Wenda membasuh wajahnya dengan air yang mengalir dari keran wastafel. Ia menatap dirinya yang terpantul dari cermin di hadapannya. Rasa lembut itu masih tertinggal di bibirnya. Ia tak menyangka dirinya akan bertindak hingga sejauh itu. Hanya demi meyakinkan David kalau ia serius menjalani peran dalam sandiwara ini. Wenda tak merasakan getaran apapun dalam dirinya sewaktu mencium David. Seolah ia telah mati rasa. Perasaan itu mungkin telah pergi seiring rasa kehilangan sosok ibunya yang masih koma. Ia sama sekali belum memberi tahu kabar terbaru ini kepada ayah dan adik-adiknya. Wenda berjalan untuk kembali ke kamar tunggu dengan langkah yang begitu lemah. Lengannya tiba-tiba terasa dingin yang menusuk, padahal jendela pada lorong yang ia lalui tidak ada yang terbuka sama sekali. Mengapa malam ini terasa sangat dingin? Setibanya di kamar tunggu itu, terdengar suara tangisan histeris dari seorang wanita. Para tetangga kamar pun sudah banyak yang keluar untuk meliha
Pernikahan itu berlangsung sederhana dalam suasana keagamaan yang khusyuk dan khidmat. Dihadiri oleh sanak saudara dan kerabat dekat saja. Kedua mempelai nampak bahagia di atas pelaminan yang sederhana itu. Namun tak bisa dipungkiri ada segurat rasa kesedihan yang terpancar di mata mempelai wanita beserta keluarga intinya. Tiga hari setelah pernikahan itu berlangsung, musibah kembali datang menerpa keluarga Pak Agus Gunawan. Sang istri tercinta sekaligus ibu dari keempat anaknya telah pergi meninggalkan mereka selama-selamanya. Hati siapa yang tak hancur dan berantakan mengalami duka ini. Semua begitu terpukul, terutama Pak Agus dan Wenda. Mereka berharap Bu Tiwi pergi dengan membawa kedamaian dan ketenangan di sana. Sejak pernikahan, belum pernah sekalipun Wenda menginjakkan kakinya di kediaman keluarga Pramono. Sebelum sepeninggal Bu Tiwi, waktu Wenda telah habis untuk menemani ibunya. Ada sedikit kelegaan yang dirasakan Wenda karena bisa menemani ibunya di waktu-wa
"Welcome home, Wenda. Mama sudah kangen banget sama kamu." sapa Bu Tina ramah dan sumringah. Ia langsung menggandeng lengan Wenda dan menuntunnya untuk masuk ke dalam rumah. "Terima kasih, Ma." balas Wenda ramah dan tersenyum tipis. "Lang, tolong angkat koper Wenda ke kamarku!" pinta David kepada Gilang. "Papa di mana, Ma?" tanya David yang tak melihat sosok Papa. "Papa ya sudah tidur dong, Vid." ucap Bu Tina sambil duduk di sofa ruang keluarga dan diikuti oleh Wenda. David baru sadar, malam ini mereka pulang terlalu larut, hampir tengah malam malah. Butuh waktu lebih panjang untuk pulang ke rumah ini karena Wenda harus menyiapkan baju-baju dan beberapa barang miliknya. Keputusan ini memang mendadak sekali. David pun mengira, Wenda masih akan bersikeras menolak permintaannya. Tetapi, tak disangka ia malah menjadi gadis penurut malam ini. "Maaf ya, Wenda. Mama dan Papa nggak bisa hadir di acara doa bersama malam ini. Papa sedang tidak enak badan, jadi Ma
David menyalakan keran shower dan air pun mengalir deras membasahi seluruh tubuhnya. Kejadian semalam tak mau hilang begitu saja dari ingatannya. Meski air ini mengalir deras mengguyur kepalanya. Wenda si gadis kalem dan pendiam berubah menjadi kuda betina yang liar di kala ia tidur.David ingat betul bagaimana Wenda memeluknya erat seolah tubuh David adalah sebuah guling empuk nan besar. Tidurnya menjadi terganggu, padahal ia baru mau masuk menuju ke alam mimpinya. David berusaha melepaskan pelukan itu, namun yang terjadi kaki kanan Wenda malah naik ke atas kakinya hingga hampir menyentuh kejantanannya. David kesal karena sepele membuat salah satu anggota tubuhnya menjadi tegang malam itu. Ia pun beranjak dari tidurnya dan keluar kamarnya. Mengendap-endap menuju kamar Mila yang sudah ditinggal oleh penghuninya. Ia mengambil guling dan membawa ke kamarnya. Padahal ada selimut di sana, mengapa ia tak mengambilnya kalau kedinginan?David terlalu lelah dan mengantuk m
