Akhirnya, polisi datang kurang dari lima belas menit setelah aku menelpon. Tolong jangan tanyakan kenapa mereka tumben cepat datang. Karena aku sendiri pun tidak tahu.
Aku hanya menghubungi Bang Elang, polisi yang sudah lumayan aku kenal. Lalu menyampaikan apa yang terjadi di sana. Setelah itu, menunggu seraya terus berdoa saat menyaksikan Live Boxing antara Alan dan genk Edo.
"Aa--"
"Pakai dulu!"
Baru saja aku mau bersegera keluar dari mobil saat Alan akhirnya membuka pintu. Pria itu malah menahannya, dan menyodorkan sebuah kain dari sela pintu.
'Eh, itu hijabku! Ya ampun ... ternyata dia sangat perhatian dan mau repot-repot mengambilkan kain ini demi menjaga kehormatanku.'
Seketika hatiku menghangat menerima perhatian Alan barusan.
"Dibelakang pintu ada jaket bersih. Pakai dan keluarlah," titahnya lagi tanpa melihatku.
Aku menurut. Kututup kembali pintu mobil, memakai hijab dengan benar dan mencari jaket yang Alan sebutkan tadi. Wangi khas Alan pun langsung terasa memeluku. Membuat aku nyaman seketika.
"Bro, jangan lupa. Lo sama Hamsi harus bikin BAP abis ini. Biar tuh cunguk segera di proses." Bang Elang menghampiri kami. Saat Edo dan kawan-kawannya sudah berhasil diamankan.
"Biar saya saja. Hasmi tidak usah," jawab Alan cepat. Aku hanya menyimak dari dalam mobil
"Loh, tapi bukannya ini kasus percobaan pemerkosaan pada Hasmi, ya? Kenapa gak sekalian saja? Biar hukumannya double," usul Bang Elang.
"Tidak usah. Hasmi tidak usah dilibatkan. Biar saya yang urus semuanya." Alan bersikukuh.
"Tapi--"
"Anda tidak usah khawatir. Saya pastikan mereka akan mendekam lama di dalam penjara, tanpa harus membuka apa yang sudah terjadi pada Hasmi."
"Tapi Kenapa lo gak mau nyuruh Hasmi bikin BAP juga. Kan, kejadian ini memang harus dilaporkan ke pihak berwajib." Bang Elang masih mencoba meyakinkan Alan.
"Nama baik Hasmi akan tercemar jika terlibat. Meski ini hanya kasus percobaan pemerkosaan, tapi orang-orang tidak akan melihat Hasmi dengan tatapan yang sama lagi."
Lalu masalahnya di mana? Aku tidak keberatan padahal. Tapi, kenapa Alan sangat mengkhawatirkan hal itu? Kenapa Alan sampai sengotot ini melindungi nama baikku? Padahal dia kan cuma pengacara atasanku.
"Saya gak papa, kok." Aku turut buka suara setelah keluar dari mobil Alan. "Saya gak keberatan dengan opini masyarakat nanti. Saya--"
"Saya yang keberatan." Alan memangkas ucapanku cepat, dengan wajah datar yang sudah menjadi ciri khasnya. Juga tatapan tajam yang mampu membuat aku khilangan kata-kata.
Nyaliku langsung ciut untuk membantahnya lagi. Namun di sisi lain, hatiku justru berdebar tak tahu malu menerima sikapnya yang protektif hari ini.
Ada apa dengan diriku? Ada apa pula dengan sikap Alan hari ini?
Padahal sebelum ini. Biasanya kami seperti tom n jerry jika bertemu. Karena meski wajah dan sikap Alan kaku mirip beton, tapi tidak dengan mulutnya yang selalu mengeluarkan kata-kata pedas. Membuat aku kerap kali terpancing emosi tiap kali berbicara dengannya. Lalu ... apa arti sikapnya hari ini?
"Ekhem!" Bang Elang meminta atensi saat hening malah tercipta di sana. "Ya udah kalau lo maunya begitu. Tapi, lakukan cepat, ya? Gue pamit." Bang Elang memilih tak melanjutkan debatan. "Ah, iya. Hasmi, kamu mau pulang sama Abang atau--"
"Dia pulang bersama saya." Lagi, Alan menyela seenaknya. Membuat Bang Elang tiba-tiba mengulum senyum penuh arti.
Sementara aku? Malah makin bingung dengan sikapnya ini. 'Kenapa aku merasa Alan aneh malam ini?'
