“Ini luar biasa! Apa kuil itu terbuat dari emas?” Saka terpukau dengan kemegahan kuil yang ia lihat. Kuil-kuil yang ada di Chiang Mai sangat dijaga kelestariannya. Bukan hanya bentuk fisiknya saja yang begitu artistik dan memiliki sejarah yang tak ternilai, tapi fasilitas pendukung untuk para wisatawan juga diprioritaskan. Kenyamanan, keamanan dan kebersihan sangat terlihat di lingkungan kuil-kuil itu. Saka sangat menikmati kunjungan wisata itu. Ia sangat senang karena bisa pergi lagi bersama sepupu yang telah dianggapnya sebagai seorang kakak. Tidak sedikit ia bertanya tentang kuil-kuil itu ke Dannis. Meski lelaki itu telah menjelma sebagai pria dingin dan kaku, Dannis masih memiliki sisi lembut ketika bersama Saka. “Ngomong-ngomong, kau ingin menunjukkan apa padaku? Sebelum kita ke sini, kau bilang ingin menunjukkan sesuatu,” tanya Dannis.“Oh, aku baru ingat. Ini hanyalah cerita dari ayahku. Dulu sekali, dia pernah menyinggung soal organisasi hitam bernama Dewan XII. Kau tahu aya
Perjalanan menuju ke villa yang berada di perbatasan antara Thailand dan Laos lumayan jauh dan memakan waktu tidak sebentar. Dua jam perjalanan Menggunakan taksi sudah cukup membuat kepala Dannis pegal. Terlebih lagi, Saka dan Anya yang ketiduran dan bersandar ke kedua pundaknya. Ia berganti posisi dengan Saka yang semula duduk di tengah-tengah. Saat memasuki wilayah sebuah komplek perumahan yang berada di lereng bukit, pemandangan di kedua sisi jalan berubah menjadi area pepohonan pinus. Sepi, tidak ada mobil yang lalu-lalang. Bahkan jarang ada orang yang sekadar lewat. Dannis merasa wilayah ini sangat berbeda dengan wilayah lainnya. “Hei, bangun. Kita sudah mau sampai.” Dannis membangunkan keduanya. Tampak liur Saka dan Anya membekas di kaos oblongnya. “Apa kita sudah di villa?” Anya melihat ke luar jendela. Ia sangat terpukau dengan pemandangannya. “Aneh, kenapa sepi sekali?” Saka merasakan hal yang sama dengan Dannis. Bocah itu masih saja menguap padahal sudah tidur dua jam.
“Mereka terlalu banyak!” Anya begitu kesulitan untuk menembak para Jager selama sniper itu masih ada. “Kau harus bunuh snipernya terlebih dulu!” Anya berteriak dari balkon lantai tiga. “Aku tahu!” Dannis yang masih baru pertama kali menggunakan senjata sniper itu tampak kaku ketika membunuh beberapa Jager yang mendekat. Meski begitu, pelatihan yang ia lakukan dengan Rosella tidaklah gagal. Dannis tahu tentang sniper yang ada di lantai tiga itu. Ia tahu kalau sniper itu yang membunuh Aden di tragedi lautan api. Saat Rosella membidiknya, ia juga ikut melihat perawakan sniper itu. Tapi masalahnya, kemampuan sniper itu jauh diatasnya. Ia butuh strategi jitu untuk menumbangkannya. “Ada helikopter yang akan datang lima belas menit lagi! Bertahanlah sampai bala bantuan tiba!” Saka berteriak dari lantai dua.“Bala bantuan? Siapa yang akan membantu kita?” Anya merasa bingung. “Seorang teman lama kenalan ayahku.” Saka tersenyum. Anak itu mencoba menyusuri belakang rumah. Ia memanjat Dindin
"Woi! Sibuk amat! Lagi hitung utang?!" HAHAHAHA!!!Sekelompok laki-laki berpenampilan seperti orang-orang kaya tengah menertawai Dannis Kartanegara, lelaki berusia 22 tahun berkemeja polos dan bercelana jeans lusuh, setelah puas menghinanya habis-habisan. Puluhan pasang mata menatap ke arah kedai makanan yang menjual mie ayam di kantin fakultas teknik dengan tatapan hina. Ada yang tersenyum, tertawa dan mengabadikan momen itu dengan memotretnya menggunakan kamera smartphone.Sayangnya, Dannis hanya bisa menunduk, menyembunyikan raut wajah malunya. Ditambah lagi, ketika ia melirik ke arah seorang perempuan yang menyandar di pundak Randy, pemimpin geng para mahasiswa kaya, dengan begitu mesranya, Ia merasa tersisih karena pandangan itu."A–Anya?" Tanyanya. Dannis tidak menyangka bila kekasihnya yang sudah menjalin hubungan dengannya sejak SMA berani bermain kotor di depannya.Wajahnya memelas, berusaha menutupi rasa kesal serta sedihnya. Ternyata usahanya selama ini untuk membahagiakan
