"Mas?" Leana tersentak kala Elvano sudah mengambil duduk di sampingnya. Pria Itu terdiam dengan tatapan dalam menyorot padanya. "Mas pulang hampir jam sebelas malam, memangnya ada pekerjaan mendadak, ya?" tanya Leana, pasalnya Elvano mengatakan akan pulang sore, nyatanya lebih dari itu. "Sayang, ada yang kamu sembunyikan dari aku?" Tubuh Leana menegang, perempuan itu berdehem guna menetralisir rasa gugupnya."Tidak ada, memangnya kenapa, Mas?" Elvano tak menjawab, justru dia memberikan amplop pada Leana. Leana yang sedang dilanda kebingungan membuka amplop itu ragu-ragu, setelahnya perempuan itu menegang, diliputi rasa bersalah." Mas … aku—""Kamu bisa menjelaskan apa maksudnya ini?" Elvano bertanya pelan dan lembut, tapi tidak dengan ekspresinya yang menampakkan raut kekecewaan mendalam."Aku …." Leana menunduk, perempuan itu mulai menjelaskan mengapa dia bisa bertemu dengan Aditya. Leana juga mengatakan siapa ayah Azura sebenarnya. "Tapi sungguh, Mas. Aku tidak tau kenapa ada fotok
"Risa, apa menurutmu ada penghianat lagi selain Aditya? Mengingat jika berita itu mencuat kala Aditya sudah menghilang?" Risa menatap Alvaro sejenak, perempuan itu terlihat berpikir sebelum mengutarakan pendapatnya. "Sudah pasti, tidak mungkin Pak Aditya melakukan ini sendiri, sepetinya ada orang inti di dalam prusahaan ini yang bekerja sama dengan beliau." Semua yang ada di ruangan itu terdiam, sementara Elvano sejak tadi hanya memejamkan mata dengan pikiran melanglang buana. "Diandra," celetukan Elvano mengundang atensi yang ada di ruangan itu. "Deandra putrinya Rayan, bukan?" Elvano membuka mata secara perlahan, netra hazel itu menyorot Alvaro begitu dalam. "Ya, cek kembali cctv yang Papa kasih ke aku waktu itu. Lalu compare dengan cctv di ruanganku yang aku kirim ke Papa. Maka Papa bisa menebak keganjilan yang terjadi." Alvaro mengkode sekretarisnya, dengan cepat pria paruh baya itu mengikuti intruksi sang atasan. Saat ini mereka hanya ber empat di ruangan Alvaro, pertemuan de
"Jadi, di mana Mas Elvano?" tanya Leana setelah Risa mendudukkan bokongnya. Sementara Zelina belum kembali juga ke kamar Leana. "Pak Elvano sedang menyelesaikan semua kekacauan ini, Bu. Dan saya ditugaskan untuk menjaga Bu Leana sementara waktu." "Saya tidak perlu dijaga, Mbak. Saya hanya butuh Mas Elvano dan juga si kembar!" Risa menatap Leana sendu, pasti berat sekali menjadi Leana saat ini. "Nanti malam kita langsung pulang ke rumah Bu Leana, Pak Elvano sudah menyuruh orang kepercayaannya untuk membereskan wartawan yang ada di rumah. Dan saya janji, Bu Leana akan segera bertemu Nathan dan Nala." Leana mengangguk haru, tak lupa memeluk Risa dengan ucapan terima kasih.Malam harinya, Leana yang sudah sampai di rumahnya bergegas masuk ke dalam. Tak ada yang Leana lihat wartawan satu pun. Yang ada hanya pria berbadan kekar, mengelilingi pagar beserta halaman rumahnya. Dan mereka semua menyambut Lenaa dengan sopan. "Mama!" Leana yang melihat kedua anaknya sontak saja berlari cepat d
Pagi harinya Leana dikejutkan oleh tangan kekar yang memeluk pinggangnya erat. Leana tersenyum, lalu membalikkan posisi tidurnya, untuk menghadap pria tercintanya. "Sudah bangun, Sayang?" bisik Elvano serak, dia menatap lembut ke arah perempuan cantik didekapannya. "Mas pulang jam berapa?" Alih-alih menjawab, Leana justru bertanya balik. Dia mengelus rahang kokoh itu penuh sayang, terlihat jelas raut letih sang suami. "Sekitar pukul satu dini hari, aku ke rumah Mama dulu soalnya." Elvano memejamkan mata, menikmati usapan lembut sang istri. Selalu seperti ini, apapun masalah yang dihadapi. Jika Leana ada di sisinya, maka Elvano merasa tenang dan damai. Ya, sebesar itu efek Leana Pramita dalam hidupnya."Mas terlihat lelah, istirahat saja hari ini. Jangan memforsir tenaga, aku tidak mau jika Mas jatuh sakit.""Maaf, Sayang. Untuk permintaan kamu yang satu ini, aku tidak bisa menurutinya." Elvano mengecup kening Leana, sebelum melanjutkan ucapannya, "Tapi aku janji, akan menyelesaikan