"Ya udah, gue pamit. Baik-baik di jalan, ya? Dan jangan lupa obati luka-luka kalian," ucap Bang Elang mengingatkan seraya menepuk kepalaku pelan.
Aku menanggapinya biasa. Karena Bang Elang memang selalu seperti ini. Polisi playboy itu memang sering seenaknya menepuk kepalaku. Namun, sepertinya hal itu tidak berlaku untuk Alan. Pria itu kini terlihat menatap Bang Elang dingin.
'Kenapa? Apa dia cemburu? Tapi hak apa dia cemburu? Kami bukan sepasang kekasih!'
****
"Sudah?"Aku hanya mengangguk pelan menjawab tanya Alan, seusai mendapat perawatan di klinik terdekat untuk luka-luka yang aku dapatkan dari Edo.
Sebenarnya, Alan juga seharusnya mengobati lukanya itu. Tetapi dia menolak, dan katanya akan langsung melakukan visum ke rumah sakit saja untuk kelengkapan berkas.
Sampai sekarang aku masih belum paham kenapa dia melarangku turut andil dalam melaporkan Edo. Ingin bertanya, aku tidak berani. Tatapan Alan terlalu tegas, seperti memberi peringatan jika dia tidak ingin dibantah. Jadi aku pun akhirnya menurut saja.
"Okeh, kita pulang," ajaknya setelah mendapat jawaban dariku.
"Tebus obat dulu, A'." Aku mengingatkannya. Alan hanya mengangguk. Lalu menggiringku mengikuti langkahnya ke parkiran.
Obat yang diresepkan Dokter di sini memang sebagian tidak tersedia sementara. Habis katanya, makanya aku harus mencari apotik lain demi melengkapi resep tersebut.
"Nanti kamu tidak usah turun. Biar saya saja yang beli."
Alan mulai lagi memberikan larangannya. Akan tetapi, kali ini aku tidak bisa menurut. Soalnya ....
"Tapi saya ada yang mau dibeli juga nanti."
"Apa?"
'Aduh! Masa aku harus bilang hal itu. Mana bisa. Aku malulah kalau minta hal itu padanya.'
"Gak usah deh A'. Saya beli sendiri saja." Terpaksa aku pun menolaknya. Karena memang yang ingin aku beli nanti bersifat pribadi.
"Kenapa? Kamu tidak percaya saya bisa membelikan barang itu?" Alan malah salah paham.
"Bukan begitu ih, Aa. Jangan suudzon." Aku membantah cepat.
"Lalu?" kejar Alan penasaran.
Aduh, gimana ini? Aku malu memintanya. Rasanya tidak pantas saja aku meminta hal itu pada pria. Apalagi kami tidak punya hubungan apapun. Mana bisa aku kurang ajar.
"Pokoknya saya beli sendiri saja. Soalnya ini sifatnya pribadi." Sebisa mungkin aku memberi alasan agar Alan tidak melarangku kembali.
Alan terdiam beberapa saat. Lalu mengangguk mengerti seraya terus fokus pada jalanan di depan.
"Sebenarnya saya tahu apa yang ingin kamu beli," ucapnya tiba-tiba.
"Apa?" tanyaku penasaran.
"Pembalut atau obat haid."
Eh!
"Kok Aa tahu?" tanya itu meluncur cepat tanpa bisa aku cegah.
Alan tidak langsung menjawab. Pria itu malah menyuruh aku keluar karena kami memang sudah sampai. Tetapi sebelum keluar, Alan mengambil sebuah jas dari kursi belakangnya.
Kukira buat apa. Ternyata Jas itu dia ikatkan di pinggangku, lalu memberikan kode padaku untuk melihat kursi samping kemudi yang terdapat noda merah di sana.
"Kamu 'Tembus' Hasmi. Makanya tadi saya larang keluar mobil."
Seketika aku ingin pinjem helm orang yang lewat.
