Share

Bab 7. Buah Duren

Mobil yang dikendarai oleh tuan Darsa akhirnya sampai di sebuah villa yang sangat megah dan mewah. Ada gerbang tinggi yang menghalangi masuk ke dalam villa.

Dengan gerakan luwes, Darsa mengambil remote control di balik dasboard mobilnya. Kemudian, membuka kaca jendela mobilnya dan langsung menjulurkan tangannya ke luar guna menyatukan sensor yang tertempel di dinding pagar itu.

"Wah ... Ini villa pribadi milik Tuan?" tanya Utari berdecak kagum menyaksikannya.

"Iya, ini punya saya. Tapi, sudah lama tidak ditempati. Karena saya terlalu sibuk di luar kota," jawab Darsa sekenanya.

"Berarti Tuan ini orang kaya juga di kampung ini, ya?" tanya Utari yang semakin tidak mengontrol rasa antusiasnya mengetahui seluk beluk dari seorang Darsa.

"Enggak juga lah. Saya sama kayak kalian semua, manusia yang membutuhkan sesuap nasi," elak Darsa yang tidak mau mengaku kebenarannya.

Utari hanya bisa mengulum senyuman manisnya yang malu-malu.

"Kalau jarang ditempati, berarti di dalamnya pasti kotor ya, Tuan?" Utari menatap lekat Darsa yang sedang fokus memarkirkan mobilnya.

Darsa pun juga membalas tatapan Utari tidak kalah lekatnya. "Kamu jangan takut, Utari. Setiap tiga kali sehari saya selalu menyuruh anak buah saya untuk membersihkan dan merawat villa saya."

"Ayo, silakan turun," ajak Darsa yang sudah melepas sabuk pengaman mobil.

Utari pun mengikuti Darsa yang turun dari mobil. Melihat punggung tegap dan kekar milik Darsa membuat Utari berpikir yang tidak-tidak.

"Baru kali ini Utari lihat lelaki yang berumur, tapi masih kelihatan gagah dan tampan," gumam Utari masih menatap punggung Darsa.

"Kamu mau sampai kapan berdiri di sana, Utari?" tanya Darsa yang melihat Utari masih terbengong-bengong.

"Eh, maaf Tuan." Utari pun langsung melangkah kembali mengikuti Darsa.

Mereka berdua masuk ke dalam villa dalam keadaan gelap gulita. Utari yang memang takut gelap, langsung memepetkan dirinya ke punggung Darsa.

"Tuan, kok lampunya mati, sih?" tanya Utari dengan berbisik.

Jantung Darsa berdesir hebat. Tekanan benda panjang yang berada di tengah-tengah pahanya membuat Darsa menghembuskan napasnya berat.

"Kenapa kamu nempel-nempel di saya, Utari? Buah duren kamu sangat kenyal menempel di punggung saya," ucap Darsa dengan suara serak-serak basah.

Reflek Utari menjauhkan dirinya pada punggung Darsa. "Buah duren? Saya enggak bawa buah duren, Tuan," ucap Utari yang kebingungan, masih belum mengerti maksud dari ucapan Darsa.

"Sudahlah, kamu jangan berdiri di belakang saya. Nanti saya enggak kuat kalau kamu kayak gitu terus." Darsa mencoba menahan hasratnya agar tidak meledak di detik itu juga.

"Tuan Darsa sedang sakit, ya? Mau Utari pijit, kan? Kata adik Utari, pijitan Utari enak dan bikin ketagihan," tawar Utari, yang tangannya sudah menempel di lengan dan dada bidang milik Darsa.

"Saya juga bakalan ketagihan kalau kamu pijit bagian terong saya, Utari," balas Darsa yang sudah tidak bisa mengontrol ucapannya itu.

"Tuh, tadi buah duren sekarang malah terong. Kan, dari tadi kita enggak bawa begituan, Tuan," decak Utari yang masih belum paham sama sekali atas kode yang diberikan oleh Darsa.

"Ya sudah lah. Lama-lama saya makin pusing, Utari." Darsa pun langsung menepis tangan Utari yang bertengger di tubuhnya itu.

Melihat Darsa yang pergi begitu saja membuat hati Utari merasa bersalah. Dengan cepat Utari menyusul langkah Darsa yang tergesa-gesa.

"Tuan! Tuan, marah sama Utari, ya?" tanya Utari cemas. "Kalau Tuan marah, Utari minta maaf sedalam-dalamnya sama Tuan. Atau enggak nanti Utari akan pijit kan Tuan sepuasnya," sambung Utari yang memberikan janji pada Darsa.

"Ya sudah, ayo ke kamar mandir!" titah Darsa tegas menatap tajam Utari.

"Loh, kok di kamar mandi Tuan?" tanya Utari kebingungan.

"Maksud saya, nanti kamu pijit kan saya sembari saya berendam di kamar mandi," ucap Darsa menggeram gemas.

"Tapi, Tuan. Kan, pijitnya menggeram minyak. Masa harus berendam di dalam air, sih," protes Utari.

"Ya tinggal ganti minyaknya menggunakan sabun cair nanti, Utari. Kenapa malah dibuat susah, sih!" Darsa mendengus kesal.

"Oh, begitu, ya. Ternyata orang kota sama

orang kampung dipijitnya berbeda, ya," ucap

Utari sambil menganggukkan kepalanya

mengerti. "Ayo, kamu ikut saya ke kamar mandi sekarang!" titah Darsa pada Utari.

Dengan patuh Utari mengikuti semua perintah dari Darsa. Ketika Darsa berhenti tiba-tiba, maka Utari langsung menubruk punggung Darsa yang kekar nan keras itu.

"Astaga, Utari! Kamu bisa enggak 'sih jalan yang benar, hah?" tanya Darsa menggeram marah.

"Enghhh... Maaf, Tuan. Ini juga bukan salah

Utari semuanya, kan Tuan sendiri yang berhenti tiba-tiba. Jadinya Utari enggak sengaja nabrak punggung Tuan," kilah Utari takut-takut menatap ke wajah Darsa.

22:32

...0,2KB/dl (57)

Beli Data

Buka Gratis

Mode Data

Postingan Anda

"Saya enggak mempermasalahkan soal tabrakan di punggung saya, Utari! Tapi, saya enggak akan kuat kalau kamu selalu menyodorkan buah duren kamu ke saya!" geram Darsa geregetan atas sikap polos Utari.

"Sudah dua kali loh Tuan bilang kalau saya bawa buah duren. Nih, lihat Tuan! Saya enggak bawa apa-apa di tangan saya." 11

Darsa mengerang frustasi. "Maksud saya bukan iku, Utari. Ucapan saya cuma hanya kiasan. Yang saya maksud itu, yang bulat punya kamu Utari!" tunjuk Darsa ke arah buah dada Utari yang sekal.

Utari mengerjapkan matanya pelan. Lalu, tangannya refleks menyentuh gundukan yang kenyal itu.

"Ini buah dada bukan buah duren, Tuan," ucap Utari mengoreksi ucapan Darsa.

***

Halo para pembaca. Jangan lupa untuk memberikan vote, coment dan share.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status