»»»»
Dava hanya bisa menatap Aqila yang berjalan menjauhinya dalam diam. Aqila akan pergi ke Jepang hari ini, dan itu sudah membuatnya sedih. Dava melangkah pergi dari bandara setelah memastikan pesawat yang di tumpangi Aqila lepas landas. Dengan langkah kaki malasnya, Dava menuju sepeda motor yang terparkir apik di parkiran bandara.
Pulang adalah keinginan Dava setelah mengantar Aqila, sebelum dia melihat mobil Cia yang tengah melaju di depannya. Dava sebenarnya takut pada Cia, takut jika Cia akan pergi selamanya dari kehidupan keluarga mereka, jika Dava ikut campur dengan urusan Cia. Namun, rasa penasaran cowok itu sudah pada batasnya. Cia sudah terlalu banyak menyembunyikan sesuatu darinya dan keluarga mereka. Dava akan mencari tau perlahan tentang adiknya yang sejak dulu selalu menyembunyikan apapun darinya.
"Dia ngapain?" Dava menghentikan laju sepeda motornya setelah melihat mobil yang di tumpangi Cia berhenti. Dava tidak bisa mendengar obrolan Cia dengan seorang pria dewasa di hadapan Cia itu. Jarak mereka terlalu jauh, tapi Dava juga tak mungkin mendekat lebih dari itu. Tentu saja, Cia akan mengetahui keberadaannya dan dia tak akan tau apa yang akan di perbuat Cia selanjutnya.
Cia tampak berjalan di ikuti pria paruh baya itu di sampingnya. Sesekali mereka mengobrol, pria itu tampak memberikan map kepada Cia. Dava menatap bangunan yang Cia masuki. Sebuah hotel bintang lima, sebenarnya kenapa Cia bisa bersama pria paruh baya itu, dan apa yang mereka lakukan di sana?
»»»»
Cia bersalaman dengan Andaru, salah seorang pengusaha yang baru saja mengajukan kerja sama dengan Cia. Keduanya berpisah setelah pertemuan usai, Cia menatap Rudi yang berdiri tepat di sampingnya.
"Pak Rudi kenapa dari tadi diem aja?" tanya Cia kepada Rudi.
"Saya kagum pada Mbak Cia. Masih muda, tapi berpikiran luas!" Rudi tersenyum sambil membereskan barang-barang mereka. Cia hanya terkekeh pelan.
"Gue kan belajar dari Pak Rudi!" Cia berdiri dari duduknya, "gue pulang duluan ya, Pak. Soalnya ada urusan!"
"Iya, Mbak. Saya juga mau balik ke kantor, masih ada kerjaan yang belum sempet saya selesaikan!"
"Ya udah, Pak. Saya duluan!" Cia meninggalkan ruangan itu, dan sialnya dia malah berpas-pasan dengan Dava yang tampaknya memang tengah mencari dirinya. Dava berlari mendekat dan berdiri persis di depan Cia.
"Lo ... lo ngapain di sini?" Dava sudah berputar-putar mencari keberadaan Cia sejak tadi. Akan tetapi, dia tak menemukan keberadaan adiknya itu. Dia sudah bertanya pada Resepsionis, tapi mereka tidak memberikan jawaban dan bahkan meminta Dava untuk pergi secara halus.
"Bukan urusan lo!"
"Siapa dia?" Dava mencegah Cia dengan menahan lengan gadis itu. Cia menatap Dava bingung, "siapa om-Om yang dateng sama lo!" Cia diam. Jadi, Dava melihat Cia masuk ke hotel itu sejak awal.
"Lo pikir?"
"Ci! Lo nggak ngelakuin hal bodoh kan?" Dava mengguncang bahu Cia. Membuat Cia segera mendorong tubuh Dava.
"Lo apaan sih! Jangan ikut campur!" Cia hampir pergi. Namun, Dava kembali menahannya.
"Ci! Kita sodara, dan gue nggak mau lo ngerusak diri lo kayak gini! Pulang sekarang!" Dava menarik Cia agar mengikutinya.
"Lepas!" Cia memberontak. Sayangnya, sepertinya Dava sedang dalam keadaan marah, dan itu membuat cengkeraman tangannya di lengan Cia menjadi sulit di lepaskan. "Sial! Gue bilang lepas!" Cia menarik paksa lengannya. Membuat kulitnya memerah karena Dava masih memegangnya. Dava akhirnya menghentikan langkahnya tanpa melepas genggamannya.
"Cia! Lo boleh benci gue, lo boleh benci bokap gue, gue bakal diem aja. Tapi, kalo lo ngerusak diri lo sendiri, gue nggak akan tinggal diem!" Dava berucap dengan penuh penekanan.
