Share

Bab 6. Tawaran Tuan Darsa

Di sepajang jalan, mata tuan Darsa tidak fokus untuk mengemudikan mobilnya. Lirikan ekor matanya selalu tertuju pada bukit kembar dan kulit mulus pada betis yang menggoda milik Utari.

"Kamu kenapa kabur dari anak buahnya juragan Somat. Bukannya enak ya jadi istri juragan Somat yang kaya raya itu?" tanya Darsa, lagi dan lagi melirik ke arah bukit kembar Utari.

"Enghhh ... Itu, Tuan." Utari menjeda ucapannya sejenak, karena merasa gugup. "Sebenarnya saya dijual sama Bapak saya ke juragan Somat untuk melunasi hutang," jelas Utari dengan kepala tertunduk malu.

"Oh, ternyata begitu," sahut Darsa menganggukkan kepalanya pelan.

"Lalu, tujuan kamu sekarang ke mana?" tanya Darsa lagi pada utari.

Utari melirik takut-takut ke arah wajah tampan lelaki matang yang ada di sampingnya itu. "Saya mau ke kota, Tuan," jawab Utari pelan.

"Waduh, kalau ke kota malam-malam terus sendirian kayak gini berbahaya untuk kamu. Nanti yang ada kamu diperkosa sama orang-orang yang ada dijalanan dan asing bagi kamu. Emangnya kamu mau masuk ke lubang yang sama?" Kali ini Darsa menatap lekat wajah Utari.

"Terus saya harus bagaimana, Tuan? Saya enggak mau dikawinkan sama juragan Somat," tanya Utari yang mulai cemas kembali.

"Saya punya pilihan untuk kamu. Saya akan beli kamu dari tangan juragan Somat dan kamu tinggal di rumah saya. Atau kamu saya turunkan di sini sendirian dengan saya kasih kamu uang lima ratus ribu untuk ongkos pergi ke kota. Jadi, kamu mau milih yang mana?" 

Darsa langsung menepikan mobilnya. Lalu memutarkan posisi duduknya mengarah lansung ke arah Utari. "Saya enggak bermaksud merendahkan kamu. Karena saya memang butuh seseorang untuk mengurusi rumah saya dan ibu saya yang sedang sakit juga," jelas Darsa secara rinci.

Utari pun juga memutar posisi duduknya, hingga mereka berdua saling berhadapan satu sama lain. Tanpa sadar, gerakan yang Utari timbulkan membuat Darsa semakin panas dingin.

"Maaf, Tuan. Apa Utari enggak merepotkan Tuan lagi? Utari takut tidak becus mengurusi rumah milik Tuan. Apalagi mengurusi orang sakit seperti ibu Tuan. Utari belum punya pengalaman sama sekali, Tuan," ucap Utari panjang lebar pada Darsa.

"Enggak apa-apa, Utari. Saya akan maklumin soal itu. Ibu saya juga bukan orang yang berpenyakit berat, beliau hanya mempunyai penyakit gula dan darah tinggi. Pekerjaan kamu cuma hanya mengingatkannya untuk minum obat, membuat makanan, dan menemani ibu saya di rumah."

"Ya sudah, Tuan. Kalau begitu Utari terima tawaran dari Tuan," putus Utari final, dengan senyuman malu-malu pada Darsa.

"Ehem! Kaki kamu seksi juga, ya," ucap Darsa keceplosan yang arah pandangannya tertuju pada betis Utari yang terbuka.

"A-apa, Tuan?" tanya Utari terbata-bata yang ingin memastikan fungsi dari pendengarannya.

Darsa spontan gelagapan. Ia memaki dalam hatinya atas kecerobohan mulutnya yang tidak bisa dikontrol sedikit pun.

"Enghhh ... Maaf, Utari. Saya enggak bermasud berpikiran kotor tentang kamu. Saya hanya mau bilang kalau baju kebaya yang kamu kenakan itu terlalu ketat," ucap Darsa yang meralat ucapannya tadi.

Dengan polosnya, Utari langsung percaya gitu saja. "Iya, Tuan. Saya juga merasa sesak di bagian dada," balas Utari, yang dengan bodohnya malah menarik kebayanya ke bawah dan sangat jelas menampakkan belahan bukit kembar yang sedap dipandang mata oleh Darsa.

"Ya sudah, ini kamu ganti saja dengan pakaian saya." Darsa memberikan totebage berisi baju bersih kepada Utari.

"Tapi, Tuan, Utari ganti bajunya di mana? Di sini ada, Tuan. Takutnya nanti Tuan mengintip Utari yang sedang berganti baju," ucap Utari dengan lirih, yang kedua pipinya sudah memerah malu.

Sebelum menjawab, Darsa terbatuk kecil. "Enggak apa-apa. Saya akan hadap depan terus, nanti kamu gantinya di kursi belakang saja."

Utari mengangguk pelan. Tangannya pun sudah memegang handle pintu Darsa. Tetapi, langsung diturukan ketika tangan besar nan kekar milik Darsa sudah berada di atas pahanya.

"Kamu jangan keluar, mending lewat sini saja," ucap Darsa, yang tanpa sadar mengelus paha Utari seduktif.

Utari semakin merasa risih atas gerakan tangan dari Darsa. "Maaf, Tuan. Bisa turunkan tangan Tuan dari atas paha Utari?" tanya Utari masih menggunakan kesopanan.

Seakan kepalanya seperti disiram oleh air yang sangat dingin. Darsa akhirnya sadar dan lagsung menarik tangannya secepat mungkin. "Oh, ya ampun. Maaf, Utari. Tangan saya memang suka gatal dan sering digesek-gesek supaya gatalnya hilang," alibi Darsa, yang tentu saja semuanya bohong.

Utari hanya bisa menganggukkan kepalanya keki. "Tuan, lampunya tolong di matikan, ya,," pinta Utari dengan suara pelan tanpa menatap ke wajah Darsa.

Darsa menganggukkan kepalanya menyanggupi permintaan dari Utari, meski di dalam hatinya jelas-jelas menolak dengan mentah. "Oke, saya akan matikan lampunya.

Setelah lampu di dalam mobil memang benar-benar padam. Utari langsung bergegas berpindah tempat ke kursi penumpang dengan melewati sela-sesa kursi yang ada di depan. Kain rok kebaya yang dipakai oleh Utari telah tersibak sampai sebatas betis atas. Dan lagi-lagi Darsa dibuat panas dingin oleh kemolekan tubuh dari Utari.

"Astaga, lama-lama saya bisa gila bersama Utari. Keimanan saya selalu diuji saat melihat keindahan dari tubuh Utari,'' gumam Darsa berdecak kesal dari dalam hatinya.

Tidak mau kehabisan akal, Darsa memutar kaca spion tengah mobilnya dan mengarahkan ke arah posisi Utari berada. Senyuman lega milik Darsa kembali terukir di bibirnya. Gerakan jemari Utari yang gemulai membuka kancing kebaya membuat kepala Darsa semakin pening. Meski dalam keadaan gelap, Darsa sangat yakin sekali jika bukit kembar milik Utari sangat besar sekali.

"Untung cuma Bagain atas yang kelihatan, apalagi yang bagian bawah. Bisa-bisa saya jadi gila," ucap Darsa.

***

Halo para pembaca. Jangan lupa untuk memberikan vote, coment dan share.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status