<span;>Matahari baru saja tenggelam ketika Ivan sampai di rumah. Dia pun langsung bergegas menuju kamarnya. Kegagalannya untuk menikmati liburan bersama Lusy membuatnya malas berbasa-basi dengan kedua orangtuanya yang saat itu sedang duduk santai di ruang tengah. Ivan tahu ibunya pasti akan memberikannya pertanyaan sehubungan dengan kepergiannya keluar kota, dan sungguh Ivan enggan untuk menjawabnya. Sebab alasan keluar kota untuk satu urusan pekerjaan hanyalah kebohongan yang dikarangnya saja. Jadi Ivan enggan untuk memperpanjang kebohongannya itu di depan kedua orangtuanya.
<span;>Sambutan tak hangat diberikan Fara ketika Ivan masuk. Wajah cemberut langsung diperlihatkannya begitu Ivan melangkah memasuki kamar. Dia kesal karena Ivan baru pulang saat hari menjelang malam. Padahal waktu yang ditempuh dari Bandung paling hanya beberapa jam saja. Tidak perlu menghabiskan waktu seharian seperti ini. Apa lagi setelah percakapan di telepon tadi pagi, hp Ivan kembaIvan membuka pintu. Dibuatnya sedikit celah dan ditutupi oleh badannya hingga ibunya tak bisa melihat ke dalam kamar. Sikapnya dibuat setenang mungkin agar ibunya tak curiga kalau sedang ada pertengkaran antara dia dan Fara. "Ada apa, Van?" tanya ibunya dengan wajah cemas. "Tidak ada apa-apa, ma. Memangnya ada apa?" Ivan balas bertanya dengan wajah polos. Bu Elsa, ibunya pun menatapnya dengan pandangan menyelidik. Sangat jelas terlihat jika dia tidak percaya pada pengakuan putranya yang mengatakan tidak ada apa-apa. Karena Bu Elsa yakin sekali kalau tadi dia mendengar suara Fara yang menjerit marah. "Mana Fara?" tanya Bu Elsa dengan wajah serius. "Fara..., ada, ma. Mama ada perlu dengan Fara?" jawab Ivan sedikit gugup. "Apa dia baik-baik saja? Tadi mama dengar Fara menjerit marah," kata Bu Elsa hingga Ivan semakin gugup. Dan rupanya Bu Elsa bisa melihat kegugupan putranya itu dengan jelas. Pandangan matanya kembali penuh se
Fara terbangun dari tidurnya. Kepalanya masih terasa sakit. Dia mengeluh pelan ketika cahaya lampu kamar yang masuk ke matanya membuat kepalanya terasa semakin pusing. Dengan segera Fara pun kembali memejamkan matanya. Dan dengan satu tangan dia memijat perlahan kepalanya yang terus berdenyut sakit. "Sudah bangun?" Terdengar suara Ivan bertanya. Fara tak menyahut. Dia diam sambil terus memijat kepalanya. "Kepalamu masih sakit?" tanya Ivan lagi. "Ya." Fara menyahut dengan suara yang pelan. "Kalau begitu tidur saja lagi. Aku sudah minta bibik supaya mengantarkan sarapanmu kemari. Jadi kamu tidak perlu turun ke bawah." "Baik sekali," sahut Fara sedikit sinis. Ivan yang sedang merapikan kemejanya di depan cermin itu pun menoleh pada Fara. "Apa aku pernah jahat padamu?" tanyanya. "Apakah berkhianat itu bukan satu perbuatan yang jahat?" Fara balik bertanya. "Jangan memulai lagi, Fara. Atau aku akan b
Fara menoleh Ketika terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Hari ini Fara memang mengurung diri di kamar. Dari pagi sampai siang, Fara tak beranjak dari tempat tidurnya. Pikirannya masih kacau dan kepalanya masih berdenyut sakit. Tapi untunglah ibu mertuanya tak banyak bertanya. Mungkin karena ibu mertuanya itu mengira jika Fara memang sedang sakit dan butuh istirahat. Jadi Fara bisa menghabiskan waktunya di dalam kamar tanpa takut diberikan pertanyaan oleh mertuanya itu. "Ya?" tanya Fara tanpa beranjak dari tempat tidur. "Ini Fiona, mbak. Boleh aku masuk?" Terdengar suara Fiona dari balik pintu. "Ya, masuk saja, Fi. Pintunya tidak dikunci," sahut Fara. Pintu terbuka perlahan dan wajah cantik Fiona pun menyembul. Dia tak segera melangkah masuk. Perempuan muda itu berdiri menatap Fara dengan wajah cemas. "Mbak Fara sakit?" tanya Fiona pelan. Fara menggeleng. "Tidak. Cuma sedikit pusing saja. Sini, Fi, masuk," panggilnya.
