Risa menggeram setelah mematikan ponselnya, memang seharusnya wanita paruh baya itu dia lenyapkan dari dulu, gara-gara mulut besarnya Risa harus memutar otak agar rencananya tetap berjalan. Untung saja orang suruhannya segera memberitahunya, jadi dia dengan cepat bertindak. Alhasil di sinilah Risa sekarang. Menunggu Elvano—sang pujaan hati datang menghampiri. Ah … Risa jadi gugup sendiri, bagaimana reaksi Elvano serta Alvaro kala melihatnya nanti. Jika boleh jujur, terbesit rasa tak enak pada Alvaro. Karena pria itu sangat baik, dan membantunya keluar dari jerat kemiskinan. Tetapi semuanya segera Risa enyahkan, karena obsesi memiliki Elvano dan menguasai harta pria itu sudah menghilangkan akal sehatnya. . Risa mengalihkan atensinya pada kedua anak gadis yang sedang menangis setelah tersadar dari pingsannya. Sementara Nathan hanya menatap lurus ke depan. Dia sendiri juga heran, mengapa anak sekecil itu bisa mempunya ketenangan yang luar biasa dalam situasi seperti ini. "Sudah dua ja
Nathan melemparkan ponsel itu ke bawah tumpukan kursi yang berada di pojok ruangan. Anak laki-laki itu langsung mendekap Azura serta Nala. “Bos nyuruh kita menjaga ketiga bocah ini? Yang benar saja! Memangnya apa yang anak sekecil ini bisa lakukan selain merengek!” Pria berkepala plontos itu terbahak, diikuti oleh temannya. “Kamu saja yang jaga mereka, aku mau keluar sebentar. Toh, cuma bocah ingusan.” Pria berkepala plontos itu mendecih melihat temannya, tapi tak urung mengiyakan. Setelah temannya pergi, pria itu mendekat ke arah ketiga anak kecil yang menatapnya takut-takut. “Halo anak manis, mau bermain sama, Om?” goda pria itu dengan tawa yang menggema. Di sisi lain, Risa yang sedang menyusun rencana bersama Aditya dikejutkan oleh anak buahnya. Perempuan itu menggeram kesal karena tak suka diganggu jika sedang seperti ini. “Jika kamu menyampaikan berita yang tidak berguna, saya akan menghabisimu detik ini juga!” Pria jangkung dengan tato disekujur wajahnya itu membungkuk takut
"Mama!" Leana yang sedang melamun seketika menoleh, perempuan itu tak dapat membendung tangisnya kala melihat si kembar berlari ke arahnya. "Sayang!" Leana memeluk kedua buah hatinya, sesak yang menghimpit dadanya seketika sirna. Tergantikan oleh rasa lega yang luar biasa. "Sayangku, kalian tidak apa-apa, Nak?" Leana melepas pelukannya, lalu meneliti keadaan si kembar. Dia mendesah lega ketika tak menemukan luka apapun. "Tidak, Mama. Kami baik-baik saja." Leana mengangguk, dia mencium kedua kening putra putrinya. Lalu mengalihkan atensi pada Azura. Gadis kecil itu melihatnya dengan pandangan sendu. "Azura, apa Azura tidak apa-apa?" Leana mendekat, dia memeluk tubuh rapuh itu. "Azura baik-baik saja, Tan–eum–Bibi, Lea," balas Azura terbata-bata. Dia masih belum terbiasa memanggil Leana dengan sapaan baru, tapi mau bagaimana lagi. Elvano menyuruhnya seperti itu saat mereka berada di dalam mobil. "Bibi?" Ulang Leana, dia menatap Azura dengan kening berkerut."Ya, kata Paman El, sepert
Ruang kerja bergaya klasik itu terlihat hening. Interior yang memanjakan mata—dilengkapi kursi kerja berbahan kulit dengan tampilan menarik. Ditambah lagi dengan adanya rak buku dengan desain klasik.Namun, semua itu tak jua menyurutkan suasana ketegangan yang ada. Kedua pria dewasa itu duduk sambil berhadapan, mereka terlalu larut dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba Elvano berdehem, memecahkan keheningan yang menyapa. "Saya benar-benar minta maaf atas kesalahpahaman ini. Dan saya harap kita bisa menjalin kerja sama kembali." Rayan tersenyum simpul, dia marah—tapi lebih kepada Risa serta Aditya. Dan mengenai Aditya, Rayan berdoa semoga temannya itu tak terjerumus terlalu dalam. "Saya juga minta maaf, mungkin sikap Diandra terlalu berlebihan. Untuk itu kamu berasumsi yang tidak-tidak." Well, siapa yang tak salah paham jika menunjukkan rasa sukanya secara terang-terangan? Elvano berdehem, dia menatap Rayan dengan senyuman samar. Apalagi semua bukti mengarah pada Diandra. Mulai d
