Bagi Sabda sendiri sebenarnya tidak bermaksud memanas-manasi, dia melakukan itu secara natural karena Senja memang masih sungkan. Maklum baru pertama kali bertemu Kakek dan neneknya. Di samping ada beban yang dibawa, hubungan yang tidak tahu bisa diterima apa tidak oleh mereka."Kakek ingin kalian segera menikah. Mau nunggu apalagi. Kalian sudah sama-sama cukup umur. Kami juga masih ingin melihat kalian menggendong anak-anak kalian."Sabda memilih diam dulu. Jika ia memberitahu mereka sekarang, sudah pasti terjadi keributan antara dirinya dan Arga. Dan Arga pun diam, tidak membicarakan kenyataan yang sebenarnya. Kedua pria itu tidak ingin kakek dan nenek mereka melihat keributan yang bisa saja berakhibat fatal. Jika terjadi apa-apa, keduanya akan disalahkan oleh keluarga besar.Selesai makan, mereka tidak langsung pulang. Sabda menemani kakeknya yang kembali ke kandang burung. Citra bicara dengan Bu Tedjo, sedangkan Senja minta izin untuk Salat Zhuhur lebih dulu. Cukup lama ia berdiam
Mobil terparkir dan turunlah dua orang dari sana. Pak Dipta dan Bu Yola tampak kaget saat melihat Sabda dan Senja berdiri di dalam joglo. Wanita itu menatap Senja tak berkedip. Bagaimana bisa mereka di sana? Apakah mertuanya sudah tahu hubungan mereka? Sabda merangkul bahu istrinya dan mengajaknya menyambut kedatangan Om dan Tantenya. Mereka menyalami dua orang yang masih heran melihat Sabda dan Senja ada di rumah kakeknya."Apa kabar, Om?" sapa Sabda pada Pak Dipta. "Baik. Kalian sudah lama di sini?""Sudah sejak siang tadi, Om."Bu Yola tidak menyapa sama sekali pada mereka, wanita itu langsung menyalami dan mendekati kedua mertuanya. Kedatangannya bersama sang suami ke sana untuk membicarakan rencana pernikahan Arga setelah lebaran nanti. Dan dia yakin kalau Arga dan calon menantunya tadi pasti bertemu dengan Sabda dan Senja."Yola, ini istrinya Sabda. Sudah hamil sebelas minggu." Bu Tedjo bicara pada menantunya. Bu Yola tersenyum seraya menatap sekilas pada Senja. Hanya sejenak,
"Ma. Aku ke sini bersama Senja. Dia ditemani Bumi di luar. Apa sekali saja mama tak ingin melihat cucu mama yang masih berada di perutnya. Dia pinter lho, nggak rewel dan menyusahkan mamanya. Anteng juga saat di ajak bekerja. Kadang aku pengen menemani dia yang mengalami morning sickness. Tapi hingga sekarang, tak pernah dia mengalami itu. Persis seperti cerita mama waktu hamil aku dulu, 'kan?"Sabda tidak lelah bicara meski mamanya masih diam saja. Sebagai anak dia menempatkan posisi yang bersalah karena menikah diam-diam, tanpa minta restu terlebih dahulu. Sebagai anak dia tidak bisa menuruti keinginan orang tuanya untuk menikah dengan gadis pilihan mereka. Sabda tidak membenarkan sikapnya sendiri, demi memperbaiki hubungannya dengan orang tua, terutama dengan mamanya."Keluarga Senja mau umroh bareng-bareng, Ma. Bahkan rencana mau mengajak kami juga. Tapi karena Senja hamil dan takut dia kelelahan dan terjadi apa-apa, akhirnya aku dan Senja tak jadi ikut."Bu Airin kali ini benar-b
Senja membuatkan segelas air hangat untuk suaminya. Belakangan ini dia mengurangi minum teh. Paling hanya sekali di pagi hari saja. Di kantor juga minum air mineral. Terkadang kopi jika ia merasa ngantuk berat.Selesai Salat Asar, Sabda memandang istrinya yang sedang duduk di atas tempat tidur sambil memperhatikan kotak yang ada di tangannya. "Coba di buka!" kata Sabda setelah duduk di sebelah istrinya."Mas saja yang buka." Senja memberikan kotak pada suaminya. Dia jadi takut untuk membukanya sendiri. Pikirannya jadi menduga ke mana-mana."Nggak ada apa-apa. Sayang, yang buka. Kan aku temani di sini," jawab Sabda santai, tanpa curiga dan was-was. Sebenarnya Senja juga heran karena suaminya tidak menunjukkan rasa penasaran.Dengan tangan gemetar dan rasa penasaran, Senja segera mengoyak bungkusan yang dikemas sangat rapi. Sabda memerhatikan. Satu benda warna merah di bentangkan Senja, ia kaget melihat baju tidur yang sangat indah dan seksi di tangannya. Lingerie."Wow!'" seru Sabda sa
