Setelah jam makan siang selesai, Alana segera pergi dari pantry kantor dan melangkah menuju meja kerjanya. Saat itu, Andra juga keluar dari ruangannya dan langsung berdiri tegap dengan tubuh jangkungnya di hadapan Alana dengan tatapan dingin.Alana sontak bangkit. “Ada yang bisa aku bantu, Pak Andra?” tanyanya ragu.“Jika ada berkas penting atau apapun itu, taruh saja di atas meja kerjaku. Aku akan keluar sebentar. Sherly mengajakku makan siang di luar. Dan aku tidak mau waktuku diganggu!” tegas Andra dengan sengaja menekan nama Sherly agar terdengar jelas di telinga Alana. Hati Alana mencelos membayangkan bagaimana mantan suaminya yang masih sangat ia cintai itu, akan menikmati makan siang dengan wanita lain. Namun, Alana segera menyadarkan diri akan posisinya saat ini. “Baik, Pak Andra.” Setelahnya, Andra pun berlalu begitu saja dari hadapan Alana. Wanita itu hanya bisa memandang punggung kekar yang berjalan menjauhinya itu. Andai Alana tidak mempunyai urat malu, pasti A
Alana bergeming. Lidahnya tiba-tiba saja kaku dan bahkan tangannya sudah tak bersemangat menuangkan sayur itu ke dalam mangkuk. “Apa Andra sudah tahu tentang Rehan?” Winarti bertanya lagi saat Alana masih saja terdiam tanpa suara.Alana mengepalkan tangan yang memegang sendok sayur, sambil memejamkan mata menahan pedih, ia kemudian menggelengkan kepala. “Tidak, Bu. Andra tidak tahu tentang kehamilanku. Dia juga tidak tahu apapun tentang Rehan sampai sekarang. Bahkan, kedua orang tua Andra tahunya bayi yang dulu ku kandung itu sudah ku gugurkan sebelum lahir,” tutur Alana. Yang membuat Winarti memunculkan raut wajah penuh kelegaan. “Ah, syukurlah. Memang akan lebih baik seperti itu.” Winarti mengurut dadanya dengan sebelah tangan. Sekarang hatinya tenang sudah. Sementara Alana menatap Winarti dengan riak wajah yang sendu. Lalu Alana menerbitkan sebuah senyum yang dibuat-buat. “Maafkan ibu jika ibu lebih senang keberadaan Rehan tidak diketahui oleh Andra dan keluarganya.
Di sisi lain, Andra berdecak masuk ke dalam mobilnya. Ia menghempaskan pantatnya dengan kasar di kursi kemudi. Sebelum kemudian menjalankan mobil hitam metalik keluaran eropa itu untuk meninggalkan pelataran rumahnya yang membuatnya muak. “Lagi dan lagi kedua orang tuaku kembali mengungkit-ngungkit tentang Sherly. Apa mereka tidak tahu kalau aku sama sekali tidak suka dengan wanita itu. Hhh.. Papa dan Mama memang tidak pernah berubah. Sejak dulu yang ada di pikiran mereka hanya uang dan uang!” Andra menggertakan giginya penuh kekesalan. Sedang jemarinya mencengkeram kemudi dengan begitu kuat. Hingga buku-buku jarinya memutih. Andra tidak peduli pada bisnis besar yang dimiliki oleh Tuan Arwen yang mungkin akan menjadi miliknya jika ia mau menikahi Sherly. Yang Andra inginkan, adalah ia bisa melenyapkan nama Alana dari dalam pikirannya. Ya. Andra muak sekali saat Alana selalu mampir tanpa permisi di dalam mimpinya. Bayangan-bayangan manis saat mereka masih menikah dulu pun sa
