"Kek? Begitukah kau menyambut cucumu setelah sebulan pergi? Apa kau tak menanyakan aku sudah makan atau belum?""Apa kau lupa tempatnya meja makan? Kalau kau lupa, aku akan menyuruh pengawal mengantarkanmu ke meja makan di luar negeri sana," ujar sang kakek tanpa menoleh padanya. Sedang Alvaro hanya melotot kaget dan tak percaya dengan ucapan kakeknya."Dasar orang tua. Selera humornya jelek sekali," gerutu Alvaro. Ia berdecak kesal lalu kembali menuju kamarnya yang sempat tertunda.Alvaro menghempaskan tubuhnya sejenak di atas ranjang. Ia memejamkan mata sebentar kemudian membukanya lagi menatap langit-langit kamarnya."Sebaiknya, waktu ini aku gunakan untuk bertemu Selena," gumam Alvaro sendiri yang langsung bangkit dari pembaringannya. Tanpa berganti pakaian ataupun mandi sekalipun, ia bergegas meraih jaketnya kembali dan segera menuruni anak tangga hendak menemui Selena. ********Hasil autopsi Ibu Selena telah keluar. Dan benar, pernyataan yang menunjuk bahwa Ibu Selena mengalami
Jantung Selena seakan berhenti berdetak. Seketika wajahnya menjadi pias. Air matanya menggantung di kelopak matanya. Namun, tatapannya tertegun menatap sang kekasih. Bagaimana Selena akan mengatakan hal yang sesungguhnya. Jika sebenarnya, dirinya sudah menikah. Ah, tidak. Sebenarnya, itu hanya pernikahan kontrak. Namun, apakah Alvaro bisa menerimanya?"Al, aku...""Aku pastikan akan segera melamarmu, Selena," ucap Alvaro kembali memeluk kekasihnya. Ia ingin menebus kesalahan karena sudah mengabaikan Selena sebulan ini. Seharusnya, keberadaan Alvaro serta ajakan lamaran dari kekasihnya itu menjadi hal yang sangat ia harapkan. Namun, keadaan sudah berubah. Selena juga sangat menyayangkan kedatangan Alvaro yang terlambat menemuinya. Andaikan saja ia datang sebelum pernikahan itu terjadi, mungkin...Tangan Daniel mengepal erat. Dadanya bergemuruh mendengar penuturan Alvaro baru saja. Bagaimana mungkin Alvaro akan melamar Selena. Sedangkan wanita itu sudah menjadi istrinya. Jika Kakeknya
"Tugas sudah selesai, Tuan," ucap salah seorang pengawal."Kau yakin semua aman?" tanya seseorang yang mengepulkan asap rokok dengan membelakangi pengawalnya. "Saya sudah pastikan tak ada yang mengetahui hal itu, Tuan," jawab sang pengawal. Seorang laki-laki paruh baya itu memutar kursi dan mematikan puntung rokok yang masih tersisa separuhnya ke dalam asbak."Baguslah. Semoga saja usahamu tak meninggalkan jejak," sahut laki-laki itu dengan kemudian ia menggerakkan tangannya tanda menyuruh pengawalnya keluar. "Andai saja kau menurut padaku waktu itu, Harry, mungkin keluargamu tak akan mengalami hal pahit ini," gumam laki-laki itu dengan memandang sebuah foto yang selalu ia pandangi belakangan ini.BRAK!Ia menaruh kasar bingkai foto itu ke dalam laci. Ia merasa kesal. Namun, ia tertawa seolah ada hal lucu. Raut wajahnya sulit ditebak. Kadang tertawa, kadang sedih, bahkan sedikit air mata terselubung di kelopak matanya.*********Dalam sebuah kamar yang luas nan megah, Selena berbar
"Kita harus bicara, Al!" Daniel menghampiri kamar Alvaro. Dan adiknya itu sedang meringkuk di atas ranjang dengan tatapan kosong dan mata yang berkaca-kaca."Tak ada yang perlu dibicarakan!" sahut Alvaro dingin dan menutup matanya. Membiarkan bulir air itu jatuh."Aku tidak tahu jika Selena adalah kekasihmu. Itu jujur!" "Lalu darimana kalian bertemu? Kenapa kau tak memberi tahuku jika akan menikah dengan Selena, Niel!" "Aku mencintainya sejak pertama kali bertemu dengannya," ucap Daniel lirih, tapi begitu mantap didengar.Alvaro membuka matanya. Ia duduk di pinggir ranjang dan menatap dingin ke arah kakaknya. "Cinta kau bilang? Hhh! Bullshit dengan cintamu, Niel! Aku sangat tahu kau! Kau tidak pernah tertarik dengan wanita! Lalu? Kenapa harus Selena!" teriak Alvaro membuat Daniel memejamkan mata. Daniel memijat pangkal hidungnya. Ia sedikit pusing bagaimana mau menjelaskan hal ini pada Alvaro. Tidak mungkin ia akan mengatakan pada Alvaro jika pernikahannya dengan Selena hanyalah k
