Pagi ini aku memutar otak bagaimana caranya agar bisa mengungkap siapa Fani. Aku men-stalking I*******m Mas Rizki siapa tahu ada akun yang memberiku petunjuk. Namun hasilnya nihil, following I*******m suamiku tak lain hanyalah rekan-rekan kerjanya yang juga ada di list followingku. Lalu dari mana mereka berkenalan?
"Coba cek followersmu, Mbak Fat," saran teman arisanku di grup ibu-ibu arisan. Aku memang mengungkapkan rasa resahku di grup arisan ibu-ibu, grup chat yang juga biasa digunakan sebagai tempat untuk membicarakan urusan perempuan.
"Benar juga ya, Mbak," tanggapku.
"Iya, cek satu-satu. Kalau ada yang nggak dikenal sama Mbak Fatma, kemungkinan akun itu perlu diawasi," balas yang lain. Kebetulan aku bukanlah perempuan sosialita yang gila sosmed, followersku hanya beberapa.
"Ayo, Mbak. Semangat, jangan menyerah. Dulu Mbak Tiara juga bisa," ujar yang lain.
Beberapa bulan sebelum aku tertimpa ujian ini, teman seusiaku juga pernah mengalami hal yang sama. Tiara, perempuan 27 tahun yang sudah dikaruniai anak tiga pernah menerima perlakuan tidak menyenangkan dari suaminya. Keputusannya untuk menikah muda dan menjalani kehidupan rumah tangga serta memiliki suami yang sudah mapan, tidak lantas membuat hidupnya mulus begitu saja.
Teman-teman arisan membantunya sebisa mungkin, waktu itu aku juga turut andil walaupun usia kandunganku masih terlalu dini. Wanita simpanan suaminya bukanlah orang yang kekurangan materi, Ia wanita karir yang sudah mapan serta berpendidikan.
Perjuanganku dan teman-temanku tidaklah mudah, selain wanita itu pandai bersilat lidah Ia juga memiliki jabatan yang strategis di tempatnya bekerja. Namun, kami tetap bersikukuh untuk memisahkan hubungan gelap itu. Kasihan Tiara, Ia bukanlah perempuan yang tepat untuk mendapatkan ketidakadilan.
Tiara bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga, Ia mengasuh anak dan mengurus pekerjaan rumah karena suaminya bekerja seharian. Celakanya, kesempatan yang minim untuk berkumpul dengan suaminya justru dimanfaatkan oleh wanita lain.
"Bagaimana Mbak Fat, nemu akun yang mencurigakan tidak?"
Chat masuk dengan notifikasi yang nyaring mengembalikan konsentrasiku. Aku kembali mengamati satu persatu akun perempuan yang tidak kukenal.
"Ada beberapa sih, tapi semuanya berhijab, kok. Rasanya nggak mungkin ada di antara mereka," balasku dengan emoticon senyum.
"Lho, dicheck dulu Mbak. Ini kita bukannya suudzon, tapi kritis. Coba profil-profilnya kirim ke sini," balasanku mendapat komentar dengan cepat.
"Mbak Fatma, semangat ya. Saya pernah mengalami hal ini. Rasanya memang berat terutama untuk mengontrol emosi. Apalagi kondisi Mbak Fatma yang sedang mengandung dedek bayi. Jangan menyerah Mbak, kami bantu Mbak Fatma semaksimal mungkin," chat Tiara panjang lebar.
"Iya, makasih Mbak Tir. Nano-nano rasanya, baru kali ini bahagiaku ternodai rasa kecewa, huhu," tanggapku.
Teman-teman arisanku ramai membahas siapa kemungkinan pemilik nama Fani, sementara aku tidak tahu harus berbuat apalagi. Aku hanya mengelus-elus perutku sambil menyimak diskusi mereka. Terpaksa kukirimkan hasil export chat Mas Rizki dengan Fani kepada mereka.
"Kemungkinan dugaanmu kalau anak ini masih sekolah bisa benar, Fat. Dilihat dari bahasanya masih alay-alay gitu,"
"Oh, aku kayaknya tahu drama hubungan apa yang dianut anak ini sama suamimu, Fat. Itu cewek-cewek materialis yang mimpi jadi simpanan orkay,"
"Maksudnya? Apa suamiku juga punya maksud begitu? Ini berarti suamiku punya simpanan?"
Tak ada yang membalas hampir dalam satu menit. Tiara sedang mengetik, semoga chatku tidak menggugah luka batin masa lalu Tiara yang mungkin sekarang belum sepenuhnya pulih.
