Alana sedang duduk makan siang di pantry kantor. Hanya ada Yanti di sana yang sedang istirahat. Yanti baru saja selesai mengantarkan kopi ke ruangan manager. “Makanmu sedikit sekali, Alana. Kamu diet ya?” tanya Yanti melirik pada piring Alana. Kemudian ikut duduk dan ia sendiri membawa secangkir teh untuknya. “Tidak. Aku tidak sedang diet. Hanya saja aku sedang tidak berselera untuk makan.” Alana menggeleng pelan.“Kemarin-kemarin makanmu juga sedikit begini. Aku pikir kamu sengaja ingin menguruskan badan. Padahal badanmu sudah kurus, Alana.” Benar apa yang dikatakan oleh Yanti. Akhir-akhir ini Alana memang selalu makan dengan porsi yang sedikit. Entah mengapa selera makannya hilang. Apalagi tubuhnya sering merasa lemas dan tak jarang kepalanya pun akan merasa pusing.Seperti saat ini, Alana memijit pelan keningnya saat rasa pening mulai menyiksanya.“Kamu kenap
Dituntunnya Rehan untuk duduk di pinggir tempat tidur. Alana menyibak rambut bocah kecil itu dengan lembut.“Mama memang habis menangis. Tapi Mama menangis karena kepala Mama sedikit pusing. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Rehan. Mama baik-baik saja kok. Kamu lihat sendiri ‘kan, Mama sudah tidak menangis lagi sekarang,” kata Alana mencoba melemparkan senyum manisnya pada Rehan.Akan tetapi raut wajah Rehan masih saja terlihat mengerut. Bocah kecil itu merasa ada yang aneh dengan Alana.“Jadi Mama hanya pusing?” tanya Rehan.“Iya, sayang. Mama hanya pusing,” jawab Alana berdusta.“Jadi itu alasannya kenapa hari ini Mama pulangnya cepat? Boss Mama menyuruh Mama istirahat ya?” tanya Rehan lagi.Alana mengangguk mengiyakan.“Iya. Katanya Mama harus banyak istirahat biar cepat sembuh.”“Mau kepalanya Rehan pijitin, Ma? Biar pusingnya hilang
“Ini hasil labnya,” kata Dokter Fery sambil menyodorkan sebuah map pada Andra.Kini Andra telah duduk di depan Dokter Fery. Benar apa yang diduga oleh Sherly, kalau Andra pasti masih belum percaya tentang penyakitnya jika belum melihat bukti dengan mata kepalanya sendiri.“Jadi benar, kalau Sherly memang mengidap kanker darah?” tanya Andra mengangkat kepalanya dari hasil lab itu, dan matanya menatap lurus pada bola mata Dokter Fery yang langsung mengangguk.“Iya. Memang benar. Sherly menderita kanker darah. Dan sekarang sudah stadium akhir. Sisa hidupnya mungkin tidak akan lama lagi. Sejatinya umur manusia memang hanya ditentukan oleh Tuhan. Tetapi aku hanya menyampaikan dalam sisi medisnya,” jelas Dokter Fery.Andra kini kembali menatap pada hasil lab yang masih ia pegang. Giginya mengeletuk dan Andra memaki dalam hati.‘Jadi sakitnya Sherly itu bukanlah sandiwara. Wanita itu benar-benar mender
Sepulang kerja, Alana mendengar suara seseorang dari kamar Rehan.Suara itu tak asing di telinga Alana.“Danu!” pekik Alana saat tangannya membuka pintu kamar Rehan. Dan di sana sudah ada Danu yang sedang duduk di atas ranjang bersama dengan Rehan. Tampak sebuah buku di depan mereka.“Hai, Alana. Kamu sudah pulang ternyata,” sapa Danu sambil tersenyum menatap Alana.“Ma! Apa Rehan bilang, Ayah Danu akan datang ngunjungin kita lagi, ‘kan? Sekarang Rehan dan Ayah sedang belajar menggambar. Lihat deh, Ma! Hasil gambar Ayah bagus.” Rehan mengacungkan buku gambarnya pada Alana. Menunjukan hasil karya Danu yang terpampang di sana.Danu tersenyum malu. Sementara Alana mengangguk sambil melemparkan senyumnya pada Rehan.“Bagus.” Alana melangkah lebih dekat menghampiri kedua orang yang masih duduk di atas ranjang itu. “Kapan kamu sampai, Danu?” tanya Alana sembari men