Alvaro mengamuk. Rasa marahnya tak bisa lagi ia tahan. Hatinya yang panas serasa ingin meledak saja. "Aku akan kembali ke luar negeri, tapi dengan satu syarat!" ucap Alvaro setelah mengatur emosinya. Daniel memperhatikan adiknya sedangkan Sanjaya pun menunggu apa yang akan dikatakan cucu bungsunya. "Aku akan membawa Selena pergi dari sini!" ucap Alvaro yang sontak membuat semua orang yang mendengarnya terkejut. Selena membuka mata lebar dan sedikit tersenyum mendengar penuturan Alvaro. Ia bergerak pelan, berjalan masuk ke dalam kamar Alvaro. "Apa kau sudah gila, Al?!" marah Daniel. "Bawa aku pergi, Al!" Selena masuk membuat Sanjaya semakin terkejut karenanya. "Berhenti di situ!" titah Sanjaya saat Selena hendak menghampiri Alvaro. "Tapi, Kek..." "Daniel, bawa istrimu pergi dari sini. Jangan biarkan ia membuat malu keluarga ini. Dan kau..." Sanjaya menatap mata Selena, tajam. Lalu ia melanjutkan, "jaga perilakumu sebagai seorang istri!" sambung Sanjaya dan kembali menatap Alvar
"Ran? A... Apa yang kau katakan?" lirih Selena tidak mengerti. Rani melangkah mendekati ketiga orang di hadapannya. "Ibu Selena memintaku untuk mencarikan jodoh untuknya. Dia merasa telah banyak membebani anaknya. Dia merasa telah menyusahkan Selena dengan keadaannya yang tidak sehat seperti biasanya. Karena aku mengenal Daniel, jadi aku mengenalkan padanya," papar Rani membuat semua orang tercengang karenanya. "Bukan begitu? Tuan Daniel?" tanya Rani menerbitkan senyum lega Daniel di wajahnya. "Ya, begitulah," jawab Daniel menghela napas lega. "Ran, apa yang kau...""Aku tidak berbohong, Sel." Rani berusaha meyakinkan Selena agar tak memperpanjang masalah di antara cinta segitiga itu. Wanita itu kembali sedih mengingat mendiang Ibunya. Andai Ibunya masih hidup, Selena yakin, ia tak akan serapuh ini. Setidaknya ada tempat berbagi keluh kesah dengannya. Setidaknya, ia tidak merasa beban hidupnya sangat berat. Dan setidaknya, melihat Ibunya masih di dunia membuatnya lega. Namun, se
"Karena aku tahu yang terbaik untukmu, Arkanta," sahut Sanjaya lirih. Arkanta mendekati Ayahnya dengan sempoyongan. "Hidup begini kah yang menurutmu baik, Ayah?" tanya Arkanta dengan mendengus kasar lalu sedikit terisak tangis. "Itu karena kau yang membuat hidupmu sendiri hancur, Arkanta!""Itu semua karenamu, Ayah!! Karena kau selalu memaksakan kehendakmu!" teriak Arkanta marah sembari menuding Sanjaya. "Kendalikan diri anda, Tuan!" ucap Luki di belakang Sanjaya hendak menghentikan aksi Arkanta. Namun, Sanjaya mencegahnya. "Aku memberikan hidup yang baik untukmu, tapi kau sendiri yang merusaknya! Jadi itu pilihanmu!" marah Sanjaya lalu bangkit meninggalkan Arkanta yang terisak tangis. "Kau lihat sendiri, Ayah! Cucu-cucumu pun akan berlaku sama sepertiku nanti. Karena apa? Karena semua keegoisanmu!" teriak Arkanta. Namun, Sanjaya tak menghiraukannya. Sanjaya keluar dengan memegang dadanya. Tubuhnya sedikit limbung, tapi Luki sudah siaga menjaga tuannya."Anda tidak apa-apa, Tuan
Sanjaya keluar dari kamar. Ia sedang tak bisa tidur. Sepulang dari mengunjungi Arkanta, ia sudah terlalu lama beristirahat. Yang mengakibatkan ia terjaga tengah malam begini. Ia berjalan tertatih menggunakan tongkatnya. Suasana rumah sepi. Dan ia hanya bisa menghela napas berat merasakan kesunyian di rumah ini. "Kakek." Daniel mengejutkan Sanjaya yang tengah berjalan hendak melewati dapur. Gelagat aneh Daniel jelas terlihat di mata Sanjaya. Namun, pria tua itu tak tahu apa sebabnya. "Kau mengagetkanku saja! Apa tidak ada hal lain selain mengejutkanku?" ucap Sanjaya dingin. "Kakek mau keluar? Apa Kakek tidak bisa tidur?" tanya Daniel yang seketika menggandeng Kakeknya menuju jalan utama. "Ada apa? Apa kau butuh sesuatu?" tanya Sanjaya heran melihat gelagat aneh cucu sulungnya. "Ah, tidak, Kek. Aku hanya ingin mencari udara segar. Karena aku juga tak bisa tidur. Kebetulan ada Kakek. Aku jadi ada teman," ucap Daniel dengan senyum dipaksakan. Sanjaya hanya mendengus kasar lalu mela