"Kubaca-baca di artikel dan di novel-novel memang ada beberapa yang menyuguhkan begitu, Mbak Fat. Selir jaman now,"
Obrolan di chat sedikit bergeser membahas 'selir jaman now a.k.a simpanan' dan bacaan-bacaan yang membahayakan pola pikir perempuan. Ternyata, ada rasa bangga yang dialami sebagian perempuan ketika Ia dimiliki lelaki yang entah sudah menikah atau belum, yang penting mendapat jatah jajan dan naungan seperti halnya seorang isteri.
"Mbak Fat, coba cek semua followermu yang juga follow suamimu selain kami. Tolong yang teliti ya, Mbak. Aku seperti menemukan sesuatu tapi nanti takutnya cuma dugaan," chat yang lain setelah beberapa menit.
Dengan enggan, aku membuka I*******m lagi. Ada satu perempuan yang memang menjadi follower suamiku, tapi bukan bernama Fani. Apakah mungkin nama "Fani" hanya nama samaran yang Ia gunakan dengan suamiku? Aku men-screenshot bukti following-nya karena sudah malas menguras pikiran dan perasaan lagi.
"Nah, yang kutemukan juga itu."
Grup chat kemudian kembali ramai fokus membahas anak itu, mulai dari kemungkinan Ia mengenal suamiku, kemungkinan kota tinggalnya, hingga membahas seragam sekolah yang dikenakan di postingannya.
Aku melihat fotonya, Ia memang cantik. Aku tahu Ia masih belia namun wajahnya begitu terawat dan menggoda. Apakah Engkau Fani yang menggoda suamiku? Ya Alloh, mengapa gadis berjilbab sepertimu mau melakukan itu semua?
Ketika Mas Rizki pulang kerja, kami saling diam. Aku tidak memiliki hasrat untuk menyambut dan menyapa kehadirannya. Aku bukan hal penting bagi Mas Rizki, aku hanya perempuan yang kebetulan berstatus sebagai isterinya. Ternyata, aku bukanlah hal yang utama. Perih rasanya goresan dalam ulu hatiku. Setelah mengetahui ini semua, aku hanya bisa menahan air mataku di depan Mas Rizki.
"Kamu kenapa toh, Fat? Sakit?" Tanya Mas Rizki. Aku hanya menggelengkan kepala.
"Kok nggak masak?"
Masak? Untuk apa masak jika pada kenyataannya Engkau sudah makan bersama wanita lain di luar sana, Mas?
"Mas, perempuan yang chatting sama Mas Rizki masih sekolah? Apa aku terlalu dewasa untuk menerima ungkapan kasih sayangmu, Mas? Jadi, Engkau mencari wanita yang jauh lebih muda dariku? Atau karena aku sedang hamil jadi Mas Rizki melampiaskan nafsu ke wanita lain?!" Teriakku.
Kepalaku serasa pecah, tidak ada jawaban dari Mas Rizki sama sekali. Aku hanya dianggap sebagai anak kecil yang merajuk, mengapa suamiku begitu bebal pada ucapanku, Ya Alloh?
"Atau jangan-jangan Mas Rizki sudah menikahi anak itu di belakangku diam-diam?"
"Tidak, Fatma! Demi Alloh saya bersumpah, isteriku hanya kamu, aku tidak pernah melakukan ijab qabul pernikahan selain denganmu," sahut Mas Rizki. Suaranya tegas, Ia membawa asma Alloh, Ia bersumpah. Aku terdiam beberapa saat sebelum benakku terus berusaha mengorek apa yang Mas Rizki lakukan di belakangku.
"Berarti benar ada ikatan di luar nikah antara anak yang bernama Fani dengan Mas Rizki?"