“Ayahku, Danu,” jawab Rehan dan Andra manggut-manggut mendengarnya. “Danu? Om sangat yakin. Kamu pasti lebih mirip dengan ayah Danu. Hidungmu, matamu, bibirmu dan cara bicaramu juga pasti lebih mirip dengannya,” tebak Andra yang justru dibalas gelengan kepala oleh Rehan. “Tidak. Kata Mama, aku tidak mirip dengan ayah Danu sama sekali. Aku juga sering lihat foto aku sama ayah. Tapi kami tidak mirip.” Alis Andra terangkat sebelah begitu mendengar penuturan yang meluncur dari bibir mungil milik bocah kecil di depannya itu. “Oh iya. Berarti kamu mirip dengan Mama kamu. Kalau boleh Om tahu, siapa nama Mama kamu?” tanya Andra lagi. “Nama mama aku, Al—“ DREETT! DREETT! Ponsel Andra yang bergetar di balik saku celana bahannya, membuat mulut Rehan yang hendak mengucapkan nama Alana, kini terkatup kembali. Rehan memerhatikan Andra yang merogoh sakunya, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinga kanan. “Iya, kenapa?” tanya Andra dingin saat tahu yang menelponnya adalah Alan
Setelah serangkaian meeting mingguan yang selesai dilaksanakan pagi ini. Andra kembali ke dalam ruangannya. Sedangkan Alana sudah menghempaskan pantatnya lagi di atas kursi. Dan Alana kembali berjibaku dengan pekerjaannya yang sudah menunggu di meja kerjanya.Namun saat itu pintu lift berdenting. Dan Alana menahan napas saat melihat siapa yang datang.“Heh, Alana! Buatkan kopi untukku dan antarkan ke ruangan Andra. Ingat! Kopinya jangan terlalu banyak gula. Aku tidak suka dengan rasa kopi yang terlalu manis! Cepat buatkan!” perintah Nita seenaknya.Alana yang sadar jika ia hanyalah bawahan Andra, sedangkan Nita adalah ibu kandung lelaki itu. Maka mau tak mau Alana hanya bisa menganggukan kepalanya.“Baik, Nyonya. Akan aku buatkan kopi untuk Anda,&
“Kamu mandilah, Alana. Biarkan Rehan istirahat. Ibu mau pergi ke dapur dulu untuk menyiapkan makan malam,” ucap Winarti yang hanya dibalas dengan anggukan pelan oleh Alana.Kemudian wanita paruh baya itu kini berlalu keluar dari kamar. Menyisakan Alana yang memandangi wajah pulas Rehan. Tangan Alana terulur untuk mengusap pelan rambut yang hitam legam itu. Wajah Rehan sungguh tampan meski matanya sedang tertutup sekalipun.Dia benar-benar potongan Andra. Mungkin saat Andra masih seusia Rehan, wajah Andra pun juga persis seperti ini.Ah! Kenapa tiba-tiba Alana jadi memikirkan lelaki itu.Dengan cepat Alana menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir bayangan Andra yang membias di benaknya.
Namun, setelah cukup lama Sherly menunggu, tidak ditemukannya tanda-tanda Andra akan kembali.Bahkan hingga makanan yang mereka pesan telah terhidang di atas meja pun, batang hidung Andra belum juga muncul.“Ke mana Andra? Tidak mungkin dia hanya ke kamar kecil selama itu?” Sherly melirik-lirik kearah tangga, dimana terakhir kali ia melihat tubuh tegap Andra menghilang di sana.Hinggalah seseorang muncul dan menghampiri Sherly. Dia adalah sopir Sherly yang bernama Pak Parmin. Lelaki tua itu tergopoh-gopoh datang dan tiba-tiba saja mendudukan dirinya di tempat duduk Andra begitu saja tanpa permisi.“Pak Parmin kenapa ke sini? Andra-nya mana?” tanya Sherly dengan intonasi suara yang tinggi.
“Loh, itu Mba Alananya datang!” seru Mang Karim sambil mengaduk-aduk nasi goreng yang sedang ia masak.Kepala Andra menoleh kearah yang Mang Karim lihat. Dan Andra menelan ludahnya berat, saat ia juga melihat Alana yang terkejut melihatnya.Sepertinya Alana juga hendak menghampiri gerobak Mang Karim.“Wah, memang yang namanya feeling seorang istri itu tidak pernah salah ya. Tahu saja Mba Alana kalau suaminya sedang nongkrong di dekat gerobak saya,” ucap Mang Karim lagi yang seakan tidak ada habisnya menggoda mereka yang tanpa Mang Karim tahu, adalah sudah bukan lagi suami istri.Alana memilin jemarinya semakin mendekat. Sedangkan Andra mengusap wajahnya dengan sebelah tangan. Sambil Andra berdecak dalam hati.