Mendengar jawaban Wisnu membuat Chandra naik pitam. Pria itu mendekat dan mencengkram kemeja Wisnu dengan mata melotot tajam."Apa maksudmu? Kau benar-benar akan memanfaatkan Aruna?" tanya nya dengan napas terengah. Menahan emosi."Kamu kenapa? Memangnya apa yang salah dengan kata-kata ku?"Cengkraman itu bertambah kuat, bahkan hampir saja Chandra melayangkan sebuah bogem mentah ke arah Wisnu jika tidak lebih dulu tersadarkan oleh kata-kata pria itu."Hubungan ku dan Aruna tidak lebih dari sekadar rekan bisnis, rekan kerja sama untuk mendapatkan seorang anak, tidak lebih. Lalu apa yang kau pikirkan? Apa menurutmu aku harus memperlakukan Aruna sama seperti Diandra, istriku?""Tapi dia juga istrimu sekarang, sialan!"Chandra menghempaskan tubuh Wisnu kasar, membuat pria itu tersungkur di samping kursi kerjanya."Wisnu!"Seorang wanita berlari tergopoh ke arah Wisnu. Ia membantu pria itu berdiri dan menatap tajam ke arah Chandra."Apa yang kamu lakukan?"Chandra diam, manik matanya menat
Suasana makan malam cukup lengang. Hanya terdengar alat makan yang saling beradu.Sebenarnya hawa malam itu cukup sejuk karena air conditioner yang menyala dengan suhu cukup rendah. Tapi entah mengapa Aruna merasakan hal berbeda. Sesuatu dalam dirinya serasa terbakar, panas tanpa alasan.Apalagi saat ia melihat interaksi antara Wisnu juga Diandra yang saling melempar senyuman manis, juga sesekali memperlakukan satu sama lain dengan manis.Apa ia cemburu? Tidak, mungkin."Kamu kenapa?"Sofie berbisik lirih. Gadis itu bertanya tanpa menatap ke arah Aruna, tangan juga matanya masih sibuk pada sepotong daging steak di hadapannya.Aruna hanya tersenyum tipis juga menggeleng kecil. Ia kembali memfokuskan diri pada makanan di hadapannya."Aruna, bagaimana?"Pertanyaan tiba-tiba Diandra membuat satu alis Aruna naik. Apanya yang bagaimana?"Soal program kehamilan, kamu sudah melakukannya?"Aruna, gadis itu sempat mencuri pandang ke arah Wisnu yang kebetulan duduk di sebelah Diandra.Pria itu
"Aku hanya khawatir karena Aruna pagi-pagi sekali sudah tidak ada di rumah."Jawaban Wisnu membuat satu alis Chandra memicing. Belum lagi pria itu yang sesekali menghindari kontak mata dengan dirinya, seolah tengah menyembunyikan sesuatu."Aku cuma nyari tukang bubur, buat sarapan," Sahut Aruna cepat.Wisnu mengganguk saja, kemudian pria itu menggandeng tangan Aruna, hendak membawanya pergi sebelum suara Chandra lebih dulu menginterupsi."Mau ke mana?""Pulang," itu Wisnu yang menyahut."Tunggu. Buburnya biar di bungkus, sayang mubazir nanti."Mereka menunggu penjual bubur membungkus pesanan Aruna, baru setelahnya dua orang tersebut meninggalkan Chandra sendirian di sana."Gebetannya mas?" celetuk penjual bubur membuat Chandra menoleh.Pria itu hanya tersenyum kecil dan kembali menyantap bubur ayam miliknya.Sementara itu, Diandra yang sudah terbangun sejak tadi sudah berkeliling rumah mencari keberadaan Wisnu.Ia sudah bertanya pada Bibi pembersih rumah, namun wanita baya itu juga ti
"Jadi maksud kamu, kamu mau merahasiakan soal kehamilan kamu dari Wisnu juga Diandra?"Chandra bertanya kebingungan setelah Aruna menceritakan soal kehamilannya.Wanita itu mengangguk, ia menghela napas dan menatap lekat ke arah Chandra yang duduk di kursi tunggal."Aku minta tolong sama kamu, rahasiakan ini, ya.""Tapi kenapa? Bukannya ini yang ditunggu-tunggu juga sama mereka?"Aruna diam. Ia menundukkan kepala dengan dua tangan yang saling tertaut satu sama lain."Aruna?"Pelan-pelan wanita itu mendongak, ia menghela napas beberapa kali sebelum berbicara."Aku juga nggak tahu. Aku nggak tahu kenapa aku justru merasa lebih aman buat merahasiakan kehamilan ku dari Wisnu ataupun Diandra." "Aku bakal ngasih tahu mereka kok, karena bagaimanapun juga anak ini bakalan jadi anak mereka nantinya. Tapi…."Perkataan Aruna terjeda, wanita itu mendongakkan kepalanya dan mengusap sekitar pipi. Matanya memerah dengan air mata yang sesekali menetes."Kamu mulai sayang sama anak itu?"Aruna diam.