*Happy Reading* 'Tembus' Satu kata yang dikatakan Alan malam itu, sukses bikin aku megap megap bak ikan koi kekurangan air. Sumpah demi apapun. Malam itu rasanya aku pengen pinjem helm sama siapa aja yang, setelah mendengar kata itu. Sayangnya, gak ada yang lewat bawa helm, jadinya gak ada yang bisa nyelametin mukaku. Namun yang paling menyebalkan adalah, Alan mengucapkannya dengan wajah datar tanpa ekspresi apapun. Membuat aku malah menebak-nebak isi pikirannya saat itu. Apa kasian? Apa lucu? Atau malah pengen bully? Apapun itu, pokoknya aku tengsin abis! Makanya, setelah kejadian malam itu. Aku sebisa mungkin menghindari Alan, jika melihatnya di rumah sakit, sedang mengunjungi Dokter Karina. Pokoknya, aku belum siap deh, ketemu dia lagi. Masih tengsin banget, Mbak bro! "Mi, kamu beneran gak mau saya titipin laporan ini buat Alan. Biasanya kan, kamu paling getol sama tugas ini." Dokter Karina mu
*Happy reading* "Eh, neng Hasmi. Baru pulang ngevet, ya?" Aku langsung mendengkus kesal, saat baru saja keluar rumah sakit pagi itu, tak sengaja bertemu dengan Bang Elang yang sepertinya sedang ada tugas di sana. Entah itu ada kasus baru, atau mengambil hasil visum salah satu korban kasus yang tengah dia selidiki. Pokoknya, pria itu berhasil membuat aku jengkel dengan sapaanya barusan. Mentang semalam adalah malam jumat, seenaknya aja dia mengira aku baru pulang ngevet. Aku kan baru pulang mandi kembang tujuh sumur--eh, pulang sift malam. "Gak ada sapaan lebih manusiawi apa, Bang? Segala Babi ngevet lo bawa-bawa. Nyindir diri sendiri atau gimana?" Aku membalas dengan kesal. Bang Elang tergelak renyah di tempatnya, seraya menepuk kepalaku. "Mana ada Abang abis ngevet. Orang kayak Abang pastinya abis sunah rosul, dong. Emang situ, jomlo! Oops! Lupa kalau udah punya Aa Alan." Aku tahu dia sedang men
*Happy Reading*Aku udah gak ngerti lagi dengan situasi yang tengah terjadi sekarang. Ternyata Irfan temannya SMA-nya Alan. Demi apa? Tuhan ... sejodoh itu ya aku sama nih manusia lempeng. Hingga aku kayaknya gak bisa jauh sama tuh makhluk dingin yang ingin sekali aku taruh di tungku.Biar anget dikit gitu, gengs. Soalnya, Alan tuh dinginnya udah mengkhawatirkan banget. Apalagi, setelah dikenalkan tadi oleh Irfan. Tatapannya itu, loh! Bikin aku pengen pipis mulu.Lebih menyebalkannya. Tuh cowok kek gak ada kerjaan hari ini. Ngintilin kami terus dari tadi. Bahkan saat Irfan mengajaknya gabung makan siang bersama. Dia setuju aja gitu, tanpa ngerasa dosa sama sekali.Ya ... Ampun, nih cowok beneran gak ada kerjaan, ya hari ini? Atau emang mau nyambi jadi nyamuk? Nyebelin banget, sumpah!"Kenapa melihat saya seperti itu? Gak suka saya gangguin kencan kalian?"Udah tahu tanya! Kalau emang dia sepeka itu, kenapa gak minggat aja, sih. M
*Happy Reading*Aku pun dengan otomatis melirik Irfan, yang langsung terlihat gusar melihat wanita itu, sambil mencuri lirik ke arahku.Bangke!!Jadi aku sudah ditipu selama ini?Baru aja aku hendak beranjak dari tempat dudukku. Alan tiba-tiba menginterupsi dengan santainya."Oke! Karena sekarang bini lo udah dateng. Gue pergi, ya? Ayo, Sayang," kata Alan kemudian, sambil mengulurkan tangannya ke arahku.Apa?!Jadi nih pengacara juga udah tau, kalau Irfan ini punya keluarga? Kenapa dia gak kasih tahu, sih? sengaja ya, mau bikin aku kehilangan muka?Atau … jangan- jangan Dia sekongkol sama Irfan?"Sayang?" panggil Alan lagi. Sambil memberikan kode lewat ekor matanya, untuk meraih tangannya.Sayangnya, karena aku masih shock. Aku pun malah menatap uluran tangan itu dengan linglung. Memang apa yang harus aku lakukan? Menyambut tangan Alan dan ikut dramanya yang lain? Sialan! Kenapa aku harus terjebak dalam sit
