riani memiliki adik. Terlalu sibuk dengan Riani, aku melupakan dia masih memiliki keluarga kandung yang tersisa. Sudah lama juga aku disini, tapi aku tak pernah melihatnya.
Ya, aku pasti mengingat gadis itu. Meski sudah belasan tahun berlalu. aku masih mengingat putri bungsu keluarga Abhimaya. Diani Abhimaya. Gadis yang suka sekali datang ke sekolah dengan rambut di kepang dan berkacamata. Wajahnya yang terlihat imut dan cantik tanpa make up apapun. Gadis yang bahkan menangis saat digoda oleh teman sekelasnya. Apa kabarnya dia?
"Dia perempuan paling kasihan. Nanti kalo gue gak ada —"
"Ri! Kok lo pesimis gitu sih?!" sahutku cepat tak terima jalan pikirannya.
Walaupun dokter bilang bahwa Riani tak bisa hidup lama dengan kondisinya saat ini. Pikiranku melayang jauh pada beberapa waktu lalu, saat aku menemui Dokter Herman yang menangani Riani.
*Flashback On*
“Dokter Herman!” panggilku saat melihat wajah lebih dari separuh abad yang aku kenal dengan jas putihnya.
“Eh, Samudera. Apa kabar kamu, Nak?”
“Baik Dok,” ucapku sambil tersenyum ke arahnya.
“Panggil aja Eyang, Sam. Kayak biasanya. Eh kamu kok disini? Ada yang sakit? Kakakmu bukannya sudah pulang ya?” tanya Dokter Herman. Ia memang suka dipanggil Eyang karena aku sudah mengenalnya lama. Beliau ini adalah sahabat dari Kakekku.
“Iya, Eyang. Temenku sakit. Aku mau tanya-tanya soal dia.”
“Lho, siapa?” tanya Dokter Herman dengan terkejut.
“Riani, Eyang. Riani Abhimaya.”
“Oh, dia temanmu?”
Aku mengangguk masih dengan senyuman tipis di bibirku.
“Ya udah. Ayo, ikut Eyang ke ruangan. Kita bahas disana,” ucapnya sambil merangkul pundakku. Kami pun berjalan bersisian menuju ruangannya.
Setelah duduk dengan nyaman di sofa ruangan milik Dokter Herman, beliau memberikan air mineral padaku.
“Eyang baru tahu dia temanmu.”
“Kalau tahu Riani disini, sudah lama juga pasti Samudera membantu Riani, Eyang. Sam baru tahu akhir-akhir ini. Gimana keadaannya Eyang. Prosentase untuk sembuhnya berapa? Dan gimana caranya supaya dia bisa balik lagi kayak dulu?”
“Minum dulu Sam,” kata Dokter Herman yang malah membuatku gugup. Pasti jawabannya tidak baik. Aku hafal dengan kebiasaan beliau.
Senyuman tipis Dokter Herman ke arahku, makin membuatku salah tingkah.
“Sebenarnya harapan hidup Riani itu tipis, Sam. Kami bahkan takjub dengan Riani yang masih bertahan hidup hingga saat ini. Semua prosedur pembedahan kami lakukan, tapi keadaannya masih sama. Semua prosedur itu hanya sedikit membantu. Dua tahun terbaring di kasur juga menyebabkan banyak komplikasi lain yang timbul,” jelas dokter Herman dengan helaan nafas panjang.
“Jadi gimana Eyang?” tanya Samudera penuh harap.