Andra berdecak pelan sambil menyentak tangannya ke meja. Ia baru saja mendapat kabar bahwa Alana cuti hari ini. Wanita itu tidak bisa masuk kantor lantaran sedang sakit.Dan hal itu tak ayal membuat pikiran Andra menjadi gusar."Alana masih sakit? Apa jangan-jangan kemarin itu dia bukan hanya masuk angin biasa. Apa saat ini sakitnya parah, sampai dia tidak bisa masuk kerja?" gumam Andra bertanya-tanya. Raut wajahnya tampak cemas.Secara tak sadar, saat ini Andra begitu mengkhawatirkan Alana."Hah, sekarang aku jadi tidak fokus. Kenapa pikiranku mendadak kacau? Hanya karena Alana sakit, aku jadi ikut uring-uringan! Seharusnya aku tak perlu berlebihan seperti ini?" Andra mengacak rambutnya. Lalu ia berusaha fokus untuk menatap pada layar monitor yang telah terpampang di hadapannya.Andra berusaha mengusir segala kemelut yang merundung pikirannya. Sebisa mungkin Andra mengenyahkan Alana dari benaknya. Saat ini yang perlu ia lakukan
Andra berdecak dengan kesal. Buku-buku jemarinya saling mengepal dengan kuat. Andra tidak pernah menduga jika Danu akan membayarkan uang denda itu. Sial!“Kenapa kamu mendadak diam, Pak Andra yang terhormat? Apa kamu sudah mati kutu begitu mendengar ucapan telak dariku?” Danu mengejek Andra dengan senyumnya yang terlihat menyebalkan.Andai saja Andra tak ingat martabatnya sebagai boss perusahaan besar, pasti saat ini Andra sudah bangkit dan melayangkan tinjuan di wajah Danu itu.“Kenapa kamu harus repot-repot membayar denda untuk Alana? Siapa kamu sebenarnya?” tanya Andra setelah beberapa saat terdiam.Rasa penasaran masih mengusik dalam hatinya. Sedekat itukah hubungan antara Danu dengan Alana? Hingga lelaki itu mau mengeluarkan uang yang terbilang banyak demi Alana.“Aku? Kamu bertanya siapa aku? Aku adalah lelaki yang ingin Alana bahagia. Dan aku adalah lelaki yang akan memastikan tidak ada satu
“Baik. Terimakasih banyak Danu. Karena kamu mau repot-repot melakukan semua ini untukku,” ucap Alana yang dibalas Danu dengan anggukan dan senyum hangat.“Jangan bilang terimakasih. Aku melakukannya sebagai Ayah Rehan. Aku juga melakukannya sebagai teman baikmu. Aku tidak rela, Alana. Jika wanita sebaik kamu harus terus-menerus berhubungan dengan lelaki yang sangat arogan dan pengecut seperti Andra. Maaf jika aku berkata buruk tentang mantan suamimu itu. Tapi aku berkata sesuai dengan yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Saat aku bertemu dengannya. Aku bisa menilai, betapa tidak pantasnya dia untuk menjadi ayah kandungnya Rehan. Bahkan aku ragu kalau dulu dia pernah menjadi suami yang baik untukmu,” lanjut Danu menuturkan pendapatnya tentang Andra.Alana menundukan pandangannya. Ia menatap kosong pada meja ruang tengah yang ada di hadapannya.‘Kamu salah, Danu. Dulu Andra adalah sosok suami yang sangat baik
Selesai mengantarkan Rehan, Alana langsung melanjutkan perjalanan untuk berangkat ke kantor dengan kendaraan umum. Dan kini ia sudah tiba di perusahaan Andra yang sangat tinggi dan besar.Alana membiarkan punggungnya bersandar pada lift yang akan membawa tubuhnya naik ke lantai dimana ruangan Andra berada.Sambil memejamkan matanya sejenak, Alana menarik napasnya dengan pelan. Sekarang ini Alana merasa jika ia harus melepaskan sesuatu yang sangat berat dalam hidupnya.“Aku harus bisa melakukan ini. Aku yakin aku bisa hidup tanpa Andra dan baying-bayangnya. Aku harus menjalani hidupku sendiri dengan anak-anakku. Dulu saja aku bisa melakukannya saat mengandung Rehan. Aku percaya jika anak-anakku akan memberiku kekuatan. Mereka adalah yang paling berharga dalam hidupku,” gumam Alana menatap dinding lift yang mana saat ini hanya ada ia sendiri.TING!Lift berdenting. Dan berhenti tepat di tempat tujuan Alana. Alana