"Apa katamu?" Wisnu bertanya dengan lirih. Ekspresi wajahnya sulit untuk dijelaskan, antara terkejut juga tidak percaya.Diandra diam, napasnya naik turun akibat menahan isak dalam dada. Rasanya begitu sesak sekarang."Diandra Safa, katakan apa maksudmu!"Penekanan pada tiap kata yang dilontarkan Wisnu kian mengiris perasaan Diandra. Ia takut, benar-benar takut akan kehilangan pria di hadapannya ini."Aruna, dia hamil anak kamu," sahut Diandra lirih.Air mata yang semula coba ia tahan pada akhirnya jatuh, luruh bersama isak kecil yang coba ia redam dengan bungkaman telapak tangan."Darimana kamu tahu? Kemaren Aruna bilang kalau hasilnya negatif."Mencoba denial. Wisnu masih saja berusaha meyakinkan diri jika apa yang dikatakan Diandra adalah salah."Aku lihat sendiri hasilnya saat Aruna membuang itu di tempat sampah. Jelas di sana tertera dua garis yang menandakan kalo dia sedang hamil."Menggeleng, Wisnu menggelengkan kepalanya tidak percaya. Pria itu juga meremas rambutnya sendiri
Ponsel milik Chandra bergetar, pria itu mengalihkan fokusnya dari laptop ke arah ponsel."Halo?""Dimana kau?""Kenapa kau bertanya, tentu saja di perusahaan," jawab Chandra agak sewot.Wisnu yang ada di seberang panggilan menghela napas, terjadi jeda selama beberapa saat sebelum pria di seberang telepon kembali mengajukan pertanyaan."Gimana Aruna?"Dahi Chandra mengernyit, kenapa Wisnu tiba-tiba menanyakan soal Aruna padanya?"Kenapa?""Nggak papa, cuma nanya. Kamu kan yang nganterin Aruna ke rumah kedua.""Iya. Tumben amat nanyain Aruna.""Yasudahlah, kembali kerja aja sana."Panggilan tiba-tiba terputus, Chandra jadi terheran dengan sikap Wisnu yang mendadak aneh.Sementara itu, Wisnu mengusak rambutnya kesal. Bertanya pada Chandra juga tidak ada gunanya.Apa ia harus menyusul Aruna sekarang? Tapi kondisinya sedang tidak pas. Diandra masih dalam mood yang kurang baik, apalagi jika menyangkut soal Aruna. Dirinya tidak mungkin makin menambah kesal istrinya bila tahu ia akan pergi m
Pukul lima pagi saat ponsel milik S9fie berdering nyaring, membuat tidur nyenyak nya seketika terganggu.Gadis itu meraba nakas, matanya memicing masih setengah sadar. Bukan, itu bukan suara alarm miliknya. Masih terlalu pagi baginya untuk bangun. Suara berisik pagi itu berasal dari panggilan Chandra. Sudah sekitar kali ketiga pria itu terus menelponnya, ia masih belum juga menyerah meski sebelumnya Sofie selalu me reject panggilan pria itu.Sekali lagi, Sofie menolak panggilan dari Chandra. Ia memilih untuk kembali bergelung dalam selimut dan melanjutkan mimpi tertundanya.Begitu rencana awalnya, tapi rencana hanyalah rencana.Panggilan telepon memang terhenti, tapi tergantikan dengan suara kerikil yang menghantam kaca jendela kamar. Hal itu sama saja membuat Sofie tidak bisa kembali ke alam mimpinya.Gadis itu mendengkus, dengan kekesalan level dewa ia menyingkap selimut dengan kasar. Berjalan ke arah jendela dan membukanya dengan lebar.Di bawah, tampak Chandra tersenyum puas. Pr
Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban Dari Aruna. Wisnu kembali meraih bahu wanita itu, merematnya sedikit kuat hingga Aruna meringis menahan sakit."Jawab aku Aruna, Jawab!""Sakit," rintihnya.Namun seolah tuli, Wisnu tudak menghiraukan rintihan Aruna. Pria itu masih saja menatap wanita itu juga memaksanya untuk menjawab pertanyaan yang ia ajukan."Apa yang kau lakukan, brengsek!"Chandra datang dan langsung menarik baju Wisnu, mendorong pria itu hingga tersungkur. Chandra yang merasa kesal hampir saja membubuhkan sebuah bogem mentah ke arah si lelaki jika tidak dengan segera Sofie manahan aksinya."Semuanya nggak bakal selesai dengan cara kekerasan. Lebih baik sekarang kita duduk dan selesaikan semuanya dengan kepala dingin," kata gadis itu menengahi."Kamu nggak papa?" Sofie menghampiri Aruna. Wanita itu menggeleng, ia hanya terkejut juga sedikit takut dengan perubahan sikap Wisnu yang begitu agresif.Seperti yang dikatakan Sofie sebelumnya, empat orang dewasa itu berkumpul.