"Dasar kampret! Kau berani memandangku seperti itu setelah menamparku?!" Tatapan mata Randy menjadi sangat tajam. Ingin sekali rasanya ia mencekik perempuan di depannya itu.Ketika ia hendak menarik kerah baju perempuan itu, tangannya langsung dipelintir dan membuat Randy menjerit kesakitan. "Argh! Sakit! Sakit! Lepas, woi!" Randy merintih memohon ampun. "Jangan macam-macam dengan perempuan itu!" Dannis telah berdiri dan langsung menggapai tangan Randy. Ia mencengkeramnya begitu kuat. "Kau?!" Randy langsung menoleh ke arah Dannis. Ia menghempaskan tangan lelaki itu dan mendorongnya agar menjauh darinya. Dannis terdorong lumayan jauh. Untungnya ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Meski begitu, beberapa luka yang tersemat di tubuhnya masih terasa sangat sakit. "Kau masih ingin melanjutkannya?" Luna masih menatap tajam lelaki di depannya. Satu tangannya terlihat mengepal. Ia sudah bersiap untuk meninju sampah di depannya. Melihat raut wajah Luna yang tampak serius membuat R
Maaf, Anda sepertinya salah kamar," ucap Dannis. Ia sama sekali tidak mengenal lelaki yang berdiri di depan pintunya itu.Sayangnya ketika Dannis menolak kehadiran lelaki itu, justru ia malah datang menghampiri Dannis dan membantunya untuk memilah barang. Wajah Dannis terlihat heran dan bingung. Ia takut bila lelaki yang ada di depannya itu merupakan bagian si dikira orang jahat. "Ti–tidak perlu, biar saya saja." Dannis memaksa dengan mengambil paksa barang yang dipegang lelaki itu. "Tidak perlu sungkan, saya adalah orang yang dipercaya oleh ayah Anda," ungkapnya. Lelaki itu tersenyum lagi. "Ayah? Ma–maaf, tapi aku sudah tidak mengenal ayahku sejak bayi. Aku tinggal di panti asuhan dari bayi hingga SMP kelas 3. Yang kutahu, kepala panti asuhan bilang padaku bila orang tuaku sudah meninggal sejak lama," ungkap Dannis. Lelaki itu menepuk pundak cowok di depannya. Ia meminta kepada Dannis untuk duduk sebentar dan mendengarkan apa yang ia coba katakan. Identitas aslinya adalah Arjuna
"Apa kau ingin aku antar?" Juna bermalam di apartemen bosnya. "Tidak perlu, aku akan ke kampus dengan ojek online saja." Dannis menyambangi kepala pengawalnya di meja makan yang berada di dapur.Saat ini Dannis tinggal di salah satu apartemen mewah yang diberikan mendiang ayahnya. Seharian kemarin, ia berbelanja berbagai hal untuk memenuhi lemari pakaian dan lemari es miliknya. Meski begitu, ia tetap terlihat sederhana karena tetap menggunakan pakaian tak bermerek saat ke kampus. "Bagaimana lukamu? Apa sudah mendingan?" Tanya Juna. Ia menyendok sarapannya yang berupa ketoprak. "Dokter itu sangat luar biasa. Luka memar dan lebam di tubuhku sudah tidak terasa nyeri. Namun meski begitu, aku diminta untuk lebih berhati-hati lagi." Dannis mengoleskan roti tawar dengan selai hazelnut. Di sampingnya, ada secangkir susu hangat yang menjadi pendamping kudapan paginya. Tidak sengaja ia melihat televisi yang menyala. Siaran yang menayangkan soal walikota di wilayah kampusnya berada sangat me
"Oh, kau ingin sekali makan di sana, yah?" Baiklah aku akan mentraktirmu." Luna menepuk pundak lelaki di depannya sambil melayangkan senyum kecil.Ia baru menyadari bila Dannis tidak diajak oleh Randy dan anak kelas lain untuk menghadiri pertemuan itu. Luna berpikir bila lelaki di depannya ingin juga menikmati makanan mewah di restoran itu."B–bukan begitu… aku–" Dannis serba salah. "Tidak apa-apa, aku yang akan membayar makanannya. Lebih baik kita masuk ke dalam kelas. Nanti sore, temui aku di apartemenku yang berada di seberang jalan raya. Kita akan berangkat bersama ke restoran itu," ungkap Luna. Dannis tidak bisa berkata lagi. Bibirnya terasa berat merangkai kata yang cocok untuk menjelaskan situasi itu. "Lun…?" Dannis mencoba menghentikannya. Sayangnya gadis muda itu telah masuk ke dalam gedung fakultas. Ia meninggalkan Dannis yang masih berdiam diri tanpa kata. "B–bagaimana ini? Kenapa aku tidak bisa menjelaskannya!" Ia kesal pada dirinya sendiri. Hari pun bergulir dengan