Jomlo 9*Happy Reading*"Pergilah," titah Alan, saat kami sudah sampai di lobby Mall.Aku pun sontak melirik Alan dan mengernyit tak mengerti.Pergi?Pergi kemana?"Kenapa diam? Gak mau pergi, huh? Mau minta saya anterin, gitu?" tanya Alan lagi, seraya menaikan sebelah alisnya ke hadapanku.Aku yang masih setengah linglung pun, belum bisa berkomentar apapun. Karena belum sepenuhnya bisa mencerna yang terjadi barusan.Barusan aku lagi ngapain, sih?Lagi jalan sama Irfan, kan?Terus papasan sama Alan. Terus makan siang bertiga, dan … Ah, iya. Aku baru dapat kejutan hebat dari si brengsek Irfan."Saya harap kamu tidak baper karena kejadian tadi, Suster. Tolong, apapun yang saya katakan di dalam. Jangan masukan hati. Karena ... uhm ... sebenarnya saya hanya ingin membalas jasa saja," jelas Alan tiba-tiba. Tanpa diminta siapapun."Balas ... jasa?" beoku reflek"Ya!" jawab Alan tegas. "Sepert
Jomlo 10*Happy reading*"Mi, Bantuin Alan sono," kata Dokter Karin tiba-tiba."Maksudnya, Dok?" bingungkuIya bingung. Orang dari tadi aku cuma jadi pendengar, kok. Tiba-tiba malah disuruh bantuin Alan. Bantuin apa pula?"Ya ... gitu. Bantuin Alan, Mi. Kasian," jawab Dokter Karin makin membuatku pusing."Gaje, deh. Bantu apa pula? Kenal juga enggak sama tuh cewe. Ya, kali saya tiba-tiba muncul belain Alan. Nanti kalau doi salah paham gimana?" protesku tak terima.Suka ngadi-ngadi emang nih Dokter sebiji."Nah, itu maksud saya!"Eh?"Siapa tau kalo tuh cewe liat Alan udah punya gandengan lain. Dia bakal sadar dan--""Dih, ogah!!" tolakku cepat, kala sudah bisa mencerna arah pembicaraan Dokter Karin barusan.Pasti deh, yakin aku mah, kalau dia mau minta tolong biar aku pura-pura jadi pacarnya tuh jalan tol.Ih, gak mau!!"Tapi kan, kasian Alan, Mi," kata Dokter Karin lagi."
Jomlo 11*Happy Reading*"Ka-kamu sendiri mana? Kalo kamu beneran udah tunangan sama dia. Mana buktinya? Cincin tunangan kalian mana?"Eh, Sialan! Gue di balikin, pemirsah!Haduh ... Ini sih, namanya senjata makan tuan. Kagak enak banget sumpah!Bentar, aku mikir dulu, ya?"Gini nih kalo orang gak pernah sekolah. Embak, di mana-mana juga, yang namanya tanya itu, pasangannya jawab. Bukan malah balik nanya. Ngerti gak, sih?"Ngeles terus!"Alah! Bilang aja kalo kamu emang gak bisa buktiin pertunangan kalian. Kamu itu kan, cuma ngaku-ngaku!"Ya, salam. Pinter juga nih cewe."Eh, gak usah kaya maling teriak maling deh, ya? Saya sih, gak perlu buktiin apa-apa di sini. Karena saya memang di pihak yang benar. Tuh, buktinya aja calon saya lebih pro ke saya kan, dari pada ke situ?"Huh! Jangan harap aku mau ngalah, ya? Gini-gini juga aku pernah jadi juara debat loh, se-RT waktu di kampung."Mana bisa itu dija
Jomlo 12*Happy Reading*"Melihat kekecewaan anda, sepertinya anda sangat menyukai Irfan, ya?" tebak Alan tiba-tiba.Tentu saja, aku pun langsung menggeleng cepat membantah tuduhan itu, karena itu memang tidak benar."Bukan, bukan seperti itu, Pak. Saya akui, saya memang lumayan kecewa di sini. Tapi itu bukan karena saya terlanjur menyukai Irfan. Saya hanya ... Kecewa pada diri sendiri saja. Khususnya pada kebodohan saya yang selalu jatuh dilubang yang sama. Bego banget, kan?" Aku kembali menertawakan diri sendiri.Kukira, Alan akan setuju dan menjadikan hal itu bahan bully-an untuk membuatku emosi seperti biasa. Secara, dia kan memang musuhku, ya kan?Ternyata, Alan malah menggeleng dan menepuk pundakku sejenak sambil berkata, "Anda tidak sepenuhnya bodoh."Eh?"Wajar jika anda tertipu dengan Irfan, dia memang sangat ahli dibidang itu. Anda bukan satu-satunya."Hah?! Maksudnya?"Itulah kenapa? S