***
“Jadi gimana Eyang?” tanyaku penuh harap. Berharap masih ada yang bisa aku lakukan untuk membantu Sahabat terbaikku.“Harapan hidupnya tinggal keyakinannya untuk terus bertahan hidup, Sam. Kecelakaan itu menyebabkan cedera berat. Untuk hidup sehari-hari saja, Eyang yakin dia menahan rasa sakit dengan skala sembilan per sepuluh. Bayangkan, seperti apa rasa sakitnya itu?”Mendengarnya saja, tulang-tulangku ikut merasa ngilu. Tak bisa menggunakan tangan dan kakinya, bahkan harus merintih saat posisinya harus diubah membuatku seolah bisa merasakan sakitnya. Kamu sangat hebat bisa bertahan sejauh ini, Ri.“Hidupnya benar-benar bergantung pada painkiller, Sam. Itu pasti sangat menyakitkan,” lanjut Dokter Herman dengan tatapan sedihnya.“Bener-bener gak ada yang bisa kita lakuin, Eyang? Apapun itu? Samudera akan bantu biayanya.”“Ini gak hanya soal biaya, Sam. Lebih dari itu. Sebelum kamu datang memohon seperti ini. Adiknya sudah lebih dulu melakukan ini, Sam. Sama denganmu, kami juga mengus
*11 Tahun Lalu*Suasana yang riuh dalam kelas menandakan bahwa belum ada guru yang masuk ke dalam kelas. Semua siswa saling bergerombol dengan geng mereka masing-masing sambil bersenda garau. Tidak sedikit juga iseng mengerjai teman-temannya agar suasana kelas menjadi semakin gaduh dengan tawa.Seorang remaja laki-laki berlarian di dalam kelas dan dengan gesit menarik kuncir yang dipakai oleh Diani, gadis bertubuh kurus, namun memiliki kulit putih bersih dengan kacamata bulat yang terlihat lucu di pakainya. Untuk beberapa orang, style Diani itu aneh, tapi laki-laki dengan mata jeli seperti remaja laki-laki yang menggodanya ini, tahu bahwa ada pesona tersembunyi dari seorang Diani Abhimaya. Anak seorang pengusaha restoran yang cukup terkenal seantero Jakarta.“Alviiin! Rese’ banget sih lo!” teriak Diani dengan muka kesal dan mata yang mulai berkaca-kaca.Alvin yang mendengarnya hanya menjulurkan lidahnya dengan muka meledek. Kedua sahabat Diani, Kanya dan Pita hanya bisa tersenyum gel
Saat Samudera sedang asik memandang Diani, pemilik mata bulat itu ikut memandang Samudera. Samudera mengalihkan pandangannya dengan perlahan agar tak terlihat mencurigakan. Entah mengapa saling pandang dengan Diani membuatnya berdegup.Tak mendengar sapaannya dibalas, Samudera segera membuka suaranya kembali untuk menutupi rasa salah tingkahnya.“Perkenalkan nama saya Samudera, kalian bisa panggil saya Pak Sam. Seperti kata Pak Budi tadi, saya akan mengajar kalian matematika dan bahasa inggris selama kurang lebih empat bulan ini. Mohon kerjasamanya. Mungkin ada yang mau bertanya?” ucap Samudera dengan senyuman sejuta wattnya yang membuat banyak siswi di kelas itu rasanya kehabisan nafas diberondong oleh senyuman manisnya.“Pak, kok cuma sebentar sih? Ilmunya belum nyerep lho, Pak!” protes Cantika, salah satu siswi yang selalu terlihat centil.“Iya, Paaak!” koor siswi dalam kelas itu.“Seperti yang tadi Pak Budi bilang, saya harus kembali untuk melanjutkan studi saya. Semoga saja ilmu
Embun memandangi foto pernikahan Samudera dan mendiang menantunya yang terpajang di sudut meja ruang keluarga. Senyuman di bibirnya terlihat getir kala menatap foto yang menampakkan kebahagiaan bertahun-tahun lalu.Tak ada yang menyangka bahwa beberapa bulan setelah foto itu diambil, hidup mereka tak lagi sama.Enam tahun kejadian itu berlalu, tapi Samudera, putra bungsunya, masih berkutat dengan masa lalunya. Seolah tak mau beranjak dari sana.“Apa kabar menantu dan cucu Mama? Kalian senang disana?" ucap Embun yang kini sudah mengusap lembut foto Tania yang terlihat cantik dengan gaun mewah yang memperlihatkan perut buncit Tania."Tan, bantu Mama bujuk Sam. Mama benar-benar kasihan liat dia sendirian. Kamu tahu kan, hidupnya seperti robot, Tan. Kantor, rumah, gitu terus. Mungkin sekarang dia gak kerasa kesepian. Tapi, menua sendirian pasti sangat sepi, Tan. Mama–""Ma," sapa Samudera memotong ucapan Embun.Laki-laki dengan tubuh jangkung itu kini sudah berada di belakang tubuh Mamanya