***
"Mas, bisa tolong jawab pertanyaan saya?" Ucapku setelah menghembuskan nafas. "Aku hanya membantunya, Fatma. Tidak ada hal lain yang kuinginkan darinya karena Engkau bagiku sudah cukup," ucap Mas Rizki dengan memandang wajahku. "Tapi … apa maksud Mas Rizki membantu anak itu? Sudah jelas-jelas Ia menggoda Mas Rizki," ucapku dengan gamblang. Mas Rizki menyipitkan netranya, "Atas dasar apa Kau berkata seperti itu, Fatma?" "Atas dasar chat Fani dan Mas Rizki. Mohon maaf Mas, aku sudah mengetahui semuanya termasuk pembahasan-pembahasan yang asing bagiku. Aku juga meminta bantuan teman-teman untuk menyelidiki si Fani," paparku dengan kesal. "Astaghfirullah, Fatma! Kau membeberkan urusan rumah tangga kita kepada orang lain?" Mas Rizki tidak terima dengan apa yang kulakukan. Aku memang keliru, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak memiliki orang lain untuk sekedar bercerita selain ibu-ibu satu grup arisan. Membeberkan urusan rumah tangga adalah hal yang sangat tabu, apalagi membuka aib s
Aku melangkah perlahan karena beban perutku tak mungkin bisa diajak berjalan tergesa-gesa. Satpam yang berdiri di samping pintu gerbang menyapaku ramah. "Ada yang bisa dibantu, Bu?" "Saya mau menemui guru BK dan Wali kelas XI Adm 16," jawabku langsung menuju inti. Satpam tersebut terlihat bingung. Mungkin kedatanganku terlihat aneh. Di saat yang sama, handphone-ku berdering. "Apakah Ibu sudah membuat janji dengan beliau-beliau?" Tanya Satpam. "Belum, Pak," "Ibu wali murid?" "Bukan, tapi saya ada urusan dengan salah satu murid di sini," jawabku lagi. Satpam terlihat sedikit terkejut. Handphone-ku berdering lagi. Tiara menelpon. Aku mematikan teleponnya dan mengirimkan pesan bahwa aku sudah sampai di sekolah tujuanku. "Oh, kalau begitu mari saya antar, Bu," Ia membukakan pintu gerbang dan memanduku menuju ruang BK. Ia juga menyampaikan maksudku secara singkat kepada guru BK tersebut. Guru BK menyilakan aku untuk duduk. "Mari, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" "Selamat pagi, Bu.
"Hah? Saling menguntungkan bagaimana?" Timpal Guru BK."Mas Rizky harus memenuhi kebutuhan saya kalau mau tidur dengan saya," jawab Fani sangat ringan."Tidur?" Kali ini Bu Zara mengeluarkan suara. "Iya," tegas Fani.Perutku sudah tidak tahan lagi, akhir-akhir ini tubuhku memang sering lemas, tidak sekuat sebelumnya. Aku kehilangan mood untuk debat kusir dengan anak tidak tahu diri ini, biarlah aku menunggu apa yang terjadi selanjutnya.Guru BK menarik nafas sebelum Ia pamit ke ruangan lain. Bu Zara mengambil kesempatan untuk bicara pada Fani."Falen, sejak kapan kamu menjalin hubungan seperti itu?""Belum lama, kok. Saya tahu sekitar setengah tahun yang lalu, Bu," jawabnya seperti sudah akrab dengan Bu Zara.Guru BK kembali masuk ke ruangan. Wajahnya sedikit lega. "Nah, orangtua Falen sebentar lagi ke sini," ujarnya."Apa Bu? Mengapa harus bawa-bawa orangtua saya? Ini kan urusan saya bukan urusan orangtua," teriak Fani. Kami bertiga hampir terlonjak bersamaan."Falen, duduk dulu Nak
Setelah peristiwa di sekolah yang sangat tidak anggun itu, aku fokus mengawasi pergerakan Mas Rizki. Wanita asing yang kurang pendidikan dan tidak punya tata krama, memang susah fix dikeluarkan dari sekolah, namun aku justru harus lebih waspada. Pasalnya, Mas Rizki dituntut orangtua Fani untuk bertanggung jawab menikahinya. Mereka menemui Mas Rizki di kantornya. Ini tidak bisa diterima oleh akal sehatku, "Siapa yang salah dan siapa yang dituntut?" "Fatma," panggil Mas Rizki suatu hari. "Apa Mas? Pokoknya aku tidak sudi bersanding dengan anak itu! Kalau Mas Rizki memang lebih cinta sama anak itu dari pada aku, aku rela dicerai. Lebih baik pisah dengan laki-laki yang mengkhianati agamanya." Sahutku sebelum aku mendengar alasan apapun dari Mas rizki. "Aku sudah terlanjur salah. Tapi bagaimanapun, Fani juga sudah sah untuk menikah, Ia sudah baligh," tukas Mas rizki. "Aku tidak tahu bagaimana jalan pikiran Mas Rizki, yang perlu Mas Rizki pertimbangkan sebelum memutuskan apapun adalah
