"Halo." Leana berucap serak, dia melihat jam di atas nakas yang sudah menunjukkan pukul empat pagi. "Lea, mungkin Sasmita tidak akan ke Butik hari ini, dia keracunan makanan. Dan sekarang sedang istirahat."Seketika itu pula mata Leana berubah menjadi segar. Perempuan itu terdiam sesaat sebelum memastikan. "Ulangi sekali lagi, sepertinya aku salah dengar." "Setelah pulang bekerja, dia mengeluhkan sakit pada perutnya. Dan aku sudah meminta Dokter untuk memeriksanya. Ternyata Sasmita keracunan makanan. Maaf baru memberitahukan ini padamu."Leana terpaku sejenak, setelahnya perempuan itu tersentak kala pinggang dililit oleh lengan kekar. Disusul kepala sang suami yang bertumpu pada pundak ringkihnya. "Siapa yang menelpon jam segini, Sayang?" ucap Elvano serak. "Kak Sagara, Mas.""Akh, Mas memelukku terlalu kencang!" Leana menepuk pelan punggung tangan Elvano. "Salah siapa bertelepon ria dengan pria lain jam segini, dan dia! Kenapa menelpon istri orang, cih! Padahal dia sudah menikah.
Leana membuka pintu rawat inap Risa secara perlahan. "Permisi—" Perkataan Leana terhenti, jantungnya berdegup kencang melihat pemadangan di depannya. "Mas ... a-apa yang kamu lakukan?" Elvano seketika menoleh ke arah pintu masuk, tubuh pria itu seakan disengat ribuan volt karena melihat raut hancur dari sang istri. Elvano menggeleng kuat serta melepas pelukan Risa dari tubuhnya. Dia baru tersadar jika posisi mereka bisa menimbulkan kesalah pahaman. "Sayang!" Elvano memeluk Leana erat ketika perempuan itu masih mematung ditempatnya. "Kamu salah paham, Sayang. Ini semua tidak seperti apa yang kamu lihat. Aku tadi membantu Risa ketika dia hendak ke kamar mandi. Tapi justru tubuhnya limbung. Jangan salah paham, kamu tahu aku tidak mungkin berbuat curang." Leana masih mencerna penjelasan dari Elvano, apakah ia sangat berlebihan? Mengingat jika tak mungkin Elvano menghianatinya. Leana juga seharusnya mengerti keadaan Risa. Bukanya malah menaruh rasa cemburu dan curiga. "Aku tahu, aku hany
“Apa guru di sekolahnya tidak pernah bertemu orang tuanya?” Leana menggeleng, dia merebahkan kepalanya di pangkuan Elvano. “Tidak, Mas. Info mereka orang tua Azura tidak pernah datang ke sekolah, Azura biasanya diantar sama asisten rumah tangganya.” Leana menatap ke arah Elvano. “Mas, aku boleh ‘kan berkunjung ke rumah Azura. Hanya ingin memastikan saja, karena mau bagaimanapun Azura sudah tinggal di rumah ini."Elvano mengusap pipi kemerahan sang istri penuh kelembutan. “Jangan, aku takut terjadi apa-apa sama kamu. Lebih baik kita datang ke sana sama-sama, dan jangan pernah coba-coba untuk datang sendiri.” Leana menghembuskan nafas berat, mau bagaimana lagi, sudah untung Elvano setuju dengan usulnya. “Baiklah, jadi kapan kita ke rumahnya?”“Minggu depan ya, Sayang?”Kening Leana berkerut. “Apakah tidak kelamaan, Mas? Terus Azura boleh tinggal di sini kan? Untuk sementara waktu?”“Karena aku akan meninjau proyek yang ada di luar kota selama seminggu, dan untuk Azura, dia boleh tingga
Leana menggeleng, ia menelan ludah susah payah diiringi buliran keringat yang mulai membasahi pelipisnya."O-om … Aditya …." Aditya tersenyum lebar, kini wajah tampan itu terlihat menyeramkan di mata Leana. "Kenapa? Bukankah kita akan membahas mengenai Azura?" Leana tergugu, dia menoleh ke sembarang arah agar tak menatap wajah pria di hadapannya. "Lea," ucap Aditya serak. Pria itu mempersempit jaraknya, membuat Leana dilanda ketakutan."Om … Om tolong, jangan mendekat. Kita ... kita bisa membicarakannya baik-baik." Aditya terkekeh garing, dia sangat menikmati wajah ketakutan dari perempuan manis di hadapannya. "Leana, apa kamu menikmati menjadi Nyonya Mahendra?" Aditya mengusap surai halus Leana. "Pasti sangat menyenangkan, bukan? Gadis yang awalnya mempunyai kehidupan biasa sekarang menjadi Nyonya besar."Leana memejamkan mata erat, hembusan nafas Aditya bisa dia rasakan. "Mas Elvano, aku takut!" rintihnya dalam hati."Mengapa tidak menjawab, hm? Apa kamu mau saya buat membuka mul