"Maksud lo apa!" Cia menggeleng pelan, "lo perlu psikiater ya!"
"Cia! Ini bukan candaan lagi! Gue serius!"
"Terus?"
"Siapa Om-Om yang masuk ke sini bareng lo tadi? Hah!" Bentak Dava.
"Apaan sih!"
"Cia, jawab!"
"Lo nggak berhak tanya!" Cia ingin pergi meninggalkan Dava. Namun, lagi dan lagi, cowok itu menahan Cia untuk menjelaskan apa yang sedang Cia lakukan di hotel itu.
"Berhak! Gue berhak, karena lo adek gue!"
"Tch, gue udah sering bilang sama lo. Sampe kapanpun, gue nggak akan pernah nganggep lo sodara!"
"Gue tau ... gue tau itu. Tapi, gue nggak mau lo ngerusak diri lo sendiri, Ci. Kalo dengan cara lo mukulin gue lo bisa berhenti, pukul gue sekarang!" Dava menarik tangan Cia dan mengarahkan tangan Cia ke wajahnya, "gue nggak mau, lo jadi cewek nggak bener!" Cia terkekeh pelan. Tidak, itu bukan hanya sekedar terkekeh, melainkan tertawa. Benar, Cia tertawa sekarang.
"Lo beneran butuh psikiater, Dav." Cia menarik tangannya sambil menggeleng pelan. Lalu berjalan melewati Dava begitu saja. Kali ini, Dava tidak mencegah Cia lagi, melainkan mengikuti gadis itu ke arah parkiran. Dava sangat khawatir, terlebih dia baru menyadari, meskipun Radith memberikan uang saku yang banyak pada dirinya dan Cia, mana mungkin Cia bisa sering mengganti mobilnya dengan mudah begitu. Apa Cia mendapatkan uang dari orang lain? Apa Cia benar-benar melakukannya?
»»»»»
To be Continue ....
»»»» Cia duduk malas di balik kursi kemudi. Wajahnya datar sambil menahan amarah yang sudah ada di ubun-ubun. "Turun sekarang!" Cia menatap cowok di sampingnya itu dengan geram, "gue bilang, turun sekarang!" Bentaknya penuh penekanan."Nggak, sebelum lo jelas in apa yang lo lakuin di sini dan siapa Om-Om yang sama lo barusan!""Itu nggak ada urusannya sama lo, jadi sekarang lo turun, atau lo gue gebukin di sini!""Gue pilih yang kedua, asal lo jawab pertanyaan gue!" Cia melotot. Ingin sekali dia memukuli wajah Dava yang menyebalkan itu."Serah lo!" Cia akhirnya diam. Menyalakan mesin mobilnya dan segera meninggalkan parkiran hotel. Dava hanya duduk diam di samping Cia, tak tau apa yang Cia lakukan di hotel tadi. Yang jelas, Dava merasa harus mengawasi Cia mulai sekarang."Lo mau kemana?" Cia tak
»»»» Cia membuka matanya, bersiap mandi untuk sekolah. Saat gadis itu selesai bersiap dan ingin keluar dari kamar, Cia di kejutkan dengan kehadiran Dava yang sudah menunggunya, dengan satu kalimat menyebalkan bagi Cia. "Gue nebeng ya!" "Siapa lo!" Cia langsung pergi meninggalkan Dava. "Motor gue di bengkel." "Terus?" "Ya ... gue nebeng sama lo lah!" "Ogah!" "Ayolah, Ci. Sekali ini doang! Ya mungkin pulang juga!" "Taxi banyak!" Cia memencet tombol lift yang berada di depannya. Saat terbuka, ada Radith di sana. Bersama Diana yang juga sudah siap dengan baju kerjanya. "Gue maunya sama lo!" Cia tak menjawab lagi. Memilih diam sambil menunggu lift sampai di lantai dasar. Dia tak suka berdekatan dengan Radith, apalagi Diana. &nbs
»»»» Suara dari seberang telfon masih terdengar. Namun, Cia sudah ingin mengakhiri panggilan itu. Ceramah panjang dari Ferry sudah dia dengar semenjak kemarin, Cia sangat pusing mendengarnya. "Besok malem gua ada acara!" Tanpa maksud tujuan, Cia mengatakan hal itu. 'Acara apa? Paling juga nongkrong sama Rajawali!' "Enggak!" Elak Cia ketus. 'Terus?' "Acara makan malem keluarga!" Cia mengutuk dirinya dalam hati. Namun, beberapa saat kemudian, ide brilian merasuki otaknya. 'Boong banget! Udah nggak usah alasan. Pokoknya, besok malem kita berangkat, jam 8 lo harus udah sampe bandara.' "Gue nggak boong bang! Besok gue vc deh kalo nggak percaya!" 'Gue nggak percaya, bisa aja lo boongin gue, nyewa orang buat jadi sodara sama bokap lo. Gue kan nggak pernah ket