Perempuan manapun yang mendapati suaminya selingkuh pasti akan sakit hati, itulah yang sedang kurasakan. Tidak hanya aku, perempuan-perempuan yang berakal sehat dan telah mengetahui semua ini merasa geram. Aku benci pada wanita yang telah melakukan ini padaku, tapi bukan berarti aku membela Mas Rizki. Aku juga sangat sakit hati pada apa yang Mas Rizki lakukan padaku. Apakah ketika di luar sana Ia melupakanku yang sedang menunggunya pulang? Apakah Ia tidak ingat akan buah cintanya yang ada di rahimku? Pembicaraan mengenai poligami yang dilontarkan Mas Rizki bagaikan anak tangga yang meruntuhiku saat aku terjatuh. Bagaimana bisa Ia berpikir untuk poligami dengan perempuan yang tidak punya akhlak? Hanya untuk menutupi kelakuan yang sama-sama bejad? Walaupun aku memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya hidupku sendiri, namun aku tidak ingin menyerah begitu saja saat wanita lain berusaha merebut kasih sayang suamiku. Aku punyak hak untuk bersuara dan hak untuk tidak setuju jika mas Ri
Seperti saran Mas Hikam dan Mbak Salis, malam ini aku menyiapkan makan malam dan mengajak bicara suamiku secara serius. Hati ini rasanya sudah lelah, jiwa ini rasanya goyah, aku berkali-kali menghela nafas dan mengeluarkannya pelan-pelan. Saat Mas Rizki tiba di rumah, aku langsung memberitahunya bahwa malam ini aku memasak. "Tumben masak," ucapnya. Kuabaikan tanggapan menohok itu karena tujuanku malam ini adalah membicarakan komitmen Mas Rizki sebagai suamiku. "Ada hal yang akan kutanyakan padamu, Mas. Tidak banyak. Hanya saja, aku butuh jawaban langsung darimu," aku langsung menuju inti pembicaraan. "Hmm. Jawaban yang bagaimana?" "Jawaban yang paling dalam dari lubuk hati Mas Rizki. Mas sebenarnya pilih aku atau anak itu?" "Mengapa tiba-tiba mengungkit hal ini lagi, Fat? Kamu sudah tahu aku tidak lagi punya hubungan apapun dengan anak itu …." "Karena aku telah mengetahuinya. Tolong dijawab Mas, ini pertanyaan titipan dari Mas Hikam," ucapku tegas. "Tidak ada alasan bagiku untu
Akhirnya saat yang sangat mendebarkan di hidupku tiba, aku berbaring dengan nafas terengah-engah setelah pembukaan kelima. Hari ini aku berjuang untuk melahirkan pangeranku. "Lho, di mana Rizki? Kok sampai sekarang nggak datang-datang?" kudengar suara Ibu di luar kamar. "Sudah dikabarin, Bu. Mungkin lagi sibuk di kantornya," Mbak Salis menjawab pelan namun masih terdengar olehku. Aku menghembuskan nafas kasar. Bayangan melahirkan didampingi suami seperti adegan romantis ala film dan novel-novel telah sirna. Kutepiskan segala harapan semu yang tak semua perempuan mendapatkannya termasuk diriku. "Sudahlah, Fatma. Sekarang lebih baik memperjuangkan anakmu dulu," batinku. Kukerahkan seluruh tenagaku, kupertaruhkan jiwa dan ragaku demi kehadiran amanah Alloh yang telah berada di rahimku selama sembilan bulan. Rasa sakit, perih, lelah, dan semua yang mendera diriku tak kuhiraukan. Saat ini, aku hanya ingin bayiku lahir dengan selamat. Bidan dan perawat dengan sabar membantuku dan member
Pangeranku sudah lahir, semoga Kau jadi anak sholeh dan cerdas ya, Nak. Sembilan bulan Bunda mengandungmu dan selalu bersamamu; akhirnya Bunda bisa melihat wajahmu, mendengar suaramu, dan menggendongmu."Fat, airnya jangan terlalu panas," ucap Ibu saat aku menyiapkan air untuk memandikan anakku."Iya, Bu," sahutku.Ibu sibuk menimang pangeranku sembari menungguku selesai menyiapkan air. Sesuai rencana, Ibu dan Bapak turut tinggal di rumah Mas Hikam sampai urusanku dengan Mas Rizki selesai."Bu, gimana acara sholawatnya?" Sela Bapak yang baru saja kembali dari pasar terdekat. "Lho, coba tanya Hikam maunya gimana," tukas Ibu."Fatma masih ada tabungan, Bu. Jangan khawatir, Ibu sama Mbak Salis tinggal list keperluan acaranya saja," aku menimpali mereka."Maksudnya ngundang warga sini buat acara sholawatan perlu diatur sama Hikam, Fat. Ya, minimal Hikam yang sudah menetap di sini diajak rembugan gitu," ujar Bapak."Nah, urusan ngundang warga kita serahkan ke Hikam, uang Fatma bisa kita p