Ketika menjelang malam, tepat saat anak-anaknya tertidur. Leana dikejutkan oleh ketukan pintu kamarnya. "Siapa, Sayang?" seru Elvano dari dalam kamar mandi. Leana cukup terkejut karena indera pendengaran pria itu sangat tajam. "Entahlah, mungkin si kembar yang terbangun." Leana melangkah menuju pintu, dan menemukan sang ibu yang terlihat diam dengan pandangan kecewa."Ibu? Kenapa ke sini malam-malam? Rencananya besok pagi aku ke rumah Kak Mita untuk menjemput, Ibu." Leana memeluk Rosita, dan dibalas oleh sang empu. "Mana kedua cucu, Ibu?" Rosita melepas pelukannya, dia menatap Leana penuh intimidasi."Lagi tidur." Leana berdehem, dia bisa merasakan aura kemarahan di sekelilingnya. "Lea, sejak kapan tidak jujur pada, Ibu? Kenapa kamu menyembunyikan masalah sebesar ini?" Leana meremas kedua tangannya, dia menatap Rosita gugup. Apa Rosita telah mengetahui kabar hilangnya si kembar? Lantas dari siapa?"Ibu, aku—""Sania yang memberitahu, Ibu. Bisa-bisanya kamu menyembunyikan hal sebesa
"Zion!" Zion menoleh ke arah sumber suara, terlihat Elvano serta Leana yang melangkah mendekat. "Bagaimana keadaan Zelina?" Elvano serta Leana mengambil duduk di samping Zion. Zion menggeleng, raut wajah pria itu sarat akan kesedihan mendalam. Matanya juga terlihat sembab, ditambah bibir pucat pasinya."Masih butuh waktu sendiri, dia shock. Karena—" Zion bedehem, tenggorokannya terasa tercekat. "Karena kami benar-benar tidak mengetahui keberadaannya. Tapi tiba-tiba …." Elvano langsung memeluk Zion, sahabatnya terlihat begitu rapuh. Elvano bisa merasakan bagaimana kesakitan yang pria itu alami."Kamu sudah memberitahu Om dan Tante?" tanya Elvano pelan. Zion mengangguk lemah, dia melepas pelukan Elvano, lalu menyandarkan punggung di sandaran kursi. "Sudah, mereka sebentar lagi sampai." Zion memejamkan mata, masih teringat penjelasan dari asisten rumah tangganya serta bukti rekaman cctv yang ada."Lea, bisa ke dalam temui Zelina? Aku yakin pasti dia butuh support sesama perempuan saat i
Seorang perempuan mengetuk-ngetukkan jemarinya pada ponsel di tangannya. Dia duduk dengan santai sembari menikmati coffee. Sesekali dia mengedarkan pandangn pada apartemen miliknya, Interior apartemen ini terlihat berkelas nan elegan, sehingga memberi kesan hunian yang mewah.Tak mudah berada diposisi sekarang, mengingat jika dia sudah mengorbankan banyak hal. Deringan benda pipih yang ada di tangannya membuat perempuan cantik itu mengalihkan atensinya. Seringai terbit pada bibir yang dilapisi lipstik merah menggoda itu. "Halo." "Selamat pagi, Bos. Semuanya sudah beres, dan Bos bisa kirimkan sisa uanganya sekarang." Perempuan itu tersenyum lebar kala mendengar pernyataan dari seberang sana. Tak sia-sia dirinya merogoh cek yang lumayan besar hanya untuk misinya. "Bagus, kamu akan mendapatkan sisinya sekarang. Dan segera pergi, bila perlu menghilang dari negara ini." Sambungan langsung dia putuskan, sebelum pria itu menjawab. Senyum cantik itu tak jua menyurut, baru satu hari dia ke
Malam harinya Leana dikagetkan oleh kecupan hangat pada dahinya, perempuan itu membuka mata—terkejut saat menemukan Elvano yang sudah duduk di sampingnya. Leana dengan cepat bangun dari sofa tempat dia tertidur. "Mas sudah pulang?" tanya perempuan itu serak, menguap kecil sembari memfokuskan pandangannya. "Sudah, kenapa tidur di sofa? Nanti badan kamu sakit, Sayang." Elvano mengusap surai lembut Leana. Terlihat wajah pucat dari pria itu, ditambah matanya yang sayu. "Menunggu, Mas El. Aku khawatir karena sampai pukul dua belas malam belum juga pulang. Apalagi Mas kurang sehat, lihat—wajah tampan ini sangat pucat." Elvano memejamkan mata kala Leana menyentuh wajahnya dengan lembut. "Maaf, aku tidak mungkin meninggalkan Zion begitu saja. Kasus ini juga sedang diselidiki, jadi membutuhkan waktu. Dan juga sangat janggal menurutku, karena mereka tidak mengambil apapun. Kecuali menyakiti pemilik rumah." Leana membenarkan posisi duduknya, lalu menatap Elvano serius. "Apa tidak ada yang di