»»»» Radith tersenyum menyambut kedatangan relasi bisnisnya yang sudah membuat janji makan malam bersama keluarganya. Sepasang suami istri dan tiga anaknya datang secara bersamaan."Maaf kami terlambat!" Pria itu menyapa lalu bersalaman dengan Radith."Santai saja, Pak. Kami juga belum lama." Radith mengangguk dan mempersilahkan pria itu untuk duduk. "Nah, Ma. Perkenalkan, beliau adalah Pak Bernard Knowles. Rekan bisnis Papa.""Selamat malam, Pak Bernard," sapa Diana sambil tersenyum ramah."Dia istri saya, Diana. Dan kedua anak saya, Dava dan Cia." Cia langsung memalingkan wajahnya.'Mampus!' Batinnya berteriak."Malam, Pak," sapa Dava ramah. Sedangkan Cia masih menunduk. "Pst! Ci, Cia!" Dava menepuk lengan Cia pelan. Cia mengangkat kepalanya sambil tersenyum canggung.
»»»»"Pak Ferry menghubungi saya, dan berkata bahwa saya harus menjaga privasi dari client. Saya pikir, itu tentang Pak Radith. Ternyata, justru anda Mrs. Carlstie." Cia tersenyum canggung."Maaf ya, Pak. Tapi, Bapak nggak bilang sama om Radith kan?""Tenang saja, saya bisa menjaga rahasia.""Syukurlah.""Kamu hebat ya, saya jadi merasa semakin bersemangat untuk bekerja. Dulu, saat saya seusia kamu, yang saya pikirkan hanya main!" Bernard dan Cia terkekeh bersama."Tapi, kedepannya tolong jangan beri tahu siapa-siapa tentang saya ya, Pak!"
»»»» "Aduh!" Gevin sudah bersedeku di lantai dengan tangan yang terkunci ke belakang. "Jangan karena bokap lo nitipin lo ke gue, lo bisa seenaknya!" Cia mendorong Gevin hingga cowok itu terjatuh ke lantai. Sedangkan Cia langsung berlalu pergi begitu saja, harinya begitu sial.
»»»»» Pagi di sekolah yang damai. Semua orang tampak senang karena sepertinya si pentolan sekolah tidak masuk sekolah. Walaupun semua orang tampak senang, lain hal dengan cowok bermanik mata abu-abu yang kini duduk di tepi lapangan basket. Dia bersama sahabatnya, Iqbal sedang menghabiskan waktu hanya duduk diam sambil menunggu bel pelajaran di mulai. Iqbal menatap Dava dengan bingung, sejak beberapa hari lalu, Dava tampaknya sering melamun dan sering tidak fokus. "Cia?" Pertanyaan singkat dan tidak jelas Iqbal justru di tangkap jelas oleh Dava. Cowok manik abu itu mengangguk, lalu menghela napasnya, "udah lah, dia itu memang susah di tebak. Gue denger, kemaren dia bikin rusuh di kantin!" "Gara-gara gue!" Dava menatap kunci mobil milik Cia di tangannya. Benar, kemarin dia dan Cia berangkat bersama dan pada akhirnya, Cia meninggalkan kunci mobilnya sekali
»»»»"Dava!" Radith berlari mendekati Dava yang masih duduk di depan ruang Operasi."Pa!" Cowok manik abu itu segera berdiri."Apa yang terjadi?" Radith bertanya pada Kasim dan Naida yang masih menemani Dava."Maaf, pak. Saat ini, Cia sedang di operasi." Radith tak mengerti apa yang di ucapkan Kasim."Apa maksud Bapak?""Dokter bilang, pisau yang menusuk perut Cia, mengenai organ vitalnya, dan saat ini Cia harus di operasi!" jelas Kasim. Radith menatap Dava yang sudah kembali duduk di kursinya, seragam sekolahnya masih berlumuran darah juga kedua tangannya yang tampak bergetar."Dava ..." Radith duduk di samping Dava, lalu merangkul bahu puteranya itu."Pa ...!" Dava langsung memeluk Radith dengan erat. Dava masih tak percaya, beberapa jam yang lalu, adiknya berbaring di pangkuannya denga