Share

Pra-wedding

Pagi ini, aku menghirup udara sejuk. Suara debur ombak meriuhkan suasana meski tidak terlalu banyak orang di sini bersama aku, Ben, Fotografer, dan Make-up Artist yang akan merias sesi pemotretan pra-wedding pernikahanku.

Aku dan ben memutuskan untuk melakukannya dengan tema pantai di pulau yang berada di sebelah kota kami. Lokasinya memang tidak dikunjungi oleh banyak orang karena sebagian besar yang datang ke sini adalah orang-orang yang akan berselancar.

Setelah kepulanganku dari rumah sakit, aku memutuskan untuk mempercepat seluruh persiapan pernikahan. Awalnya Ben bertanya padaku apa tak mengapa jika aku melakukan semua ini segera. Karena menurutnya, aku baru saja sembuh dari masa pemulihanku setelah kecelakaan yang menimpa. Namun aku berkata tak apa. Aku merasa harus cepat menyelesaikan seluruhnya oleh diriku sendiri daripada harus mendengar ocehan Tante Annette. Ben berkata tidak keberatan lalu mengosongkan beberapa jadwal untuk persiapan pernikahan kami dan menyewa vila yang berjarak 20 menit dari pantai.

Aku mengenakan gaun jenis long-sleeves mini dress model v-neck berwarna putih. Rambutku dirias oleh Mona—perias wajah dan busanaku—dengan gaya layer soft bangs. Sedangkan Ben mengenakan jeans selutut berwarna nude dan kemeja putih lengan panjang. Kami telanjang kaki karena sesi pemotretan akan dilakukan di bibir pantai. Setelah semua siap, aku dan Ben berdiri mengikuti instruksi dari Lewis sang Fotografer yang juga berstatus sebagai kawan karib Ben.

"Sudah siap?" memastikan kesiapan kami.

Aku dan Ben mengangguk.

"Okay. Three, two, one ...."

Kilatan flash kamera menyinari aku dan Ben.

"Good."

Lewis menyuruh kami untuk berpindah pose dan lokasi. Aku berdiri di atas sebuah bongkahan dahan kayu yang kering. Tingginya sekitar 150cm. Ben berada di bawah mengulurkan tangannya seolah tengah membantuku untuk turun dari dahan itu.

Wajahnya tersenyum.

Cukup banyak foto dan macam-macam pose yang dipotret saat itu. Terkadang kami harus berjalan kaki beberapa ratus meter untuk mencari tempat yang berbeda. Cukup melelahkan memang. Tetapi hasil jepretannya sangat bagus. Lewis sangat terampil dengan kameranya itu.

Kami beristirahat sebentar sebelum pemotretan terakhir. Untungnya cuaca saat itu tidak begitu panas meski matahari telah berada tepat di atas kepala.

"Capek?" tanya Ben menghampiriku yang duduk di atas dahan pohon kelapa kering sambil memerhatikan pantai.

"Lumayan," jawabku.

Ben duduk di sebelahku dan memberiku sebotol air mineral.

"Thanks," ujarku lalu meneguk air pemberiannya.

Ben tak membalas. Ia ikut memerhatikan luasnya pantai di hadapan kami. Dan seperti biasanya, kami saling diam.

Laut ini terlihat sangat cantik. Sinar matahari membuat ilusi mata seolah di atas permukaan airnya terdapat bulir-bulir cahaya yang mirip layaknya kilauan mutiara. Seperti laut pada umumnya, sejauh mata memandang, terlihat tidak berujung. Sama seperti hubungan pria yang duduk di sampingku ini. Entah bagaimana ujung kisah kami nantinya.

"Besok saat fitting baju, Tante Annette nggak perlu ikut, ya," Ben membuka obrolan.

"Memangnya kenapa?" tanyaku penasaran.

"Biar kamu bisa pilih model gaun sesuai seleramu. Siapa tahu Tante Annette malah menyiapkan tapi kamu kurang suka modelnya."