"Lea? Mama pikir kamu lagi di butik." Sania menyapa Leana ketika melihat eksisitensi perempuan itu. Leana tersenyum, lalu menaruh sling bagnya di atas sofa."Tidak, Ma. Sudah jam dua siang, aku juga ke sini sekalian mau bawa si kembar pulang sama Azura." Sania mengangguk mengerti, perempuan itu melangkah menuju kamar yang ditempati oleh ketiga bocah itu. "Mereka masih tidur siang, bawa nanti sore saja, ya?" Leana tersenyum tipis, dia melangkah mendekat dan mengambil duduk di pinggir kasur. Lucu sekali, Nala berada di tengah-tengah antara Nathan dan Azura. "Ya sudah, aku bawa mereka nanti sore saja, Ma. Kasihan juga kalau dibangunkan." Terjadi keheningan untuk sesaat, Leana menoleh ke arah mama mertuanya. Wanita itu sedang menatap lurus ke arah Azura. "Mama …""Maaf, Mama melamun." Sania tersenyum simpul. Leana yang mengerti arti dari raut Sania ikut menerbitkan senyum."Mama mau bertanya apa?"Sania melihat ke arah Leana dengan raut kaget yang kentara. "Kamu bisa membaca pikiran, Ma
"Mas?" Leana tersentak kala Elvano sudah mengambil duduk di sampingnya. Pria Itu terdiam dengan tatapan dalam menyorot padanya. "Mas pulang hampir jam sebelas malam, memangnya ada pekerjaan mendadak, ya?" tanya Leana, pasalnya Elvano mengatakan akan pulang sore, nyatanya lebih dari itu. "Sayang, ada yang kamu sembunyikan dari aku?" Tubuh Leana menegang, perempuan itu berdehem guna menetralisir rasa gugupnya."Tidak ada, memangnya kenapa, Mas?" Elvano tak menjawab, justru dia memberikan amplop pada Leana. Leana yang sedang dilanda kebingungan membuka amplop itu ragu-ragu, setelahnya perempuan itu menegang, diliputi rasa bersalah." Mas … aku—""Kamu bisa menjelaskan apa maksudnya ini?" Elvano bertanya pelan dan lembut, tapi tidak dengan ekspresinya yang menampakkan raut kekecewaan mendalam."Aku …." Leana menunduk, perempuan itu mulai menjelaskan mengapa dia bisa bertemu dengan Aditya. Leana juga mengatakan siapa ayah Azura sebenarnya. "Tapi sungguh, Mas. Aku tidak tau kenapa ada fotok
"Risa, apa menurutmu ada penghianat lagi selain Aditya? Mengingat jika berita itu mencuat kala Aditya sudah menghilang?" Risa menatap Alvaro sejenak, perempuan itu terlihat berpikir sebelum mengutarakan pendapatnya. "Sudah pasti, tidak mungkin Pak Aditya melakukan ini sendiri, sepetinya ada orang inti di dalam prusahaan ini yang bekerja sama dengan beliau." Semua yang ada di ruangan itu terdiam, sementara Elvano sejak tadi hanya memejamkan mata dengan pikiran melanglang buana. "Diandra," celetukan Elvano mengundang atensi yang ada di ruangan itu. "Deandra putrinya Rayan, bukan?" Elvano membuka mata secara perlahan, netra hazel itu menyorot Alvaro begitu dalam. "Ya, cek kembali cctv yang Papa kasih ke aku waktu itu. Lalu compare dengan cctv di ruanganku yang aku kirim ke Papa. Maka Papa bisa menebak keganjilan yang terjadi." Alvaro mengkode sekretarisnya, dengan cepat pria paruh baya itu mengikuti intruksi sang atasan. Saat ini mereka hanya ber empat di ruangan Alvaro, pertemuan de
"Jadi, di mana Mas Elvano?" tanya Leana setelah Risa mendudukkan bokongnya. Sementara Zelina belum kembali juga ke kamar Leana. "Pak Elvano sedang menyelesaikan semua kekacauan ini, Bu. Dan saya ditugaskan untuk menjaga Bu Leana sementara waktu." "Saya tidak perlu dijaga, Mbak. Saya hanya butuh Mas Elvano dan juga si kembar!" Risa menatap Leana sendu, pasti berat sekali menjadi Leana saat ini. "Nanti malam kita langsung pulang ke rumah Bu Leana, Pak Elvano sudah menyuruh orang kepercayaannya untuk membereskan wartawan yang ada di rumah. Dan saya janji, Bu Leana akan segera bertemu Nathan dan Nala." Leana mengangguk haru, tak lupa memeluk Risa dengan ucapan terima kasih.Malam harinya, Leana yang sudah sampai di rumahnya bergegas masuk ke dalam. Tak ada yang Leana lihat wartawan satu pun. Yang ada hanya pria berbadan kekar, mengelilingi pagar beserta halaman rumahnya. Dan mereka semua menyambut Lenaa dengan sopan. "Mama!" Leana yang melihat kedua anaknya sontak saja berlari cepat d