“Ayahku, Danu,” jawab Rehan dan Andra manggut-manggut mendengarnya. “Danu? Om sangat yakin. Kamu pasti lebih mirip dengan ayah Danu. Hidungmu, matamu, bibirmu dan cara bicaramu juga pasti lebih mirip dengannya,” tebak Andra yang justru dibalas gelengan kepala oleh Rehan. “Tidak. Kata Mama, aku tidak mirip dengan ayah Danu sama sekali. Aku juga sering lihat foto aku sama ayah. Tapi kami tidak mirip.” Alis Andra terangkat sebelah begitu mendengar penuturan yang meluncur dari bibir mungil milik bocah kecil di depannya itu. “Oh iya. Berarti kamu mirip dengan Mama kamu. Kalau boleh Om tahu, siapa nama Mama kamu?” tanya Andra lagi. “Nama mama aku, Al—“ DREETT! DREETT! Ponsel Andra yang bergetar di balik saku celana bahannya, membuat mulut Rehan yang hendak mengucapkan nama Alana, kini terkatup kembali. Rehan memerhatikan Andra yang merogoh sakunya, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinga kanan. “Iya, kenapa?” tanya Andra dingin saat tahu yang menelponnya adalah Alan
Setelah serangkaian meeting mingguan yang selesai dilaksanakan pagi ini. Andra kembali ke dalam ruangannya. Sedangkan Alana sudah menghempaskan pantatnya lagi di atas kursi. Dan Alana kembali berjibaku dengan pekerjaannya yang sudah menunggu di meja kerjanya.Namun saat itu pintu lift berdenting. Dan Alana menahan napas saat melihat siapa yang datang.“Heh, Alana! Buatkan kopi untukku dan antarkan ke ruangan Andra. Ingat! Kopinya jangan terlalu banyak gula. Aku tidak suka dengan rasa kopi yang terlalu manis! Cepat buatkan!” perintah Nita seenaknya.Alana yang sadar jika ia hanyalah bawahan Andra, sedangkan Nita adalah ibu kandung lelaki itu. Maka mau tak mau Alana hanya bisa menganggukan kepalanya.“Baik, Nyonya. Akan aku buatkan kopi untuk Anda,&
“Kamu mandilah, Alana. Biarkan Rehan istirahat. Ibu mau pergi ke dapur dulu untuk menyiapkan makan malam,” ucap Winarti yang hanya dibalas dengan anggukan pelan oleh Alana.Kemudian wanita paruh baya itu kini berlalu keluar dari kamar. Menyisakan Alana yang memandangi wajah pulas Rehan. Tangan Alana terulur untuk mengusap pelan rambut yang hitam legam itu. Wajah Rehan sungguh tampan meski matanya sedang tertutup sekalipun.Dia benar-benar potongan Andra. Mungkin saat Andra masih seusia Rehan, wajah Andra pun juga persis seperti ini.Ah! Kenapa tiba-tiba Alana jadi memikirkan lelaki itu.Dengan cepat Alana menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir bayangan Andra yang membias di benaknya.
Namun, setelah cukup lama Sherly menunggu, tidak ditemukannya tanda-tanda Andra akan kembali.Bahkan hingga makanan yang mereka pesan telah terhidang di atas meja pun, batang hidung Andra belum juga muncul.“Ke mana Andra? Tidak mungkin dia hanya ke kamar kecil selama itu?” Sherly melirik-lirik kearah tangga, dimana terakhir kali ia melihat tubuh tegap Andra menghilang di sana.Hinggalah seseorang muncul dan menghampiri Sherly. Dia adalah sopir Sherly yang bernama Pak Parmin. Lelaki tua itu tergopoh-gopoh datang dan tiba-tiba saja mendudukan dirinya di tempat duduk Andra begitu saja tanpa permisi.“Pak Parmin kenapa ke sini? Andra-nya mana?” tanya Sherly dengan intonasi suara yang tinggi.
“Loh, itu Mba Alananya datang!” seru Mang Karim sambil mengaduk-aduk nasi goreng yang sedang ia masak.Kepala Andra menoleh kearah yang Mang Karim lihat. Dan Andra menelan ludahnya berat, saat ia juga melihat Alana yang terkejut melihatnya.Sepertinya Alana juga hendak menghampiri gerobak Mang Karim.“Wah, memang yang namanya feeling seorang istri itu tidak pernah salah ya. Tahu saja Mba Alana kalau suaminya sedang nongkrong di dekat gerobak saya,” ucap Mang Karim lagi yang seakan tidak ada habisnya menggoda mereka yang tanpa Mang Karim tahu, adalah sudah bukan lagi suami istri.Alana memilin jemarinya semakin mendekat. Sedangkan Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. Sambil Andra berdecak dalam hati.
Kemudian Andra menggeleng dengan tegas."Tidak! Kalian berdua salah. Sejak hari dimana Alana sudah membuat hidupku hancur, saat itu aku sudah melenyapkannya dari hati dan pikiranku. Bagiku Alana yang dulu sudah mati. Dan Andra yang dulu pun juga sudah mati. Tidak ada satu pun yang tersisa dalam diriku selain kebencian yang mendalam padanya!" Andra berkata dengan rahang yang merapat.Entah mengapa membuat senyum miring tersungging di bibir Nita.Sedangkan Darma, wajahnya masih menatap Andra dengan datar dan tegas."Dan tentang Sherly, semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan Alana. Jadi aku minta, jangan pernah membawa-bawa nama Alana. Di saat kita sedang memperdebatkan tentang perjodohan ini!" air muka Andra tampak begitu serius. Kedua matanya m
"Apa yang sedang Alana lakukan di sana? Seenaknya saja dia mau bersantai sementara tenggorokanku kering menunggu kopi pahit darinya?!" desis Andra menatap tajam pada layar monitornya."Ck! Alana. Kamu harus diberi pelajaran!" Andra bangkit berdiri dari duduknya.Dan sekarang ia sudah melangkah lebar keluar dari ruangannya.Tentu saja kakinya mengarah menuju ke pantry kantor. Dimana Alana tengah duduk manis menikmati kesantaiannya. Setidaknya itulah yang Andra pikirkan.Begitu kaki Andra tiba di ambang pintu, ia langsung berseru pada Alana."Begini yang kamu lakukan di pantry saat aku sedang sibuk di ruanganku, Alana? Apa kamu tidak tahu kalau sekarang belum jam istirahat?" sentak Andra dengan waj
Andra terdiam dengan menghunuskan tatapan dinginnya pada Alana yang tertunduk. Lalu Andra menghembuskan napas kasar, kemudian menurunkan kaki Alana dan ia bangkit berdiri.'Aduh, apa kelancanganku tadi sudah membuat Andra marah? Kenapa Andra menatapku dengan cara seperti itu?' batin Alana bertanya-tanya.Manik mata Alana memerhatikan punggung tegap Andra yang bergerak menuju sebuah laci. Andra mengeluarkan sesuatu dari sana lalu ia kembali berbalik menatap Alana."Terima itu!" kata Andra sembari melempar sesuatu dan refleks Alana menangkapnya."Olesi salep itu di pergelangan kakimu yang bengkak. Jika kamu merasa sudah bisa berdiri dan melangkah, maka segera pergi dari ruanganku! Ingat, Alana. Jangan merasa senang dengan apa yang ku lakukan padamu