Sepulang dari club Alex dan Diana terlelap hingga matahari tinggi. Suara dering handphone menyeruak atmosfer yang hening. Diana bergerak sedikit tapi dering handphone berhenti. Dia pun kembali terlelap.
Menit berikutnya handphone kembali berdering. Diana duduk dengan mata masih terpejam. Tangannya menggapai ke kepala tempat tidur. Biasanya dia meletakkan handphone di bawah bantal. Diana mengejapkan mata melihat nama penelepon. William? "Halo?" jawab Diana. Hening. "Kakak?" Diana mengernyit. Terdengar suara teriakan di latar, lalu suara seperti tulang beradu. Kembali hening. "Will?" Diana sudah sadar sepenuhnya. Panik. "Kalau tidak mau melihat mayat kakakmu segera datang ke alamat yang terkirim. Sendiri," kata suara kasar lelaki. "Siapa ini??" Percakapan sudah terputus. &Han menoleh ke arah William yang menampakkan diri dengan takut-takut. "Kamu akan mendapat imbalan besar," kata Han lambat. "Bos, Anda tidak akan menyakiti adikku kan?" tanya Will dengan kepala tertunduk. Ada secercah penyesalan dalam hati karena bagaimanapun juga Diana adalah adik kandungnya. "Adikmu adalah tambang emas bagiku. Bagaimana mungkin aku menyakitinya? Dia akan melayaniku seumur hidup!" Han mendongak tertawa. "Bagaimana dengan Alex?" Han menyeringai, "Biarkan dia datang. Setelah aku menyerap kekuatan wanitanya, dia bukan tandinganku." William bergidik melihat wajah Han yang dipenuhi nafsu membunuh. "Sudah, pergilah kau. Uang akan ditransfer ke rekeningmu." Han mengibaskan tangan. William tidak berkata apa-apa. Dia langsung menghilang ke dalam. Diana mencoba menyalakan handphone. Berhasil! D
Puas memporakporandakan isi villa Han, Alex kembali memacu motor. Kalau perlu dia akan memeriksa semua villa yang ada di kawasan pegunungan ini satu persatu. Hatinya diliputi kecemasan dan ketakutan. Alex tahu orang seperti apa Han. Lelaki tua itu akan menghancurkan Diana sampai tak bersisa. Belasan tahun menghadapi lawan-lawan dari dunia hitam belum pernah Alex khawatir seperti ini. Dia yang sudah tidak memiliki siapa pun kini hanya memiliki Diana. Jika dirinya kehilangan Diana bukankah tidak ada gunanya lagi hidup? "Bos, kami menemukan lokasi terakhir!" "Kirimkan padaku," kata Alex dingin. Tatapan matanya dipenuhi keinginan membunuh. "Siap." "Kirimkan lokasinya pada yang lain." "Oke, Bos!" Lokasi yang dikirimkan anak buahnya berada di puncak gunung. Alex geram. Tidak akan ada seorang pun yang menyadari bahwa ada penyekapan di tempat ter
"Kakak! Jangan!" Diana maju ke depan saat William mengayunkan batang besi. Alex menarik Diana tepat pada waktunya. Batang besi mengenai lengan Alex. "Aku akan membiarkanmu pergi karena kau kakak Diana," kata Alex. "Tidak bisa. Tinggalkan dia." Suara Will bergetar karena rasa takut terhadap Han dan Alex. Posisinya terjepit. "Wah, wah, urusan keluarga." Han masuk ke kamar sambil terbahak. "Sial!" Alex tahu anak buahnya sudah dilumpuhkan tanpa kecuali. "Tinggalkan gadis kecil itu, akan kubiarkan kau hidup." Han menatap Alex dingin. "Mimpi kau!" bentak Alex. "Kau kalah jumlah, Nak. Tinggalkan satu lenganmu, mungkin aku akan berbelas kasihan." William menatap kedua lelaki yang siap bertarung ini dengan gelisah. Tangannya masih menggenggam erat batangan besi. Diana memekik saat Will menye
"Alex...." Suara siapa yang memanggilnya? Di mana ini? "Alex...." Alex berusaha membuka mata. Semuanya terlihat putih menyilaukan. Dia terbatuk. "Dokter! Panggil dokter!" seru Diana. Segera saja beberapa perawat masuk ke kamar pasien. Mereka memeriksa tanda-tanda vital Alex dengan sigap. Ketika dokter tiba para perawat menepi. Kelelahan menghampiri Alex. Dia memejamkan mata dan kembali ke alam bawah sadar. Hatinya tenang karena mendengar suara Diana. "Adik Kecil, istirahatlah sebelum tumbang. Kamu sudah dua malam tidak tidur. Alex sudah melihatmu, dia akan hidup." Jack meletakkan tangan di bahu Diana. "Kalau ada di posisiku apakah kamu bisa istirahat?" tanya Diana. "Dia butuh Diana yang sehat, bukan turut sakit. Tidurlah sejenak. Aku akan menjaganya." Jack bersikeras. Diana memandan