"David, setelah makan malam kamu ke ruang kerja Papa ya." perintah Pak Johan sambil mengelap mulutnya dengan selembar tisu. "Baik, Pa." sahut David mengangguk. Makan malam hari itu telah selesai. Wenda membantu Bu Tina membereskan piring untuk di bawa ke dapur. Meskipun ada Bi Darmi, Bu Tina tetap melakukan beberapa pekerjaan rumah tangga. Bi Darmi hanya menjadi pelengkap bagi Bu Tina untuk meringankan pekerjaan itu. Mengingat Bi Darmi sudah tak muda lagi seperti dulu, Bu Tina pun inisiatif untuk mengurangi beban pekerjaan itu. Toh, anak-anak Bu Tina kini sudah besar dan mandiri. Berbeda waktu mereka masih kecil, Bu Tina secara khusus menaruh perhatian kepada mereka seratus persen dan Bi Darmi bagian mengurus pekerjaan rumah tangga. "Letakkan saja di situ saja, Non. Biar Bibi yang cuci." pinta Bi Darmi. "Wenda bisa cuciin piringnya, Bi. Biar Bibi istirahat aja." ucap Wenda yang sudah mengambil spons cuci piring. "Jangan, Non! Nanti saya kena tegur Tuan
David masih saja penasaran bagaimana Pak Johan bisa semudah itu mengetahui titik kelemahannya. David pun mencari tahu walaupun papanya sudah melarangnya. Ia menghela napasnya di depan daun pintu ruangan kerja Pak Johan yang sudah tertutup. Bersamaan dengan itu, Wenda keluar dari kamar utama sambil membawa sesuatu. Tatapan mereka bertemu dan Wenda langsung menyembunyikan benda berbentuk kotak itu di balik tubuhnya. David mengernyitkan wajahnya karena penasaran. Wenda kemudian tersadar, untuk apa menyembunyikan benda ini. Toh tidak akan mempengaruhi apapun dalam hubungan ini. Anggap saja ini adalah hadiah dari seorang ibu yang baik hati kepada anaknya. Nikmati saja benda ini yang akan berguna untuk hidupnya kelak bersama orang yang ia cintai. Wenda pun berjalan menuju anak tangga dan menaikinya tanpa mempedulikan David yang masih terpaku di sana. David pun mengekor kepadanya dan bertanya, "Itu apa?""Bukan apa-apa." jawab Wenda tak acuh. David yang penasaran merebut
"Wen, aku minta maaf. Please dengerin penjelasan aku dulu." ujar David sangat menyesal sambil mengikuti Wenda membereskan barang-barangnya. "Aku mau pulang!" kata Wenda ketus. "Jangan, Wen. Aku masih butuh kamu!" ucap David sambil memegang kedua lengan Wenda agar dia berhenti memasukkan baju ke dalam kopernya. Wenda menatapnya tajam dengan mata yang berkaca-kaca, "Butuh untuk nafsumu?""Oh, come on, Wen. Tinggal selangkah lagi aku dapat jabatan itu. Please, hm?" rayu David dengan wajah penyesalannya, "I'm sorry, mulai malam ini aku akan tidur di kamar Mila. Oke?"David mengacungkan jari kelingkingnya. Seperti anak kecil di saat ingin mengikat perjanjian bersama kawan terbaiknya. Tetapi Wenda bukan kawannya. Wenda pun hanya tertunduk dan tak membalas perlakuan David."Tidurlah, aku tidak akan menganggumu lagi." David menurunkan tangannya yang tak dibalas oleh Wenda dan menuntunnya agar duduk di ranjang. Ia pun pergi meninggalkan kamarnya dan berjalan mengendap-endap ke kamar Mila. D
Pak Johan meminta David dan Wenda untuk berkumpul di ruang keluarga usai sarapan di pagi hari itu. Kedua orang tua itu ingin menyampaikan hal penting yang berkaitan dengan kedua pengantin baru tersebut. David dan Wenda pun menurut saja dan mereka berempat di sofa dengan posisi Wenda dan David berdampingan begitu pun Pak Johan dan Ibu Tina. "Wenda, terimalah. Ini adalah hadiah pernikahan untukmu dari Papa." ucap Pak Johan sambil meletakkan kunci mobil di atas meja beserta kelengkapan surat-suratnya. Betapa terkejut hati Wenda ketika mendapatkan hadiah semewah itu dari papa mertuanya. Ia hanya bisa terdiam sambil membelalakkan matanya sedangkan David bersikap biasa saja karena ia sudah mengetahui niat kedua orang tuanya. "Dan ini hadiah pernikahan untuk kalian dari Mama." lanjut Bu Tina sambil meletakkan sebuah amplop bewarna coklat ke sebelah kunci mobil itu. Wenda menduga amplop itu berisi selembar cek dengan nominal yang mungkin cukup besar. "Terima kasih, Pa, Ma. Wenda sudah terla