Hari-hari pun berlalu. Ivan memenuhi janjinya untuk menghabiskan waktunya bersama Fara. Setiap sore selepas jam kerja usai, dia pun segera pulang ke rumah tanpa nongkrong-nongkrong dulu bersama dengan teman-temannya di cafe. Atau menikmati sore yang indah dulu bersama Lusy seperti yang dahulu sering dia lakukan. Ivan benar-benar ingin membuat Fara diam dan tak membongkar perbuatan buruknya pada orangtuanya. Predikat laki-laki sempurna yang selama ini melekat padanya harus bisa dia pertahankan. Jika memang satu hari nanti pernikahannya dengan Fara harus berakhir, maka itu haruslah datang dari Fara. Bukan karena kesalahannya atau kekurangannya sebagai seorang suami. Fara pun merasa senang. Karena setidaknya Ivan mau memenuhi janjinya. Meski Fara tak tahu apakah semua itu bisa berlangsung lama. Karena selama Ivan menutup hati untuknya, maka suaminya itu mungkin tidak akan bisa bertahan lama untuk tetap diam di sisinya. Dia pasti akan mencari kesenangan lain diluar sana. Tapi
Ivan sakit. Dia terserang flu dan terpaksa harus beristirahat total di rumah selama beberapa hari. Beberapakali tubuhnya demam tinggi hingga membuat Fara dan Bu Elsa merasa khawatir. Dokter keluarga pun dipanggil untuk segera memeriksa. Dan dokter bilang, Ivan harus beristirahat dan minum obat yang teratur. Selama beberapa hari ini dia tidak boleh melakukan aktivitas di luar rumah. Harus rela menghabiskan waktunya di rumah sampai kondisinya membaik. Bagi Ivan semua itu sangatlah menyiksa. Sebab itu berarti dia tidak bisa bertemu dengan Lusy untuk beberapa waktu lamanya. Sedangkan kerinduannya pada perempuan itu terus membara. Sebetulnya Ivan tahu jika dia tak boleh pakai hati. Tapi kehangatan yang Lusy berikan selama ini benar-benar membuatnya terbuai. Ivan merasa, dia tak bisa berpaling lagi. Lusy telah menguasai hatinya dan melumpuhkan akal sehatnya. Sementara itu Fara merawat Ivan dengan penuh kasih sayang. Dilayaninya segala keperluan Ivan dengan baik. Bahkan
"Marahkah kamu padaku, Fara?" Itu kata-kata pertama yang Ivan ucapkan ketika bangun dari tidurnya. Fara tak menjawab atau pun menoleh. Dia tetap terpaku menatap langit pagi yang cerah. Rasa kecewa dan sakit yang teramat sangat membuatnya memilih diam. Selintas ada umpatan bodoh untuk dirinya sendiri yang bergema dalam hati. Ya, Fara memang merasa bodoh karena berpikir kalau Ivan telah berubah. Naif sekali karena berharap Ivan mulai mau membuka hati untuknya. Mestinya dia tahu kalau suaminya itu tak kan pernah bisa menerima dia untuk jadi teman hidupnya. Bukankah selama ini Ivan hanya sekadar menuruti keinginan orangtuanya saja? Bahkan pernikahan ini adalah mimpi buruk baginya! "Kenapa harus Lusy, mas?" Pertanyaan itu meluncur getir dari bibir Fara. Ivan pun tertegun beberapa saat. "Entahlah. Pertemuan tak sengaja di malam itu yang telah mendekatkan aku dengannya," jawab Ivan kemudian. "Tapi dia sahabatku," kata Fara bergetar. Sementara itu ked
Fara melangkah tergesa memasuki pekarangan rumah Lusy yang tampak sepi. Tapi Fara bisa menebak jika sahabatnya itu pasti berada di rumah karena jendela rumahnya terbuka lebar meskipun pintunya tertutup rapat. Lusy tinggal sendirian selama ini. Jadi dia pasti akan menutup jendela dan pintu rumahnya jika dia pergi keluar rumah. Sampai di teras, Fara terdiam sejenak. Dia seolah sedang berusaha menenangkan dirinya agar tak meledak di depan sahabatnya itu. Sahabat? Pantaskah jika masih disebut sahabat? Sebab dia telah menikam dari belakang. Dia seolah membunuh, tapi tanpa diakhiri dengan sebuah kematian. Hanya hancur, remuk berkeping-keping tak berbentuk. Fara menghela napas panjang, lalu mengetuk pintu rumah Lusy dengan perasaan tak menentu. Ditunggunya beberapa saat hingga terdengar suara Lusy yang menyahuti dari dalam. Fara pun menegakkan tubuhnya seolah ingin menunjukkan betapa tegarnya dia. Wajahnya serius dan tatapan matanya tajam menatap wajah Lusy yang menyemb
Fara menghambur ke dalam pelukan Riska dan melepaskan tangisnya di sana. Fara merasa Riska-lah satu-satunya orang yang bisa dia jadikan teman bercerita. Dada Fara telah terlalu sesak. Rasanya dia sudah tak mampu untuk menyimpan kesedihannya ini sendirian. Fara butuh teman bicara. Fara butuh pundak untuk menumpahkan tangisnya. "Fara, ada apa ini?" tanya Riska terkejut. Fara tak bisa menjawab. Untuk beberapa saat lamanya dia cuma bisa menangis di pelukan Riska. Biarlah berkurang dulu rasa sesak di hatinya. Biarkanlah dilepaskannya dulu lewat tangisnya. "Fara Sayang, tenangkan dirimu. Coba ceritakan padaku kenapa kamu menangis seperti ini?" Riska membujuk lembut. Fara pun melepaskan pelukannya pada Riska dan mencoba menenangkan hatinya yang kacau tak menentu. Perlahan tangisnya mereda. Dihapusnya air mata yang membanjiri matanya. Lalu dia mengumpulkan kekuatan untuk mulai bercerita pada Riska tentang apa yang telah terjadi padanya. "Dud