Share

Bag 09. Ajakan.

»»»»

    Cia membuka matanya, bersiap mandi untuk sekolah. Saat gadis itu selesai bersiap dan ingin keluar dari kamar, Cia di kejutkan dengan kehadiran Dava yang sudah menunggunya, dengan satu kalimat menyebalkan bagi Cia.

"Gue nebeng ya!" 

"Siapa lo!" Cia langsung pergi meninggalkan Dava. 

"Motor gue di bengkel."

"Terus?"

"Ya ... gue nebeng sama lo lah!"

"Ogah!"

"Ayolah, Ci. Sekali ini doang! Ya mungkin pulang juga!"

"Taxi banyak!" Cia memencet tombol lift yang berada di depannya. Saat terbuka, ada Radith di sana. Bersama Diana yang juga sudah siap dengan baju kerjanya.

"Gue maunya sama lo!" Cia tak menjawab lagi. Memilih diam sambil menunggu lift sampai di lantai dasar. Dia tak suka berdekatan dengan Radith, apalagi Diana.

"Kalian sudah mau berangkat?" Pertanyaan Radith membuat Dava segera menoleh.

"Iya, Pa. Tapi Cia nggak mau nganter Dava!" Dava manja hanya pada Radith. Dia itu anak satu-satunya Radith. Pengusaha terkaya no 3 di Indonesia yang namanya sudah meradang kemana-mana.

"Memang motor kamu kemana?" Diana yang bertanya. Sebenarnya, sejak dulu Dava bingung melihat interaksi antara Diana dan Cia. Benar-benar sangat aneh.

"Lagi di beng ... kel! Eh cia tunggu!" Cia berlari keluar setelah pintu lift terbuka. Tak lupa dia menendang tong sampah yang berada di dekat pintu lift untuk menghalangi Dava yang ingin mengejarnya. Saat Dava berhasil melompati tong sampah itu, Cia sudah keluar dari rumah, dengan suara mobilnya yang menjauh.

"Aaah, Cia!" Teriak Dava kesal. 

"Ya sudah, kamu pakai mobil Mama saja!" Diana memberikan kunci mobil miliknya.

"Terus, Mama gimana?" Dava menatap Diana ragu.

"Ada papa kamu, khawatirkan apa!" Diana terkekeh pelan. Radith tersenyum, lalu merangkul istrinya.

"Mama benar, sudah sana kamu berangkat. Nanti terlambat!" 

"Ya udah, Pa, Ma. Dava berangkat dulu!" 

   Dava segera berangkat ke sekolah, mengendarai mobil SUV milik Diana. Dava sangat menyayangi Diana, dia kagum pada Mama tirinya itu, dia sosok yang mandiri dan juga tangguh. Walaupun Papanya menyarankan Diana untuk mempekerjakan seorang supir, Diana selalu menolak dan berkata bahwa itu tidak perlu, Diana bisa menyetir sendiri dan dia lebih nyaman bila mengendarai mobilnya sendiri. Beda dengan Radith yang selalu bersama supir.

   Sesampainya Dava di sekolah, cowok itu berapas-pasan dengan Yejun. Cowok itu masih memakai mobil hammer miliknya, dengan gaya ala-ala korea yang memang cocok untuknya.

"Baru dateng juga?" Dava menyapa.

"Iya!" Yejun mengangguk kaku. Dava pernah menolongnya sekali saat Cia memukulinya, jika tak ada Dava, mungkin Yejun sudah babak belur di hajar Cia.

"Lo tetangga kelas gue, kalo nggak salah." Dava membenarkan letak tas ransel yang dia pakai.

"Kayaknya!" Dava terkekeh.

"Santai aja kali. Gue bukan Cia, nggak usah kaku gitu!" Yejun tersenyum canggung. Dia juga ingin punya teman di sekolah itu, tapi sifat cuek dan dingin yang sudah ada pada dirinya, membuat teman sekelas Yejun enggan untuk dekat dengannya, terlebih, sesaat setelah dirinya masuk, dia sudah membuat masalah dengan Cia.

"Gimana sekolah di sini?" Keduanya mengobrol sambil berjalan beriringan menuju kelas mereka yang bersebelahan.

"Lumayan ... aneh!" Dava tertawa, lalu menepuk bahu Yejun.

"Gara-gara Cia? Dia itu emang aneh sih, tapi sebenernya dia baik, kok." Yejun hanya mengangguk, lalu menghentikan langkahnya, lalu menatap Dava.

"Baik ... ya!" Dava ikut menoleh ke depan. Cia sedang menyudutkan seorang gadis di dinding. Gadis itu tampak ketakutan sambil terus menatap mata cia dengan tubuh gemetar. Dava segera berlari mendekat. "Dia bakal minta maaf lagi buat adiknya?" Yejun sebenarnya tidak suka sifat Dava. Kenapa Dava harus meminta maaf atas kesalahan yang bukan di sebabkan olehnya.

"Cia! Lo ngapain?" Cia menoleh, mendengus dan langsung pergi begitu saja. Bosan rasanya membuat keributan dengan Dava. Dava membiarkan Cia berlalu, dan mendekati gadis yang sedang tersudut tadi. "Lo nggak apa-apa?" Gadis itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Namun, sadar saat melihat Yejun juga ada di belakang Dava.