Aku cukup tersentuh dengan kepeduliannya itu. Namun perkiraan Ben salah. Mana mungkin Tante Annette memerhatikan hal itu. Baju apapun yang kupilih dan kukenakan, ia hanya akan tetap fokus pada tujuannya untuk menikahi aku dengan Ben. Namun aku juga bersyukur Karena Tante Annette tidak perlu ikut serta. Karena aku merasa tak tahan melihat tingkahnya yang bersandiwara di hadapan Ben.

"Iya. Nanti aku bilang ke Mama," ucapku.

"Ben, Mill, ayo siap-siap lagi. Takut hujan!" Lewis berteriak dari belakang.

Aku dan Ben menoleh bersamaan, "Iya!" jawab kami.

Lalu aku dan Ben bertemu pandang. Aku mematung. Mata birunya begitu indah. Namun tiba-tiba kilatan flash kamera mengejutkanku dan juga Ben. Lewis memotret kami.

"Wonderful! Kalian harus simpan foto ini, ya!" ucapnya membuyarkan suasana.

Ben berdiri untuk protes, "Oh ... c'mon, Lewis," ia bertolak pinggang. Lewis tersenyum tanpa menghiraukan Ben.

Ben mengulurkan tangannya padaku. Aku menggapainya, lalu beranjak dan berjalan bersamanya menuju Mona dan langsung melanjutkan pemotretan setelah riasan kami selesai diperbaiki. Kini kami melakukannya di hutan yang berada di pantai ini.  Lewis berkata pada kami untuk melakukan pose selanjutnya di bawah salah satu pohon.

"Now, Milly ... sandarkan tubuh kamu ke dahan pohon. Nanti Ben merangkul Milly dan wajahnya berdekatan seperti akan ciuman, mengerti?"

Aku dan Ben mengangguk tanda mengerti.

Ben melangkah mendekat dan menarik tubuhku hingga menempel dengan tubuhnya. Aku terkejut karena sebelumnya aku dan Ben belum pernah sedekat ini.

Spontan aku melepaskan pelukan Ben.

"Mill, are you alright?" Lewis bertanya saat ia melihat tingkahku

"Eh, maaf ...." jawabku.

Tiba-tiba Ben kembali mendekat, lalu jemarinya menata rambutku yang berantakan diterpa angin, "Babe, kamu masih capek?"

"Eh?"

Aku terbelalak dan mematung menatap Ben. Ia mengedipkan satu matanya.

Apa? Babe? ucapku dalam hati.

"E-enggak, kok! Yuk, lanjut lagi!" Aku tersenyum lalu mengatur napas.

Untungnya Ben mengerti kalau aku kaku karena karena belum terbiasa dengan pose pra-wedding ini. Apalagi ketika harus melakukan kontak fisik dengan Ben. Jika hanya sekadar berpegangan tangan, merangkul, menatap satu sama lain dan tersenyum, aku tak apa. Namun dengan yang satu ini, aku perlu latihan ekstra sebelum melakukannya.

Bukan ... bukan karena aku tidak suka. Namun aku butuh adaptasi untuk hal seperti ini.

"Okay, kita lanjut, ya!" ucap Lewis.

Aku kembali ke posisi semula. Kali ini aku meyakinkan diriku. Ben mendekat, meraih tubuhku, medekapku, lalu sorot matanya bertemu dengan mataku.

Mata birunya indah. Aku terpesona. Jantungku berdegup kencang. Kuharap Ben tidak mengetahuinya.

Ben tersenyum, lalu bibir kami mendekat. Aku bisa merasakan hangat deru napasnya saat itu. Aku dan Ben menahan posisi kami, sementara Lewis fokus memotret kami.

"Wait, jangan berubah posisi. But, Ben. Would you kiss her, please?"

Astaga Lewis!

Aku ingin memprotes, namun Ben mendekapku semakin erat. Matanya seolah meyakinkanku kalau kami harus melakukannya. Lalu seperti terkena sihir, tubuhku tidak memberontak. Kupejamkan mataku, lalu bibir kami bertemu.

Tidak! Keperawanan bibirku sudah hilang. Dan itu karena Ben! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status