"Lea!" Tubuh Leana menegang sesaat, lalu menyapa perempuan itu. "Diandra?" Diandra tersenyum lebar, jika biasanya perempuan itu memakai riasan berlebih. Kali ini wajahnya tampak lebih alami, dan itu menambah kesan manis padanya. "Maaf kalau aku tidak kasih tahu kamu terlebih dahulu. Omong-omong apakah aku mengganggu?" Leana tersenyum canggung, dia sedikit malu karena penampilannya berbanding terbalik dengan perempuan di hadapannya. "Tidak apa-apa, ayo masuk. Nanti kita makan siang bersama. Sebentar lagi si kembar juga pasti pulang." Diandra tersenyum lebar, perempuan itu tak henti-hentinya menatap takjub interior rumah Leana. "Rumah kamu nyaman, pemilihan warnanya juga sangat bagus." Leana tersenyum simpul mendengarnya. "Ini semua Mas El yang merancang, kalau aku mana paham." Leana mempersilahkan Diandra untuk duduk pada sofa yang ada di ruang tamu. "Terima kasih," kata Diandra diiringi senyuman lebar. Yang dibalas anggukan singkat oleh sang empu. Leana bernafas lega ketika mel
"Apa pun yang Anda rencanakan, berhenti sampai di sini. Atau saya akan bongkar semuanya." Diandra menoleh, dia menatap Risa aneh. "Maksud kamu apa, ya?" Risa menatap Diandra datar, jika tidak disuruh Leana mengantar perempuan ini sampai ke depan, dia tak akan sudi. "Berhenti bersikap sok polos, dan jangan pernah ke sini lagi. Apalagi berteman dengan Bu Leana. Dengan semua kejahatan yang Anda lakukan, Anda pikir bisa lolos begitu saja?"Kini Diandra benar-benar memfokuskan atensinya pada Risa. "Saya sungguh tidak mengerti apa yang kamu katakan—satu yang harus kamu tahu. Jika saya tidak pernah melakukan kejahatan apapun!" tampik Diandra jengkel. Risa tersenyum miring, topeng perempuan ini tebal sekali. Andai dia tak mengingat peringatan dari Elvano, jika harus membongkar kedok perempuan ini secara perlahan. Risa tak membayangkan apa yang akan Elvano lakukan pada Keluarga Diandra nantinya. "Ya sudah, pergilah. Jangan harap bisa kembali lagi ke sini."Diandra meremas kedua tangannya, di
"Kamu akan tamat sebentar lagi, dan saya akan membawa Azura pergi setelah itu." "Diamlah brengsek!" Bukanya takut, pria itu justru mendekat dengan tawa yang menggema pada seluruh ruangan sempit itu. "Mel, sudah aku katakan. Kamu terlalu serakah, sudah cukup membodohiku selama ini, dan sekarang kamu mau mengambil Elvano beserta menguasai harta kekayaannya? Cih! Mimpi saja kamu, Elvano tak sebodoh itu." Wajah jelita tanpa polesan berlebih itu mendesis kesal, apa yang pria itu katakan memang benar. Tetapi tak jua menyurutkan ambisi serta obsesinya. Dia sudah memendam perasaan ini terlalu lama, sedangkan Aditya hanyalah batu loncatan untuk dia bisa menggapai semua ini. "Aku pergi, masih banyak yang harus aku lakukan. Kamu urus saja pembantu di rumah itu supaya bungkam."Aditya tertawa remeh. "Kamu menghindar, Mel?" sindir pria itu dengan nada penuh ejekan. "Diam, Aditya! Aku tak ingin berdebat!" ***Sementara itu, Elvano serta Zion sudah memarkirkan limosinnya di depan pagar rumah me
"Ini bukan jalan menuju rumah, sebenarnya kita mau ke mana?" Risa menoleh ke arah Nathan, perempuan itu menggeram melihat anak laki-laki yang begitu cerewet menurutnya. "Kita ke rumah Tante dulu, ya. Kamu tidur saja seperti Nala, pasti lelah sehabis pulang sekolah. Suruh tidur teman kamu yang satu itu juga." Azura tiba-tiba memeluk lengan Nathan erat, keringat dingin semakin membanjiri tubuhnya. "Tidak usah! Langsung antar kami pulang saja!" Risa yang sudah dongkol dengan segera memberhentikan roda empatnya, lalu mengambil sesuatu dari dashboard mobil. "Apa yang akan kamu lakukan!" seru Nathan, dia merasakan firasat yang tidak baik. Nathan merapatkan tubuh Nala serta Azura ke dalam pelukannya. Anak laki-laki itu menoleh ke sekitar, mengingat-ingat jalan yang mereka lalui. Risa menyeringai, lalu mulai mendekat. "Jangan ... jangan sakitin Nathan sama Nala, Mama! Mereka anak baik! Sakiti Azura saja! Jangan mereka!" Nathan terperangah mendengar ucapan lantang Azura, belum lagi gadis k