Alex sedang berjemur matahari pagi di atap gedung. Matanya terpejam menikmati kehangatan yang menyelimuti tubuhnya. Pergerakannya masih terbatas, hanya kedua kaki dan tangan kanan yang dapat bergerak bebas. Alex bergantung pada Diana untuk hal-hal kecil. "Wah, hari ini cerah sekali!" seru Diana. Dia membawa nampan berisi dua gelas susu cokelat dan sepiring biskuit. "Hmm...." Alex membuka mata. "Kenapa tidak biarkan Jack pindah kemari lagi? Dia kan sedang mengambil alih tugasmu?" Diana duduk manis di sebelah Alex. "Tidak perlu, cukup kita berdua." Alex melingkarkan lengan di bahu Diana dan mengecup dahinya sayang. "Kamu tidak bosan? Aku teman ngobrol yang begitu-begitu saja." "Kiamatlah kalau aku bosan terhadap istriku." Alex tersenyum geli. "Kamu ya...." Diana tersipu. Hatinya tersanjung dengan perkataan Alex. "Ada kaba
"Hei, cepatlah sembuh. Aku butuh cuti," gerutu Jack. Dia berkunjung ke penthouse untuk melihat keadaan Alex. "Kau pikir aku tidak mau cepat sembuh?" geram Alex. "Kulihat kau menikmati kehidupan sekarang. Dimanja, diladeni." Jack mengambil sepotong apel dan menggigitnya dengan kesal, seolah dia menggigit kepala Alex. "Bagaimana keadaan di luar?" Alex mengabaikan pikiran Jack yang mengesalkan. "Niko mengambil alih kelompok Han, tapi tidak sekuat sebelumnya. Tidak menjadi ancaman." "Bagus. Kelompok yang kehilangan kepala sama seperti binatang dalam kurungan." "Pihak berwajib mengawasi club dengan ketat. Kita tidak bisa bergerak sembarangan sekarang." "Kenapa takut? Aku selalu mematuhi peraturan yang ada. Pajak selalu kubayar tepat waktu." Jack mengangkat bahu. Dia sudah mengambil potongan apel ke empat.
Larut malam ketika sudah waktunya beristirahat. Diana baru saja membantu Alex mandi. Sekarang dia sendiri mandi air hangat untuk mengusir kepenatan. Berbalut handuk Diana melangkah keluar dari kamar mandi. "Kemari, Princess," panggil Alex yang sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur. "Aku berpakaian dulu." Diana tersenyum geli. "Oke, aku bisa menunggu." Mata Alex tidak lepas dari sosok Diana. Setelah memilih, Diana memutuskan untuk memakai gaun tidur pendek yang memamerkan lekuk tubuhnya. Baru saja hendak memanjat ke tempat tidur handphone Diana berbunyi. "Sebentar ya, sepertinya dari mama." Diana mengambil handphone. Dia memang menyetel nada dering yang berbeda untuk Mikaela. "Jangan lama-lama." Diana menjulurkan lidah. "Hai, Ma, tumben malam begini teleponnya?" "Diana? Kamu sedang apa? Mama ga
"Mama harus kasih aku resep ayam panggang ini! Enak banget!" seru Diana. "Nanti Mama kirimkan. Senang juga lihat kamu jadi rajin masak," puji Mikaela. "Iya, aku kan jarang keluar, kecuali untuk belanja bahan makanan. Itu pun tidak pergi lama." Mikaela mengangguk paham, "Makanya di rumah Mama minta Papa buatkan rumah kaca. Daripada bosan di rumah terus kan?" "Ooo ternyata begitu." Supaya Diana dan Mikaela dapat mengobrol dengan leluasa Alex berdiam di kamar, bekerja dari laptop. Sesekali dia tersenyum mendengar celoteh Diana. Sudah lama sekali sejak Alex mendengarkan percakapan keluarga yang hangat seperti ini. Ada sebuah sudut yang tak pernah tersentuh dalam hatinya. Mikaela tertegun. Dia menyentuh lengan Diana. "Ajaklah Alex kemari," pinta Mikaela. "Sepertinya dia sedang bekerja, Ma." "Percayalah sam