"Ng.nggak apa-apa kok, Kak!"

"Kak? Lo kelas 10? Jarang banget Cia bikin masalah sama adek kelas."

"Eh' gue kelas 11 kok!" Gadis itu yang tadinya bersandar pada tembok langsung berdiri dengan tegak. Tingginya hanya sebatas dada Dava. Lebih kecil dari pada Cia, maka dari itu Dava pikir, gadis itu adalah adik kelas. 

"Oh, seangkatan!" Dava jadi canggung. Karena bertubuh kecil, jadi Dava pikir gadis itu adik kelasnya.

"Iya, gue sekelas sama Cia, bahkan duduk semeja!" Kian berucap ceria, sepertinya ketakutannya sudah hilang. Mungkin berkat kehadiran Yejun yang masih berdiri di belakang Dava. Yejun juga penasaran, mengapa Cia membully teman sekelasnya.

"Lo temen sekelasnya Cia? Lo di apain sama dia?"

"Gue tadi cuma minta di anter ke perpus, tapi dia nggak mau." Dava menatap Kian sesaat lalu menggeleng pelan.

"Lo jauh in Cia deh!"

"Kenapa?" Kian menatap Dava dengan tak suka, tak seceria sebelumnya, "kenapa semua orang bilang hal yang sama? Cia juga butuh temen, pasti dia juga kesepian. Kalian nggak tau apa-apa soal Cia! Walaupun dia nyimpen kesedihannya sama kelakuannya, sebenernya dia itu kesepian dan menderita!" Dava menatap Kian datar. Mana mungkin seperti itu, Cia itu dari lahir memang sudah brutal.

"Gue cuma nggak mau kalo lo dapet masalah karena Cia." Cowok manik abu itu menepuk bahu Kian sekali, "kalo lo mau, gue nggak bisa apa-apa. Tapi, gue kasih saran, jangan pernah ucapkan kalimat itu depan Cia, adek gue itu nggak bakal terima omongan gituan!"

"Eh' L.lo kakaknya Cia?" Kian menutup rapat bibirnya, Dava mengangguk sambil tersenyum.

"Kalo gitu, kita duluan! Ayo," ajaknya pada Yejun yang sudah siap melangkah di samping Dava. Kian merutuki kebodohannya. Bukankah apa yang barusan dia lakukan itu nekat? Dia mengatakan hal aneh di depan kakak orang yang sedang dia bicarakan.

"Kian bodoh!" Kian memukul kepalanya sendiri. Harusnya dia tau kalau Cia memiliki Kakak di sekolah itu. Habisnya tidak ada yang memberi tahu dirinya.

»»»»

    Malam ini Cia sedang malas keluar. Bukan malas, tapi dia sedang menghindari kejaran Ferry yang terus-terusan meminta dirinya untuk menghadiri meeting di luar negri bersama pria itu. Besok malam mereka berangkat, tapi Cia memang tidak ingin pergi, alhasil dia memilih tinggal di rumah malam ini agar Ferry tidak mendesak nya terus menerus.

"Tumben!" Dava langsung duduk di samping kursi Cia. Saat ini, Cia memang sedang duduk di kursi makan, sambil mengutak atik laptop di depannya.

"..." seperti biasa, Cia tak menanggapi, justru sibuk menonton. 

"Nonton apa?" Dava ikut mendekat dan melihat tontonan adiknya. Film bergenre action tengah terputar di laptop adiknya. "Seru juga, ikutan dong!" Cia sedang malas berdebat, dia hanya menggeser laptop miliknya agar Dava tidak bisa melihat tontonannya.

"Kalian di sini!" Radith duduk di kepala kursi. Menatap kedua anaknya yang tampaknya sedang berebut laptop.

"Papa, sini Pa, nonton bareng sama Cia!" Dava menginterupsi Radith agar mendekat. Radith hanya menatap putrinya dalam diam. Sedikit canggung karena tiba-tiba Cia menyerahkan laptop miliknya begitu saja kepada Dava.

    Cia akhirnya mengalah dan ingin meninggalkan ruang makan saat suara Radith menginterupsi. "Besok malam, apa kamu ada acara?" Pertanyaan yang di ajukan Radith membuat Cia menoleh. 

"..."

"Jika kamu tidak memiliki acara, saya ingin mengajak kamu makan malam bersama relasi bisnis saya. Mereka ingin bertemu kalian!" Radith menatap kedua anaknya sambil tersenyum.

"Nggak tertarik!" Cia berbalik, mengambil laptop yang masih ada di depan Dava lalu membawanya ke kamar. Dava mendengus kesal.

"Gue juga mau ikut nonton Cia!" Dava berlari mengejar Cia. Radith menghela napasnya, sulit sekali menaklukan Cia, padahal 10 tahun sudah berlalu, tapi Cia masih saja menjauhi dirinya, menjaga jarak bahkan menghindarinya. Dia hanya ingin dekat dengan anak tirinya itu, Radith juga menyayangi Cia sepeti dirinya menyayangi Dava.

»»»»

To be Continue .....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status