Sudah beberapa hari ini Citra mengabari kalau telah mengambil cuti. Di pingit katanya. Mereka juga mengurangi komunikasi di telepon. Cuman beberapa hari sebelumnya saja sempat bertemu untuk fitting baju pengantin. Banyak perubahan untuk gaun yang akan dipakai Citra. Menjelang menikah berat badannya susut beberapa kilo. Tampaknya dia juga terbebani dengan pernikahan itu. Seperti dirinya juga, tapi semua harus tetap berlanjut. Jika ingin semua aman sentosa damai sejahtera. Dan sampai sekarang pun Citra tidak memberitahu siapa pria yang disukainya. Arga tidak peduli jika itu akan tetap jadi rahasia.Bahkan Arga tidak peduli lagi dengan perasaannya, apa yang diinginkannya. Sebab apa yang dimau tak akan mungkin di dapatkan lagi. Tanpa sengaja ketika melihat Sabda mengusap perut Senja di rumah sang kakek, sewaktu reuni keluarga lebaran kemarin saja hampir membuatnya gila dan menggebrak meja. Pemandangan yang menyakitkan.Senja telah sempurna dimiliki, bahkan mungkin rasa untuknya tak ada la
Sejauh dan sedalam apapun terhempas dalam kisah cinta yang kandas, tapi percayalah kalau tak semudah itu membuat segalanya membaik begitu cepat. Mungkin mata akan lupa bagaimana parasnya, tapi hati tak akan mudah lupa siapa nama yang pernah bertahta.Harusnya Sabda kecewa ketika menyadari bahwa wanita yang digenggam tangannya, masih kesulitan berhadapan dengan masa lalunya. Namun Sabda tidak demikian, ia makin mengeratkan genggaman untuk memberi kekuatan. Karena bukan di sini tempatnya menunjukkan kekesalan.Mereka bergerak maju. Sabda memberikan ucapan selamat pada perempuan yang tanpa ia sadari telah lama memendam rasa untuknya. "Selamat menempuh hidup baru, Citra. Wish you happiness," ucap Sabda sambil tersenyum. "Thank's, Mas," jawab Citra sambil tersenyum dan menjabat erat tangan Sabda. Dengan tatapan yang hanya ia saja yang tahu artinya.Kini Sabda menggenggam erat tangan Arga. Lalu memeluknya. "Kamu akan bahagia. Selamat untuk pernikahanmu." Sabda berkata sambil menepuk bahu s
Terlebih dia tadi bisa melihat, bagaimana Sabda dengan penuh percaya diri menggandeng Senja di hadapan orang-orang yang asing melihat mereka. Berani membawa wanita itu dihadapan keluarga yang menentang hubungan mereka. Bahkan tak sungkan menunjukkan perhatian, terlihat sekali kalau Sabda begitu melindungi Senja. Hal yang tidak bisa ia lakukan. "Selamanya kita akan seperti ini jika tidak ingin melepaskan kenangan itu?" kata Citra. Ah, malam pengantin yang begitu menyedihkan. Harusnya mereka menikmati kebersamaan, bukan mengingat kenangan yang menyakitkan hati masing-masing. Citra juga heran, sepertinya sedikit saja Arga tidak tertarik untuk menyentuhnya. Ternyata dugaannya salah. Beberapa menit kemudian Arga mendekat. Citra tidak mengelak. Mereka ini suami istri meski hati entah milik siapa.Sesaat kemudian mereka sudah bercumbu. Pakaian sudah terlempar ke lantai dan mereka bercinta malam itu. Dengan liar, bahkan mungkin tanpa perasaan. Seolah-olah mereka sedang melibas kenangan den
Senja menyadari, bahwa dalam pernikahan harus banyak saling memahami. Terutama soal perasaan dan kebiasaan. Senja harus lebih peka dan hati-hati lagi."Pagi ini kamu temani Mas jogging ke taman kota. Nanti kita sarapan nasi uduk di sana. Mau kan? Mumpung kita masih libur."Senja terpana sejenak. Mas. Sabda telah mengganti panggilan untuknya sendiri dengan sebutan 'Mas'."Senja," panggil Sabda lagi."Iya, Mas. Aku nggak usah masak ya hari ini.""Oke, Sayang. Kita nanti makan di luar."💦 💦 💦 Senja duduk di bangku semen di bawah pohon trembesi yang rindang. Ia menunggu dan memperhatikan Sabda yang berlari mengelilingi taman. Sesekali ia memperhatikan remaja yang sedang bermain basket di lapangan tak jauh dari tempatnya duduk.Pandangannya beralih saat terdengar keributan di sebelah kanan dari tempat duduknya. Orang-orang berkerumun melihat sesuatu. Terdengar ada orang mengatakan bahwa ada perempuan yang tiba-tiba pingsan.Senja beranjak untuk melihat ke sana. Namun dia tidak menyadar