"Segitu ngeganggunya ya gue, Kak?"Pertanyaan itu berhasil membuat Lian menatap sedih adiknya."Lo boleh temui Ruby, kapanpun lo mau. Tapi, please. Kasih gue dan Ruby space, Sam. Dia anak gue. Gue pengen nge-didik dia dengan cara gue. Kak Davino juga pengen banget ngabisin banyak waktu sama anaknya satu itu.""Ruby, gue angkat anak ya Kak. Biar dia ikut gue," mohon Sam."Gak, Sam. Gue masih sanggup dan lebih dari mampu untuk ngurus dia sendiri. Gimana pun dia anak gue dan gue sayang banget sama dia. Gue gak bisa kalau harus pisah dari dia. Jangan egois Sam," ucap Lian dengan tenang walaupun kesedihan mulai menyusup di hatinya."Lo sedih jauh dari Ruby, apa kabar suami gue? Dia selalu ngalah buat apapun demi lo, karena buat dia, elo itu adik kesayangannya. Gue tau semuanya berat buat lo, tapi please, ngerti juga keadaannya.""Hidup gue sepi Kak, kalau gak ada Ruby," ucap Samudera sambil menunduk, menyembunyikan wajah sendunya."Itu kenapa Mama minta lo nikah, Sam. Sekarang ataupun nant
*Diani Pov*Aku beranjak dari tempat dudukku, menatap lelah tumpukan pekerjaan yang rasanya tak ada habisnya. Mati satu, tumbuh seribu. Begitu istilahnya.Setelah kepulanganku dari Bali, pertengkaranku dengan Kak Riani kembali terjadi. Aku kira keinginannya untuk mengakhiri hidupnya telah sirna. Karena selama aku di Bali, tak kudengar kabar dia mengeluhkan keadaannya. Ternyata, aku salah.Kini tak hanya keinginan menyudahi hidupnya, ia malah sibuk mencari laki-laki kurang ajar yang menelantarkan dirinya sendirian setelah kecelakaan yang turut melibatkan manusia terkutuk itu. Sampai sekarang, aku tak habis pikir. Kenapa Kak Riani masih mencari laki-laki brengsek itu? Laki-laki yang beruntung hanya karena truk yang menabrak mobil mereka ikut bersalah. Seandainya itu kecelakaan tunggal. Sudah ku tuntut pria itu, tak peduli berapapun uang yang akan aku keluarkan.Ego prianya yang menjijikkan membuat Kakakku kehilangan dunianya. Tak lagi bisa menapakkan kakinya, bahkan untuk sekedar duduk
*DIANI POV*Hari itu adalah kali terakhir aku bertemu Reval. Tak pernah lagi aku mendengar kabarnya, aku pun tak mau tahu bagaimana kabarnya setelah membuat Kakakku hidup dalam neraka yang ia buat. Enyah dari hidup kami, adalah keputusan terbaik yang pernah dia buat.Mungkin itulah alasannya tak ada perpisahan untuk Kak Riani. Tapi, laki-laki tak tahu malu itu benar-benar keterlaluan. Hingga kini ia pun tak pernah mengucapkan kata perpisahan untuk Kak Riani. Laki-laki pengecut! Bagaimana bisa ada manusia tanpa empati sepertinya? Ya Tuhan, aku benar-benar mengutuk perbuatannya.Mataku kini beralih menatap ke dalam sebuah foto. Foto Keluarga yang berisi ayah, ibu, dan dua anak perempuannya. Senyum mereka tulus. Pasti tak akan ada pikiran, bahwa bertahun-tahun setelahnya, keluarga itu hancur karena ego seorang laki-laki yang hanya mementing
Drrttt.. drrttt..Getaran dari saku Diani membuat gadis itu terbangun. Badannya terasa remuk redam akibat tidur dalam posisi duduk. Ia mencoba untuk meregangkan otot-otot tubuhnya sambil mengerjapkan matanya berharap kesadarannya segera berkumpul.Diani baru mengambil ponselnya setelah getarannya terhenti. Ia melihat pada waktu yang tertera di ponselnya. Pukul tujuh pagi dan nama bos besar pemilik perusahaannya sudah nampak di menu panggilan tak terjawab.Diani hanya menghembuskan nafasnya lelah. Dia menoleh ke arah Kakaknya. Merapikan anak-anak rambut yang dirasa mengganggu wajah Riani. Senyuman tipis menghiasi wajah putih bersih Diani melihat Kakaknya tidur dengan damai.Diani bergegas mandi dan bersiap untuk bekerja lagi. Hari ini ada proyek penting yang haru